Jumat, 24 Mei 2019

TAAT DALAM IMAN DAN KASIH

Sedikit banyak kericuhan paska Pemilu tanggal 21 dan 22 Mei di Jakarta dan sekitarnya membawa pengaruh, minimal aktivitas di Ibu Kota Negara ini sedikit berkurang. Jalan-jalan tidak terlalu ramai seperti hari-hari biasa. Aktivitas bisnis sedikit terganggu, beberapa kantor atau tokomemilih tutup untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meredam aksi-aksi brutal yang konon menurut beberapa pakar telah ditunggangi oleh kelompok-kelompok radikal tertentu. Upaya pemerintah itu termasuk di dalamnya pembatasan konten-konten di ranah media sosial (medsos). Tentu beragam tanggapan muncul atas pembatasan medsos yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok yang tidak puas menyebutnya bahwa pemerintah berusaha menutup-nutupi peristiwa yang sedang terjadi. Mereka menjadikannya sebagai bahan propaganda bahwa kebenaran fakta yang terjadi sedang direduksi dan ditutupi. Meski demikian banyak pula yang mengapresiasi tindakan Keminfo ini. Antara lain portal berita ABC Newsyang berkomentar bahwa pembatasan sementara media sosial dilakukan guna menghindari penyebaran konten yang bisa memancing emosi massa. Dalam artikelnya ABC memaparkan contoh hoaks yang tersebar. Disebutkan bahwa seorang pengunjuk rasa berusia muda memberikan informasi “absurd” kepada wartawan ABC bahwa polisi China sudah didatangkan ke Indonesia untuk menembak pengunjuk rasa.

Ross Tapsell seorang ahli tentang Indonesia dari Australia National University yang dikutip New Straits Times (Indonesia Curbs Social Media, Blaming Hoaxers for Flaming Unrest) menyebut antara lain, pelambatan konten video dan foto di Whatapp masuk akal sebab platform itu memungkinkan penyebaran secara massif konten yang bisa menghasut dan memancing kemarahan pada waktu sensitive seperti sekarang ini.

Tentu saja tanggapan-tanggapan lain masih banyak termasuk para ibu rumah tangga yang chattingnya menjadi terhambat, anak-anak milenial yang sulit mengunggah vlog ke canel Youtube dan sebagainya. Kali ini fokus kita bukan pada perdebatan pembatasan kontens di medsos. Namun mari kita lihat dampak luar biasa dari pengaruh medsos pada tindakan massa. Kita masih ingat pengaruh medsos pada kemenangan Donald Trump, krisis ekonomi di Venezuela, gerakan-gerakan radikalis yang membuahkan kehancuran, dan lain sebagainya. 

Medsos telah muncul menjadi kekuatan baru pada masa kini. Akal sehat seolah kehilangan tempat berpijak. Betapa tidak, orang-orang yang berpendidikan tinggi sangat mudah terhasut oleh berita bohong, video dan foto editan atau pernyataan sepenggal dari tokoh-tokoh yang tercipta oleh medsos. Literatur yang digunakan bukan lagi kajian ilmiah, melainkan sepenggal berita porta media abal-abal. Mengherankan, mengapa orang dengan sangat mudah digiring dalam opini dan kemudian jatuh ke dalam ketaatan radikal yang keliru. Mereka bisa taat melakukan apa pun, termasuk mengorbankan nyawanya dan nyawa orang-orang lain yang tidak berdosa. Manusia bisa taat sampai mati, namun dalam jalan yang keliru!

Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku…”(Yoh. 14:23)

Menuruti firman, kalau kita bandingkan dengan ayat 15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”Menuruti firman-Kudan menuruti perintah-Kuditempatkan pada derajat yang sama. Menuruti perintah, jelas di sini Yesus sedang mengajarkan ketaatan! Taat dalam melakukan segala yang diperintahkan. Tentu saja literasi yang kita gunakan bukan seperti literasi medsos: taat sepenggal-sepenggal atau ketaatan membabi buta. Tidak! Lagi pula, Yesus pun tidak pernah menghasut dan menebarkan kebencian. 

