Rabu, 10 April 2019

SUARAKAN DAMAI

Betfage kini tidak lagi diketahui secara pasti di mana letak yang sebenarnya. Kalau pun ada orang yang menunjukkannya itu hanya perkiraan saja. Misalnya, ketika orang pergi tour holy land, pemandu wisata akan menunjuk Abu Dis sebagai Betfage.  Sama seperti pohon ara yang telah memperjumpakan Zakheus si pemungut cukai itu dengan Yesus, orang segera melupakannya pohon ara tersebut. Nasib Betfage mungkin serupa, ia tidak lagi diingat. Meski tidak tahu lagi tempatnya di mana, kitab Injil mencatat peran desa kecil itu. Di pedesaan itulah Yesus pernah mengutus dua orang murid-Nya untuk mengambil keledai yang akan dikendarai-Nya memasuki Yerusalem. “Ketika telah mendekati Betfage dan Betania, yang terletak di bukit yang bernama Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya…”, demikian Lukas mencatat nama desa itu.

Betfage (Aram: tempat pohon ara, atau rumah buah) agaknya terletak antara Betania dan Yerusalem. Para peziarah yang hendak menuju Yerusalem dari Yerikho harus melalui desa kecil itu. Kedua kampung, Betania dan Betfage terletak di perbukitan. Saya membayangkan perkampungan itu sebuah tempat yang tenang dan damai. Setelah melewati Betania kampung Maria, Marta dan Lazarus yang dibangkitkan itu, Yesus menyuruh kedua orang murid-Nya ke Betfage untuk menjemput keledai betina muda yang belum pernah ditunggangi orang. Tampaknya Yesus sudah mempersiapkan sedemikian rapi perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Seakan Ia mengenal dengan baik orang yang mempunyai keledai di kampung itu. Sangat mungkin Yesus sudah membuat janji terlebih dahulu dengan pemilik keledai itu untuk sewaktu-waktu Ia gunakan. Ini terbukti ketika ada utusan yang memintanya, segera keledai itu diserahkan oleh sang pemiliknya. Namun, ada juga penafsir lain yang punya pendapat berbeda. Bukan begitu! Yesus selalu ada bersama-sama para murid, Ia tidak pernah bikin janji sendiri dengan pemilik keledai. Yesus adalah Tuhan yang tahu segala-sesuatu termasuk pemilik keledai itu. Ia sanggup melihat ke masa depan, dan karena itu dapat memerintahkan kedua murid-Nya untuk mengambil keledai itu. 

Sepertinya tidak terlalu penting untuk kita mempermasalahkan apakah Yesus sudah berhubungan terlebih dahulu dengan si pemilik keledai atau Dia sudah tahu segala sesuatunya. Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah kerelaan si pemilik keledai yang memberikan milik  terbaiknya untuk tunggangan Yesus. Tampak sekali tidak ada proses transaksi atau tawar-menawar antara dia dan dua utusan Yesus. Mereka membawanya begitu saja (Lukas 19:34,35). Pernahkah kita berpikir apa yang menjadi motivasi si pemilik keledai itu sehingga dengan rela memberikan keledainya? Bisa saja nama Yesus sudah begitu dikagumi sehingga siapa pun menghormati dan rela memberikan miliknya ketika diminta Yesus. Ataukah ia takut terhadap orang banyak yang sudah ngefans dengan Yesus. Tidakkah kita mencoba berpikir lebih positif bahwa, ia mempunyai sebuah kerelaan dan sukacita ketika dapat memberikan sesuatu untuk memfasilitasi karya Tuhan? Bisa jadi orang ini begitu kuat ingin berpartisifasi dalam pekerjaan Yesus!

Yesus memasuki kota Yerusalem menunggang keledai. Bukan kuda! Keledai adalah tunggangan yang lazim digunakan orang pada situasi damai. Selain unta, keledai biasa dipakai sebagai hewan tunggangan untuk mengangkut orang dan barang. Sedangkan kuda lazimnya dipakai untuk berperang. Meski menaiki keledai, tindakan-Nya memasuki Yerusalem tidaklah menghilangkan kesan bahwa Dia-lah Mesias sebagai pemenuhan nubuat Zakharia 9:9, orang Yahudi pasti dengan cepat akan mengerti gerakan teatrikal ini. 

Meski demikian, berbeda dari penulis Injil lainnya, Lukas tidak mencatat adanya orang-orang yang mengangkat daun-daun palem sambil menyerukan pujian. Lukas hanya mengisahkan bahwa para murid atau pengikut-Nya yang menghamparkan baju dan menyerukan pujian yang nyaring sehingga mengusik telinga orang Farisi.  Mereka memuji Allah karena segala mukzijat yang telah mereka lihat. Pujian para murid itu berasal dari Mazmur 118. Mazmur tersebut memang dimaksudkan untuk peristiwa penyambutan seorang raja yang masuk ke kotanya.

