Jumat, 03 Mei 2019

MENGENAL YESUS DALAM SELEBRASI

Para pecandu sepak bola pasti mengenal gaya bermain idolanya, termasuk ketika sang idola itu melakukan perayaan setelah mencetak gol. Sebut saja Ahmed Musa, penyerang Nigeria. Ia akan merentangkan kedua tangannya seperti sayap pesawat terbang, berlari dengan gembira ketika berhasil menjebol gawang lawan. Siapa yang tak kenal Ronaldo? Penyerang legendaris Real Madrid. Ia punya berbagai gaya unik ketika berhasil membuat gol. Salah satu gayanya, ia berjongkok sambil meletakan tangan di dagunya seolah sedang berpikir keras. Bahasa tubuhnya jelas, ia menggambarkan pihak lawan yang berpikir keras: mengapa gawang mereka sampai kebobolan. Masih banyak lagi gaya dan ulah selebrasi para pemain sepak bola itu berhasil mencetak gol. 

Selebrasi, tentu saja bukan hanya milik dunia sepak bola. Hampir di semua lini kehidupan, apabila seseorang berhasil menaklukkan pencapaian tertentu ia akan mengadakan selebrasi atau perayaan, entah sederhana maupun dalam suasana ingar bingar. Sangatlah wajar ketika seseorang atau sebuah komunitas merayakan keberhasilan atau kemenangan.Tidaklah keliru kalau keberhasilan kita dirayakan dengan sukacita.

Dalam tradisi Yahudi, ada salah satu hari raya yang berkaitan dengan selebrasi atau semacam perayaan kemenangan. Hari itu adalah Hari Raya Penahbisan Bait Allah di Yerusalem. Hari itu diperingat setiap tahun untuk memperingati penahbisan mezbah baru dan penyucian Bait Allah oleh pejuang Yahudi yang bernama Yudas Makkabe. Mengapa mezbah dan Bait Allah itu harus disucikan atau ditahbiskan kembali? Bait Allah dan mezbahnya itu telah dicemarkan! Antiokhus IV pada tanggal 25 bulan Kislew (bulan Desember) sekitar tahun 167 atau 168 sM menajiskan Bait Allah dengan mempersembahkan korban di mezbah Bait Allah itu kepada dewa Zeus. Ia juga memaksa untuk memasuki ruang maha kudus di Bait Allah dan merampas perbendaharaan emas dan perak di Bait Allah. 

Peristiwa ini tentu saja menyulut kemarahan luar biasa dari orang-orang Yahudi, khususnya mereka yang tergabung dalam kelompok kaum Zelot.Mattathias memimpin pemberontakan terhadap hegemoni Romawi itu. Sayang, ia kurang berhasil. Namun kemudian perjuangannya diteruskan oleh sang anak, Yudas Makkabe. Ia berhasil memenangkan pertempuran dan kembali menguasai Bait Allah. Kemenangan itu ia pergunakan untuk memurnikan kembali Bait Allah yang sempat “dicemari” oleh Antiokhus. Peristiwa selebrasi itulah yang kemudian hari dirayakan sebagai Hari Raya Penahbisan Bait Allah.

Pada hari selebrasi inilah, Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo. Tentu saja pada saat itu Yesus sudah menjadi seperti seorang “selebritis”. Tanda-tanda atau mukjizat yang dilakukan-Nya telah banyak menimbulkan ketakjuban banyakorang. Ke mana saja Ia pergi selalu diikuti oleh orang banyak yang berbondong-bondong. Namun, pada pihak lain, hal inimenimbulkan kecemburuan dari kalangan orang Yahudi terutama para imam.

Pada musim dingin di serambi Salomo itulah orang-orang mengelilingi Yesus dan bertanya kepada-Nya, “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jika Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.”(Yoh.10:24). Mengpa mereka menyatakan diri sebagai orang-orang yang bimbang? Tentu saja pertanyaan seperti ini – yang dilontarkan pada saat Hari Raya Penahbisan Bait Suci dilatarbelakangi oleh pengharapan bahwa Yesus pun mampu menghadirkan selebritas atau perayaan kemenangan seperti apa yang sudah dilakukan oleh seorang Yudas Makkabe. Mereka bertanya bingung, mengapa Yesus tidak seperti Yudas Makkabe? Mengapa Dia tidak melakukan pemberontakan dan mengalahkan Roma dengan kemenangan yang lebih hebat ketimbang Makkabe? Inilah yang membuat mereka hidup dalam kebimbangan!