Taat terhadap segala firman atau perintah Yesus. Di sini sangat mungkin kita bertanya, perintah-perintah mana yang dimaksudkan Yesus? Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah kita teliti dulu pernyataan Yesus ini. Kalimat atau pernyataan Yesus ini jangan dipahami sebagai, “Kalau kalian benar-benar mengasihi Aku, mestinya kalian akan menaati Aku.” Seolah-olah kecintaan terhadap Sang Guru harus dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan. Inilah yang sering dipakai oleh para pemimpin politis. Mereka mengetes kesetiaan para pengikutnya dengan apa saja yang diinginkannyaharus dilakukan. Bahkan mereka mendoktrinasi agar para pengikutnya melakukan bom bunuh diri. Hal itu dinyatakan sebagai bukti cinta dan pengabdian pengikut pada sang pemimpin!

Yesus tidak sama sekali bermaksud seperti itu! Pernyataan Yesus ini justru menegaskan kebalikan dari sikap seperti itu. Singkatnya, mengasihi Yesus itu bakal membuat orang dapat mengenal dengan baik perintah-perintah-Nya lalu menurutinya. Jadi, mengasihi Sang Guru akan menjadi jaminan agar seseorang dapat memperhatikan perintah-perintah Sang Guru, demikianlah nantinya terungkap bahwa, “siapa saja yang memegang perintah-perintah-Nya, dia itulah yang juga nyata-nyata mengasihi-Nya. Oleh karena itu dia akan dikasihi Bapa dan Yesus akan bersama-sama berada dengannya.

Mengasihi Yesus dalam konteks ini adalah mengakui kebesaran-Nya dan meluangkan, memberi tempat terhormat kepada-Nya serta setia dalam kondisi apa pun. Ini dari sisi murid. Dari sisi Sang Guru? Dikasihi oleh Guru berarti menerima perlindungan dari-Nya. Latar belakang “mengasihi” ini ialah kehidupan umat Perjanjian Lama. Mereka dipilih, dibebaskan, dilindungi, dipedulikan Allah, tetapi sekaligus mereka diharapkan untuk tetap setia kepada-Nya. Jadi, mengasihi dalam pengertian itulah yang menjadi dasar bagi “menuruti perintah-perintah”. Yang dimaksud enggan “menuruti perintah/firman” ialah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari hubungan batin antara dirinya dengan Sang Guru sendiri. Di situlah maknanya bahwa Yesus dan Bapa berkenan tinggal bersama dalam diri sang murid. Sehingga setiap tindakan dan kemauan para murid itu tidak bersumber dari diri mereka sendiri, melainkan dari “yang mendiami dirinya”. Di sinilah juga terungkap makna iman yang sesungguhnya. Bukan saja percaya akan keberadaan Allah dan kemahakuasaan Yesus. Namun, mereka membuka diri, membuka tempat yang paling mulia yakni hati nuraninya untuk didiami oleh Bapa dan Kristus!

Dari sinilah akan terpancar kehidupan iman itu. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku dan tindakan-tindakan para murid Yesus akan menghadirkan kembali Yesus. Mereka akan melihat peri laku murid-murid itu sama seperti apa yang Yesus lakukan, walaupun nantinya Yesus akan berpisah secara fisik dengan mereka. Orang banyak akan melihat para murid Yesus yang mengerjakan segala sesuatu itu dengan ketulusan, kesungguhan, cinta kasih yang besar, ucapan yang ramah, perilaku yang bersahabat, di situlah orang banyak menemukan kembali Yesus dalam diri para murid. Hidup mereka seakan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca oleh banyak orang. Dalam hal ini hidup mereka menjadi kesaksian. Sebaliknya, para murid melakukan segalanya itu bukan atas dasar pencitraan, terpaksa, atau dengan beban berat. Mereka melakukannya dengan sukacita dan dalam ketaatan!