Yesus bukanlah raja biasa, Ia bukan raja politik. Oleh karena itu Lukas dengan sengaja tidak menyertakan khalayak ramai yang mengelu-elukan Yesus, cukup para pengikut-Nya saja. Bagi Lukas peristiwa ini bukan people power, bukan aksi demonstrasi politik yang menentang kekuasaan Romawi dan bermaksud menggulingkannya. Bukan seperti gerakan Yudas Makabeus! Melainkan sebuah seruan pujian terhadap Sang Mesias yang telah berkarya melakukan segala kehendak Allah; menghadirkan damai sejahtera. Yesus datang sebagai Raja Damai, pembawa keselamatan yang dari Allah, sebagai Mesias yang datang demi nama TUHAN (Mazmur 118:26).

Jelaslah sorak-sorai penyambutan Sang Mesias itu adalah sorak-sorai menyuarakan damai, bukan demo menantang perang! Namun, tetap saja suasana itu ditanggapi negatif oleh beberapa orang Farisi yang turut dalam rombongan Yesus itu. Mereka meminta supaya Yesus menghentikan sorak-sorai itu. Namun, Yesus membiarkan dan seolah mendukung, jawab-Nya, “Aku berkata kepadamu: Jika mereka diam, maka batu ini akan berteriak.” (Lukas 19:40).

Kisah Yesus memasuki Yerusalem versi Lukas memperlihatkan kepada kita seakan-akan ada garis demarkasi yang memisahkan antara para murid atau pengikut Yesus yang telah menyaksikan pengajaran dan mukjizat yang dilakukan-Nya dengan penduduk kota Yerusalem pada umumnya. Melalui gerak teatrikal yang tidak biasa, yakni dengan menunggang keledai (selama ini Yesus berkeliling dari kampung ke kampung memberitakan Injil, mengajar, dan melakukan banyak mukjizat hanya dengan berjalan kaki. Sesekali naik perahu, namun belum pernah menggunakan hewan tunggangan) Ia ingin menyatakan diri-Nya sebagai Mesias Raja Damai! Tampaknya Ia sama sekali tidak tergoda untuk menjadikan diri-Nya sebagai Mesias penakluk yang hendak menggulingkan Kaisar Romawi. Oleh karena itu sudah selayaknyalah setiap murid Kristus selalu membawa pesan damai. 

Gereja harus mempersiapkan umatnya bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai orang-orang yang siap diutus membawa damai. Ibarat Betfage, gereja mestinya menjadi "kawah candradimuka", tempat menggembleng warganya agar mampu menghadirkan – bukan keledai – orang-orang yang tidak saja dapat membawa simbol-simbol perdamaian, tetapi juga berani menyuarakan dan menjadi alat damai sejahtera di bumi ini. Melalui pelbagai pembinaan dan corak ibadah, gereja terpanggil untuk menyiapkan anggota-anggotanya berkiprah membumikan damai sejahtera dalam pelbagai bidang kehidupan.

Adalah tidak fair gereja mengutuk dan mencaci maki para politisi – yang memang bermoral bobrok – tanpa sebelumnya ikut andil dalam menyiapkan dan dengan sengaja membina warganya agar mereka mampu menjadi garam dan terang di ranah politik. Tidak adil rasanya ketika gereja hanya menyesalkan banyaknya pebisnis kotor yang tidak peduli dengan harkat martabat manusia, tanpa sebelumnya membekali mereka dengan benteng moral yang bersumber dari kebenaran Injil. Demikian juga di bidang-bidang ilmu pengetahuan, penegakan hukum, gaya hidup, dan lain sebagainya. Gereja harus seperti Betfage, memfasilitasi dan menyiapkan para anggotanya untuk berperan meneruskan karya Yesus di dunia ini. Gereja tidak boleh sibuk dengan dirinya sendiri. Gereja tidak boleh menciptakan rasa aman dan nyaman sendiri. Gereja harus gelisah, sama seperti Yesus gelisah ketika memandang ketidak-benaran, ketidak-adilan dan kedzoliman yang terjadi di mana-mana. 

Gereja harus rela memberi orang-orangnya yang terbaik – seperti di Betfage, pemilik keledai itu memberikan dan merelakan miliknya yang terbaik – untuk karya pendamaian di muka bumi ini. Gereja tidak boleh kecewa dan meratapi diri apabila mungkin suatu saat dirinya tidak diingat lagi. 

