Kamis, 21 Maret 2019

BERBUAH DI DALAM ANUGERAH

Bencana, malapetaka dan kematian tragis sering dikaitkan dengan keberdosaan orang yang ditimpanya. Kita sering ikut-ikutan meramaikannya. Dulu, Ahok dizolimi. Kini, beberapa tokoh yang berperan menghentikan langkah Ahok dan memenjarakannya tersandung kasus-kasus pidana. Sebagiannya mendekam dipenjara, ada yang sakit dan meninggal, dan pergi keluar negeri sampai sekarang belum kembali. Kita mengatakannya itu semua sebagai balasan! Demikian juga kasus-kasus yang lain. Entah, kita belajar dari mana menarik kesimpulan seperti itu. Padahal, Yesus sendiri menolak pandangan seperti itu.

Penolakan itu tercermin dari reaksi Yesus terhadap dua laporan bencana yang menimpa orang-orang di sekitar mereka. Pertama, pembunuhan terhadap orang Galilea atas perintah Pilatus. Pembunuhan itu tidak hanya mengerikan tetapi juga sadis dan biadab: darah mereka dicampur dengan darah hewan korban! Mengapa Pilatus membunuh orang-orang Galilea itu? Sumber-sumber sejarah bungkam tentang peristiwa pilu ini. Hanya Injil Lukas yang mencatatnya. Meski tidak dicatat dalam buku sejarah, namun peristiwa semacam ini sangat cocok dengan karakter Pilatus. Flavius Yosefus, ahli sejarah Yahudi yang hidup sezaman dengan Pilatus menceritakan bahwa Pilatus adalah sosok yang kejam. Ia selalu menghina bangsa Yahudi dalam pelbagai kesempatan, merampas milik mereka seenaknya, membunuh tanpa proses pengadilan, puncaknya pembantaian sejumlah orang Samaria di Gunung Gerazim pada tahun 35. Pada saat itu sejumlah orang Samaria sedang mencari guci, yang menurut kabar ditanam oleh Musa di Gunung Gerizim, gunung suci mereka. Peristiwa ini merisaukan Pilatus kalau-kalau nanti mengancam kekuasaannya. Sebab itu, ia mengambil tindakan keras. Ia memerintahkan tentarannya untuk menduduki Gunung Gerizim, menangkap orang-orang Samaria itu lalu memenggal mereka. Peristiwa ini menyulut protes wali negeri Siria, Vitellius kepada Kaisar. Akibatnya, Kaisar memecat Pilatus.

Di lain peristiwa, Yosefus mencatat bahwa Pilatus berniat memperbaiki saluran air minum ke Yerusalem. Proyek ini diperkirakan menelan anggaran besar. Pilatus tidak mau mengeluarkan dana dari anggaran belanja pemerintahannya. Ia memakai cara licik: ongkos pekerja diambil dari perbendaharaan Bait Suci! Apa dan bagaimana reaksi orang Yahudi? Marah! Ini merupakan tindakan penghinaan terhadap kultus Bait Allah. Mereka, khususnya orang-orang Galilea yang temperamental protes menyerukan kata-kata kebencian pada sebuah aksi demontrasi. 

Bagaimana reaksi Pilatus? Ia memerintahkan serdadu-serdadunya, dengan membawa tongkat yang disembunyikan di balik jubah mereka, untuk mengepung barisan rakyat yang sedang berdemo itu. Dan ketika mereka mulai lagi mencemooh Pilatus, ia memberi tanda kepada mereka untuk menjalankan perintahnya. Menghabisi mereka! Dan karena orang-orang Yahudi itu tidak bersenjata, mereka tidak dapat melawan. Banyak dari mereka yang terluka dan terbunuh. Jadi tidaklah mengherankan jika Pilatus sering melakukan aksi-aksi pembunuhan biadab, termasuk pembunuhan orang-orang Galilea yang darahnya dicampur dengan darah hewan korban di Bait Allah.

Siapa yang menceritakan insiden itu kepada Yesus dan mengapa mereka menceritakan kepada=Nya? Kita tidak menemukan jawaban gamblang. Apakah karena Yesus dan murid-murid-Nya berasal dari Galilea? Ataukah hal itu diceritakan oleh kaum Zelotis yang berharap bahwa dengan kejadian-kejadian itu emosi Yesus tersulut – dan sama seperti mereka – kemudian melakukan seruan pemberontakan? Mungkinkah kabar itu berasal dari orang Farisi, yang menganggap bahwa perbuatan-perbuatan teror kaum Zelotis justru dapat mnimbulkan pembalasan dari pihak Pilatus, sehingga mereka menganggap kaum Zelotis itu turut bersalah dalam peristiwa tragis situ?