Yesus tidak seperti para pemimpin politis busuk. Para politisi busuk itu mengharapkan pengorbanan pengikutnya, setelah mereka tertangkap, terbukti bersalah dan menderita, mereka akan mengatakan, “orang itu bukan bagian dari kami, kami tidak kenal!” Yesus tidak demikian. 

Yesus menyadari bahwa tugas yang dilakukan oleh para murid itu bukanlah perkara mudah. Mereka memerlukan penolong yang memungkinkan mereka melakukan tindakan-tindakan seperti apa yang Yesus lakukan. Dalam konteks inilah Yesus berjanji untuk tidak melepaskan mereka seperti anak yatim piatu. Yesus berjanji akan memberikan seorang Penolong yang lain yang akan menyertai mereka untuk selama-lamanya. Siapa yang dimaksudkan dengan Penolong yang lain?

Penolong yang selama ini tinggal bersama dengan mereka tidak lain adalah Yesus Kristus itu sendiri. Yesus yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam karya Allah. Ketika Yesus pergi kepada Bapa, Ia akan memintakan kedatangan Penolong yang lain. Penolong yang lain ini akan memerankan seperti apa yang dikerjakan oleh Yesus. Di dalam Dia, kehadiran Yesus tetap dialami oleh para murid. Apa yang akan dikerjakan oleh Penghibur ini adalah mengingatkan orang akan apa yang diajarkan Yesus; menguatkan dan memampukan orang untuk menerjemahkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Segalanya Tuhan telah sediakan. Ia telah lebih dahulu mencintai kita, Ia telah mengajarkan dan meneladankan apa yang harus kita lakukan. Ia telah menjamin memberi pertolongan melalui Roh Kudus. Nah, apalagi yang kurang selain kini kita melakukan perintah atau firman Yesus itu dengan sepenuh hati sehingga orang-orang pada masa kini akan melihat kembali kehadiran Kristus!

Jakarta, Minggu Paskah VI 2019

Kamis, 16 Mei 2019

MENCITAI TANPA BATAS

Adakah cinta yang tanpa batas? Pertanyaan ini hampir mustahil dengan jawaban “Ya, ada!” Mengapa? Sebab, kita semua adalah manusia terbatas. Ego atau pementingan diri sendiri itulah yang menjadi batas dalam kita mencintai. Kita mencintai, dalam bahasa Eka Darmaputra, supayaatau bila. Sehingga bahasa cinta itu menjadi, “Saya mencintai istri sayasupayadia pun mengasihi saya.” Atau “Saya akan mencintai istri saya biladia juga begitu terhadap saya.” Kalimat ini bisa diteruskan terhadap anak, orang tua, saudara, teman, teman sepelayanan, tetangga, dan yang lainnya. Bahasanya bicara tentang kasih, namun kontennya tidak lebih dari transaksi: “saya memberi maka saya harus mendapatkan” atau sebaliknya.

Mencintai, makna terdalam dari kata itu seharusnya bisa membebaskan sang pencinta dari kepentingan-kepentingan sendiri betapa pun alasan-alasan untuk itu sangat rasional. Sebab, adakah yang disebut cinta atau kasih sejati jika segala sesuatu berpulang untuk kepuasan sendiri? Cinta akan menjadi kerdil apabila kita memakainya sebagai alat untuk kenyamanan dan kemuliaan diri sendiri. 

Yesus mengajarkan cinta tanpa batas.

Petrus dan Yudas Iskaryot, adalah dua pribadi yang bereaksi secara berbeda terhadap cinta kasih Yesus. Mereka ada dalam meja perjamuan. Reaksi mereka begitu mencolok dibanding murid-murid yang lain.