Jakarta, Palmarum 2019 

Selasa, 09 April 2019

IA TERPAKU DAN TELANJANG

Ia yang menggantung bumi, tergantung di sini,
Ia yang memasang surga, di pasang di sini,
Ia yang menciptakan segala sesuatu teguh terikat, diikat pada sebatang kayu,
Tuan untuk dihina, Allah telah dibunuh,
Raja Israel telah disembelih oleh tangan Israel…
Tuan telah diperlakukan secara tidak pantas,
Tubuhnya telanjang…
Dan bahkan, tidak layak untuk ditutupi, sehingga ketelanjangannya tidak tampak.
Maka cahaya surga berpaling, dan hari menjadi gelap,
agar dapat menyembunyikan Dia yang dilucuti pakaian-Nya di atas salib.”(Melito dari Sardis, “Homili tentang Kesengsaraan”, dikutip oleh Hengel, Crucifixion, p.21)

Keempat Injil bercerita bahwa di Golgota,sebelum penyaliban, pakaian Yesus segera dibagi-bagi di antara para serdadu. Pada umumnya, orang yang divonis hukuman salib harus memikul salibnya sendiri dengan telanjang melewati jalan-jalan di Yerusalem. Tetapi karena orang Yahudi ngeri terhadap ketelanjangan di depan umum, terkadang dibuat pengecualian. Bisa jadi, perlakuan terhadap Yesus juga demikian. Meneguhkan pendapat itu, salah satu lukisan penyaliban paling awal adalah gambar dari pahatan kecil abad ke-2 pada sebuah permata yang menampilkan tubuh Yesus di salib yang telanjang dan sudah rusak. 

Di Golgota, Yesus dipaku dan telanjang! Bagi kebanyakan orang lebih mudah memahami siksaan fisik yang mengerikan ketimbang membayangkan perendahan paling keji pada saat seseorang disalibkan. Filsuf Seneca menegaskan bahwa lebih baik melakukan tindakan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. “Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh dirusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib.

Salib yang ditemui pada masa sekarang jauh lebih baik. Namun, bukan merupakan model atas kesetiaan kepada sejarah. Salib-salib itu, hampir tanpa pengecualian, entah dilukis entah diukir, salah! Salib-salib itu menampilkan tubuh yang tersalib secara amat rapi. Ditutup dengan kain pinggang, masih mengenakan mahkota duri, dan paku menerobos telapak tangan-Nya, bahkan pergelangan tangan-Nya. Terlalu indah!

Meski dihina, martabat-Nya direndahkan serendah-rendahnya, sebelum ajal tiba. Yesus masih memikirkan orang lain. Ia tidak meminta dikasihani, tetapi kasih-Nya terus terpancar. Yesus masih memikirkan nasib Maria, bunda-Nya. Ia menitipkan kepada murid yang dikasihi-Nya. Dan sejak saat itu Maria menjadi ibu bagi para murid. Tidak hanya itu, di dalam diri-Nya sama sekali tidak tersirat kebencian terhadap orang-orang yang memusuhi, merendahkan, menganiaya dan membunuh-Nya. Alih-alih kutuk yang meluncur dari mulut-Nya adalah syafaat kepada Bapa-Nya, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”(Lukas 23:34). Syafaat itu jelas ditujukan bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas penyaliban-Nya, yaitu penguasa Romawi, Pilatus, dan para tentaranya serta para pemimpin Yahudi yang menyerahkan-Nya kepada wali negeri Romawi untuk disalibkan.

Bisa saja kita memiliki tabiat seperti penguasa Romawi yang gemar menaklukkan, gemar menjadikan orang lain obyek dari kenikmatan kita. Pilatus juga bisa mewakili kita yang selalu memilih rasa aman dan nyaman ketimbang memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Atau kita adalah para pemuka Yahudi, yang menggunakan agama sebagai alat untuk menghukum, menghajar, menghardik dan menindas sesama. Kita merasa diri paling benar dan orang lain adalah penista agama! Yesus juga telah berdoa untuk kita. Dia menyampaikan syafaat kepada Bapa agar kita diampuni dan diterima kembali!

Di dalam Yesus, setiap orang akan melihat apa artinya pengampunan. Di dalam Yesus, setiap orang diterima meskipun telah melakukan kekejian. Kasih-Nya yang besar seharusnya mendorong setiap kita untuk bersyukur dan menanggapi dengan kehidupan pertobatan. Kristus telah mati agar kita mendapatkan kehidupan kekal, maka sewajarnyalah kita bersyukur dan menjadi pelayan-Nya yang setia!