Jelaslah, orang-orang yang mempertanyakan kemesiasan Yesus dan mereka yang bimbang adalah orang-orang yang berharap bahwa Yesus hadir untuk memenuhi harapan atau ambisi mereka, dalam hal ini menjadi “mesias penakluk”. Kenyataannya, mereka tidak melihat Yesus yang seperti itu!Yesus menjawab berkaitan dengan ajaran-Nya tentang “Gembala yang baik”, “Aku telah menyatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya;…. karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.”(Yoh.10: 25,26). 

Kemesiasan Yesus terlihat bukan sebagai figur sang penakluk. Kemesiasan itu terlihat dalam karya-karya ilahi dan ajaran kebenaran-Nya. Melihat dan mengalami mukjizat ternyata tidak menjamin seseorang dapat memahami Yesus sebagai Mesias yang sebenarnya. Bukan Yesus tidak mampu menghadirkan selebrasi seperti Makkabe menghadirkan-Nya. Namun, bukan itu misi-Nya hadir ke dunia. Ia hadir sebagai firman yang hidup. Kehidupan, pelayanan, ajaran dan mukjizat-Nya harus ditanggapi sebagai perwujudan firman yang menjadi manusia. Dia hadir sebagai Gembala yang baik yang memenuhi gambaran Mazmur 23. Gembala yang memberi makan dan membimbing para domba-Nya. Dia sendiri menyatakan dengan jelas, “Aku dan Bapa adalah satu.”Alih-alih mengaminkan apa yang dikatakan Yesus, mereka bertindak beringas dan hendak merajam Yesus.

Yesus menyadari, bahwa “mereka yang bukan termasuk domba-domba-Nya” tidak akan mengerti. Mereka tidak pernah benar-benar “mendengarkan” suara Sang Gembala. Ajaran, karya, dan karsa Yesus hanya bisa dimengerti oleh domba-domba-Nya sendiri. Hal ini mirip-mirip dengan pengajaran perumpamaan-Nya dalam Matius 13. Walaupun perumpamaan itu disampaikan melalui ilustrasi kehidupan sehari-hari, namun mereka tidak pernah memahami. Kehidupan keagamaan yang mereka praktikan hanyalah sebatas umat selebrasi, yaitu umat yang menjaga dan merayakan hari raya keagamaan dengan konsisten, tekun dan semarak, tetapi tidak pernah belajar mengenali karya Bapa di dalam Yesus Kristus. Telinganya selalu tertutup atau tepatnya ditutup ketika mendengar suara Sang Gembala Baik. Karena itulah mereka tidak pernah melihat kemuliaan Bapa hadir di dalam Yesus Kristus.

Bisa saja kehidupan keagamaan kita sama seperti orang-orang yang menolak kemesiasan Yesus. Kita menjadi umat selebritas yang merayakan dan memelihara tradisi dengan begitu ketat. Namun, tidak menjadi pendengar dan pelaku firman yang sesungguhnya. Kita gemar kalau ibadah-ibadah kita meriah, dengan pengunjung yang berlimpah. Kita suka kalau tahun-tahun gerejawi dirayakan dengan meriah, meski untuk itu menyita dana dan daya. Namun, sayangnya acara-acara itu kerap kali menyisakan permasalahan. Pertikaian pendapat, perselisihan karena ide yang tidak tertampung lalu kita marah dan bermusuhan. Jelaslah, ini bukan perilaku domba-domba yang mendengar suara Sang Gembala!

Di luar peribadahan di gereja. Bukankah kita juga sering menjadi orang yang gemar selebritas: haus akan perayaan-perayaan kesuksesan. Kita ingin menjadi nomor satu dengan menaklukkan saingan-saingan kita. Kita ingin selalu menonjol dan diutamakan! Jelaslah, perilaku ini pun bukan tabiat seorang domba gembalaan Yesus. Yesus tidak pernah mencontohkan kehidupan yang demikian. Cermati, dan kenalilah suara-Nya, baik dalam peristiwa kehidupan sehari-hari maupun dalam ibadah-ibadah kita. Lalukanlah yang Dia kehendaki, pastilah kita akan dapat merayakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jakarta, Paskah IV 2019

Rabu, 01 Mei 2019

PERJUMPAAN YANG MEMULIHKAN

Ada berbagai alasan untuk orang kembali pada pekerjaan lama. Bisa saja ia melihat dalam pekerjaan yang baru tidak bisa mengoptimalkan kompetensinya. Ia malah tergagap dan tidak berdaya. Kemungkinan lain, pekerjaan baru tidak menjanjikan penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Atau namanya sudah melekat dan dikenal orang melalui pekerjaan lama yang ia tekuni. 