Petrus, sosok temperamental. Tidak selalu memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Ketika Yesus berterus terang bahwa Ia harus menderita dan dibunuh, Petrus tampil sebagai sosok pembela. Ia menghardik Sang Guru. Yesus tidak boleh menderita apalagi mati dengan cara mengenaskan. Petrus ingin menyelamatkan Sang Penyelamat! Pada waktu itu, Yesus mengingatkan kepadanya, sebelum ayam berkokok ia akan menyangkal Yesus tiga kali. Petrus adalah pribadi yang kompleks; ia kuat sekaligus lemah. Keduanya ada di dalam dirinya. Ia akan menyangkal Yesus, namun ia juga akan menangisi tindakannya itu dan mohon pengampunan. 

Bukankah dalam beberapa hal, kita mirip-mirip Petrus? Ingin mengikut dan melayani Yesus, namun akhirnya terus-menerus menyangkal Dia? Bahkan lebih buruk lagi, kita pura-pura tidak mengenal-Nya. Kadang-kadang kita takut akan kasih, dan tanggung jawab yang mengalir dari relasi kita dengan Yesus yang dekat. Kita dapat berkata “Ya” kepada Yesus yang berkuasa yang memanggil kita untuk melakukan hal-hal besar, sejauh kita berada pada pihak yang berkuasa. Sebaliknya, kita mengatakan “Tidak” ketika diperhadapkan dengan pelbagai kesulitan dan kerentanan hidup. Seperti Petrus kita memilih cara sendiri untuk merespons cinta-Nya. Kita juga sering mengalami kesulitan untuk menjadi seperti seorang anak dan percaya tanpa syarat pada kasih-Nya.

Yudas menolak dan takut akan kasih. Ia menyingkirkan Yesus. Setelah membasuh kaki para murid dan menyatakan dambaan-Nya akan kasih, kesatuan, dan persekutuan, hati Yesus gundah. Ia ingat akan kata-kata dalam Mazmur 41, yang berbicara tentang sahabat karib yang dipercaya, “…yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku.”

Jelas, yang dimaksudkan Yesus adalah Yudas, murid-Nya, sahabat-Nya. Yudas yang Ia percaya, yang kakinya telah Ia basuh. Ia pergi untuk menghianati-Nya, menyingkirkan Sang Cinta itu! Yudas menolak untuk mencintai Yesus, ia melawan Dia. Ia sudah mulai membenci Yesus. Pasti, Yesus tahu kedalaman isi hati Yudas. Namun, Ia terus menyatakan kasih-Nya itu kepada Yudas. Yesus tidak melewatkan pembasuhan kaki terhadap Si Penghianat ini. Mungkin saja tatapan mata-Nya beradu dengan mata Yudas, kain lenan basah yang menyeka kaki yang kotor itu terasa menusuk sanubari. Namun, betapa kerasnya hati itu sehingga Yudas memilih hengkang dan bergabung dengan para pembenci Yesus. Yesus tahu sejak dari awal tabiat Yudas. Namun, Ia tetap memilih mencintainya. Itulah cinta tanpa batas.

Tabiat Yudas bisa ada dalam diri kita. Bisa saja kita mengikut Yesus dengan motivasi mendapatkan keuntungan tertentu. Lalu, ketika yang didambakan itu tidak terwujud, kita menjadi kecewa dan memilih meninggalkan Dia. Namun, Yesus tetap membuka cinta-Nya bahkan bagi si penghianat yang mau kembali. Percayalah bahwa pengampunan dan kasih-Nya begitu besar. Sayang, Yudas berbeda dari Petrus. Ia memilih berada pada posisi menolak cinta-Nya bahkan sampai akhir hidupnya yang tragis!

Ketika Yudas meninggalkan ruangan, Yesus memanggil para murid-Nya dengan sebutan “anak-anak-Ku”. Dalam arti tertentu mereka memang masih anak-anak kecil. Mereka baru saja dilahirkan menjadi murid; baru tiga tahun mereka mengenal Yesus. Mereka belum matang dan dituntut untuk berkembang cepat. Yesus hendak menunjukkan kepada mereka jalan menuju hidup yang utuh dan suci, jalan yang akan melewati kegembiraan yang menggairahkan dan rasa sakit yang mengerikan, dan berakhir dalam kesatuan dengan Yesus di dalam kemuliaan.

Selanjutnya, Yesus meninggalkan pesan terakhir, 
Aku memberikan perintah baru kepada kamu,
yaitu supaya kamu saling mengasihi; 
sama seperti Aku telah mengasihi kamu,
demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Dengan demikian, semua orang akan tahu
bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”  (Yohanes 13:34,35)

Menurut Hukum Musa, orang-orang Yahudi dipanggil untuk mengasihi Allah dengan seluruh jiwa, hati, budi, dan kekuatan mereka, dan mencintai sesama seperti diri mereka sendiri. Dalam pesan-Nya, Yesus memanggil para murid tidak hanya untuk mencintai orang lain seperti mereka mencintai diri mereka sendiri, melainkan mencintai seperti Dia – Yesus – mencintai mereka. Inilah yang baru!

Apa yang mencolok dalam konteks ketika Yesus mengatakan “mencintai seperti Aku mencintaimu”? Jelas bukan semata mencintai diri sendiri. Betapa pun diri sendiri menjadi tolok ukur dalam mencintai orang lain, tetap ada batasnya! Ada batasnya kita mencintai diri sendiri, entah kemampuan atau pun cara kita mencintai diri sendiri. Ketika Yesus mengatakan bahwa kita harus mencintai sama seperti Dia mencintai kita, maka kita akan teringat dengan figur Petrus dan Yudas Iskaryot.

Mencintai orang yang mencintai kita adalah lumrah. Yesus pernah mengatakan, cinta semacam itu, para pemungut cukai pun melakukannya. Cinta yang mengharapkan pamrih, adalah cinta yang umum dan berbatas. Namun, mencintai orang yang jelas-jelas tahu akan menyangkal dan menolak kita inilah yang disebut mencintai seperti Yesus mencintai. Mengasihi orang yang jelas-jelas kita tahu akan menghianati dan mencelakakan kita, itulah cinta kasih yang tanpa batas! Inilah perintah baru itu, yakni agar murid-murid Yesus melakukan-Nya.

Mungkin terdengar mustahil. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Banyak contoh tentang itu, salah satunya:

Pada bulan Mei 1981, Alm. Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mohammed Agca. Dua tahun kemudian, Lance Morrow menceritakan bahwa di balik tembok putih polos Penjara Rebbiba di Roma, Yohanes Paulus menggenggam tangan orang yang nyaris membunuhnya. Selama 21 menit, Paus duduk dengan orang yang hampir membunuhnya… Keduanya bercakap-cakap dengan lembut. Sekali, atau dua kali, Agca tertawa. Sang Paus mengampuninya. Pada akhir pertemuan, tidak jelas apakah Agca mencium cincin Paus atau menempelkan tangan Paus ke dahinya sebagai tanda simbol hormat dalam Islam. Cinta kasih itu tanpa batas, melampaui keyakinan, agama, ras, dan derajat sosial. Cinta kasih itu meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan relasi kemanusiaan.

Bukankah itu yang terjadi dengan Petrus. Ketika Petrus dipulihkan, ia menjadi seorang yang mampu menerobos sekat pemisah antara Yahudi dan non Yahudi dan ia bersedia mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di depan sidang di Yerusalem (Kisah Para Rasul 11:1-18). 

Sekarang apa yang menjadi tanda kita sebagai murid Yesus? Sudahkah kasih Yesus yang tanpa batas itu juga mewarnai kehidupan iman kita. Sehingga dengan siapa pun kita dapat berinteraksi, berelasi dan membagikan cinta kasih Kristus!

Jakarta, Minggu Paska V