Petrus dan enam orang temannya pergi ke Danau Tiberias. Mereka kembali ke pekerjaan lamanya: jadi nelayan di danau itu. Padahal mereka dulu telah dipanggil Tuhan dari danau itu agar berhenti menjadi penjala ikan, mengikuti-Nya dan kemudian menjadi penjala manusia. Oke-lah, mungkin saja mereka masih kecewa dan terpukul atas kematian Yesus, Guru mereka yang diharapkan menjadi mesias yang akan mengangkat harkat martabat mereka dan tentunya kaum Yahudi. Namun, jika itu alasannya, bukankah Yesus yang bangkit itu sudah beberapa kali menjumpai dan menyapa mereka? Bahkan secara khusus Ia menepis semua keraguan yang diwakili oleh Tomas. Setidaknya, mereka juga melihat demonstrasi Yesus memperlihatkan luka-luka di tubuh-Nya. Dan, yang tidak kalah pentingnya, bukankah Yesus yang bangkit itu telah memberi tugas, mengutus para murid sama seperti Bapa mengutus diri-Nya? Lalu sesudah itu Ia menghembusi mereka dengan Roh.

Lalu, apa yang salah? Apakah mereka mengartikan tugas perutusan itu untuk kembali ke danau? Apakah misi yang diemban agar mereka mendapatkan ikan yang banyak? Injil Yohanes tidak menjelaskan mengapa mereka kembali ke pekerjaan lama dan tidak melaksanakan misi yang diamatkan Yesus. Mengisi kekosongan jawab ini, ada banyak penafsir berpendapat bahwa kemungkinan kisah ini adalah kisah yang dirangkai di kemudian hari. Injil Yohanes mestinya berakhir pada Yohanes 20:31. Namun, ada juga yang berpendapat Yohanes 21 itu merupakan bagian utuh yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Hal ini dibuktikan dari penemuan-penemuan naskah kuno yang memang utuh sampai pasal 21.

Alasan apa pun yang dikemukakan sepertinya bukan itu yang harus kita persoalkan. Bukankah lebih baik mencari makna di balik kisah itu. Petrus memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan pergi menangkap ikan. Mungkin saja ia dan teman-temannya sedikit bosan dan dalam kadar tentu merasa tidak pasti mengenai apa yang akan terjadi danapa yang harus mereka lakukan.

Mereka pergi semalaman, tetapi tidak menangkap apa-apa. Ketika hari menjelang siang, Yesus berdiri di tepi pantai danau itu. Petrus dan keenam temannya tidak menyadari bahwa yang berdiri itu adalah Yesus. Yesus bertanya kepada mereka, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?”Yesus menyebut mereka anak-anak, yang merupakan ungkapan kasih kebapaan dari seorang guru kepada para muridnya. Dalam bahasa Yunani, pertanyaan Yesus itu menantikan jawaban negatif: “Kami tidak punya!” Kemudian Yesus menyuruh mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu. Tidak disangka, jala mereka penuh dengan ikan. Seratus lima puluh tiga ekor banyaknya.

Segeramurid yang dikasihi mengenali orang yang berbicara kepada mereka. Ia pun berseru kepada Petrus, “Itu Tuhan!” Petrus mengenakan pakaiannya – karena ia telanjang – lalu terjun ke danau, dan lari mendapatkan Yesus.

Petrus sering kali tampil dan ditampilkan sebagai pemimpin dari murid-murid yang lain. Namun, ia bukanlah yang pertama mengenali Yesus. Ia membutuhkan murid yang dikasihi agar dapat mengenali Yesus. Para pemimpin, betapa pun hebatnya dia, dapat tersedot perhatiannya oleh tanggung jawab kepemimpinannya, sehingga ia memerlukan orang lain untuk membantu, yaitu orang yang mempunyai mata atau pandangan yang jernih. Ketika Petrus dibantu untuk melihat bahwa itu adalah Yesus, ia terjun menemui Dia. Ia berani mengambil risiko dengan terjun ke danau. Matanya terpaku kepada Yesus. Petrus langsung taat kepada Yesus ketika Yesus menyuruhnya untuk menarik jala. Ia tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya, tetapi ia sendiri. Ia menjadi pemimpin sekaligus pelayan!

Di awal, ketika Yesus memanggil para murid untuk mengikuti-Nya, Yesus memilih Simon Petrus sebagai “Kefas”, Sang “Batu Karang”. Di atas batu karang ini komunitas akan dibangun. Petrus mempunyai watak dan ciri-ciri seorang pemimpin. Ia maju atas nama kelompok dua belas murid untuk menyatakan imannya kepada Yesus.

Petrus juga berani menegur Yesus mengenai apa yang harus Ia lakukan dan tidak boleh Ia lakukan, serta berusaha untuk membela Yesus agar Ia tidak ditangkap. Akhirnya ketika Yesus menjadi begitu rentan. Ia menjadi pesakitan dan siap dibantai, Petrus, orang kuat sekaligus lemah ini jatuh dan mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus. Ia menyangkal Yesus tiga kali. Sang “Batu Karang”, jelas bukan batu karang lagi! Ombak dasyat menghempaskannya hingga menjadi puing-puing pasir. Apakah kemudian Petrus kehilangan perannya sebagai “batu karang”?

Pada hari Paskah pagi, ketika Maria dari Magdala datang mendapatkan para murid, jelas ia mencari Petrus sebagai pemimpin kelompok, meski Petrus telah menyangkal Yesus. Bagaimana dengan sikap Yesus? Pantaskah orang seperti ini dipertahankan sebagai “batu karang”? Apakah Ia akan mengalihkan kepemimpinan kepada murid yang dikasihi, yang tetap setia sampai akhir dan berada di kaki salib?

Lihat bagaimana Yesus memulihkan:

Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”

Tentu tidak mudah bagi Petrus untuk menjawab pertanyaan ini. Lidahnya tidak selantang dulu. Petrus telah belajar. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Dulu, ia berkata, “Tentu, dan saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” Petrus kini telah diajar untuk rendah hati oleh pengalamannya; ia tahu dan mengenal kelemahan-kelemahan dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Yang dapat ia katakana – mungkin dengan suara yang bergetar – adalah: “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Yesus mengatakan kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Petrus sedih karena Yesus mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Dengan cara itulah Yesus memulihkan Sang “Batu Karang”, Ia memulihkan Petrus sebagai gembala yang harus menggembalakan domba-domba-Nya. Domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Yesus. Petrus tidak mempunyai hak untuk menguasai domba-domba itu; ia diberi tugas untuk membantu mereka agar berada dalam kesatuan dengan Yesus, agar mendengarkan suara Sang Gembala Agung. 

Dengan cara itu pula, Yesus melembutkan dan mengajar agar Petrus rendah hati dan kemudian dapat memimpin, mengembangkan dan bertanggung jawab terhadap kawanan domba Allah, sebagai pembuktian bahwa ia mencintai Yesus.

Petrus dipanggil terutama dan pertama-tama untuk anak-anak domba (Yun: arnia), yakni memberi makan yang kecil, memperhatikan mereka yang tersesat, kesepian, lemah, sakit, dan lapar, mereka yang tersingkirkan dari masyarakat. Petrus dipulihkan untuk mengikuti dan meneladani Sang Gembala Baik, untuk menuntun kawanan, untuk mencuci kaki orang lain, untuk memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.

Petrus adalah kita!
Siapa kita? Jelaslah tidak setegar batu karang. Kerap kali dengan bahasa, gaya, sikap dan pikiran, kita menyangkal Tuhan. Barang kali lebih dari tiga kali kita menyangkal untuk tidak taat dan setia kepada Kristus. Demi rasa aman dan nyaman, kita menolak untuk setia pada firman-Nya. Kita mengikut arus dan bersembunyi di balik berbagai alasan. Lalu, apakah Yesus menyerah dan diam? Rasanya Tidak! Sama seperti terhadap Petrus, Ia juga bertanya kepada kita, “Apakah engkau mengasihi-Ku?”Pertanyaan itu seharusnya kita tempatkan sebagai sarana pemulihan dan peneguhan kembali jati diri kita sebagai murid-murid-Nya. 

Sama seperti Petrus, kita pun diajar untuk kembali melihat pengalaman. Memperbaiki apa yang retak dan bahkan pecah. Mengumpulkan puing-puing agar kembali menjadi batu karang. Sama seperti Petrus, kita diajar untuk rendah hati, menanggalkan keegoisan dan memandang orang lain – kawanan domba – sebagai orang-orang yang berharga, yang harus dijaga bahkan dengan mempertaruhkan nyawa.

Yang menjadi permasalahan sekarang: Maukah kita mengalami pemulihan?

Jakarta, Paskah III 2019