Penafsir Injil Lukas, B.J. Boland mengatakan, “Bagaimanapun juga, dalam jawaban-Nya, Yesus tidak menyinggung segi politik dari perkara itu. Yang dianggap-Nya penting adalah sisi teologis atau spiritualitasnya, yang lazim dihubungkan orang dengan peristiwa-peristiwa seperti itu, baik dari kalangan orang-orang Farisi maupun di antara rakyat biasa, yakni: bahwa salah satu penderitaan menimpa manusia sebagai hukuman untuk suatu dosa tertentu, dan bahwa dari beratnya penderitaan itu dapat ditarik kesimpulan tentang beratnya dosa itu (bnd.Yoh.9:3). Jadi, Yesus seakan dapat menebak pikiran mereka dan menentang pemahaman teologi mereka. Alih-ali setuju dengan pendapat mereka, Yesus memakai peristiwa tragis itu menyerukan pertobatan. Seolah Ia berkata, “Kamu ini masih hidup, maka pakailah waktu dan kesempatan yang diberikan kepadamu itu, yakni dengan jalan bertobat, sebab kalau engkau tidak bertobat, maka pada suatu hari engkau engkau sendiri akan ditimpa hukuman!”

Yesus sendiri masih memperkuat dengan contoh tragis kedua yang berhubungan dengan proyek air minum. Belum lama terjadi suatu kecelakaan di Yerusalem yang menyebabkan delapan belas orang Yerusalem meninggal. Kemungkinan para korban adalah mereka yang sedang membangun Menara Siloam di sudut tembok kota. Diduga mereka bekerja di sana berhubungan dengan proyek saluran air minum itu. Berkembanglah rumor, “Nah, itulah hukuman bagi orang-orang yang menolong Pilatus dengan rancangan-rancangannya yang busuk!

Namun, Yesus menolak pandangan demikian, “Tidak! Mereka tidak lebih berdosa daripada orang-orang Israel lainnya!” Pernyataan ini muncul dalam Lukas 13: 3 dan 5. Kecelakaan atau malapetaka fisik bukanlah bukti dari dosa tertentu! Sebab, ada banyak orang yang tidak kurang berdosa ketimbang mereka yang menjadi korban itu, hidupnya baik-baik saja – tidak pernah mengalami malapetaka! Meski berkata, “Tidak!” Yesus mengingatkan mereka dengan keras untuk bertobat. Dalam ucapan Yesus ini terkandung pemahaman, “Jika bangsa Yahudi tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Sebelumnya, Yesus sudah memakai contoh kota Tirus, Sidon, Sodom, dan Niniwe akan mengalami hukuman lebih ringan daripada bangsa Yahudi jika tidak bertobat. Bagaimanapun juga ketika orang tidak menggunakan kesempatan hidupnya untuk bertobat dan menghasilkan buah pertobatan maka kebinasaanlah yang akan mereka tuai.

Hidup setiap murid Tuhan yang bertobat seharusnya menghasilkan buah. Buah yang dimaksud adalah karakter dan perilaku baik. Karakter dan perilaku baik itu sangat berbeda bahkan berlawanan dengan tabiat manusia lama sebelum mengenal Kristus. Itulah makna dari metanoia: bukan hanya berhenti melakukan tindakan dosa melainkan berhenti dan berbalik arah! Bukan sekedar berhenti mencuri tetapi berusaha memberi. Bukan stop membicarakan kesalahan orang lain, tetapi kini berusaha menjadi teladan agar orang lain termotivasi melakukan tindakan kebajikan. Bukan hanya berhenti bertindak egois, namun kini belajar melayani orang lain!

Melalui tanggapan terhadap malapetaka dan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah, Yesus sangat serius dengan berita pertobatan. Pohon ara dari perumpamaan ini ditanam di tanah yang baik, bukan tumbuh sembarangan melainkan di dalam kebun anggur. Itu artinya semua kebutuhan nutrisi dan perawatan lebih dari cukup. Tentu saja si pemiliknya berharap agar pohon ara itu berbuah. Namun, setelah 3 tahun – pohon yang semestinya telah berbuah – pohon itu hanya menghasilkan daun. Jauh dari harapan sang pemilik. Si pemiliknya kecewa dan sambil mengeluh, ia memerintahkan kepada tukang kebun itu untuk menebang saja pohon ara yang mandul itu. 

Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menantikan pohon ara itu berbuah. Bila Yesus mengucapkan jangka waktu tiga tahun di penghujung karya-Nya. Maka hal ini bisa dipahami bahwa Ia sudah tiga tahun, pelayanan-Nya sudah hampir selesai di tengah-tengah bangsa-Nya sendiri. Namun, nyatanya mereka tidak berubah. Mereka tidak bedanya dengan bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Alih-alih bertobat, Israel justru berencana membunuh-Nya. 

Sudah berapa lama kita mengenal dan mengikut-Nya? Adakah karakter dan perilaku yang sudah berubah? Adakah kualitas tabiat hidup kita berada di atas mereka? Ataukah justru lebih rendah dari mereka yang tidak mengenal Allah? Kalau hal ini terjadi, maka bersiaplah bahwa kita akan “ditebang” oleh Sang Pemilik kebun itu!

Tetapi bila perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah ini diletakan di awal karya Yesus. Maka ungkapan ini mengacu kepada lamanya waktu persiapan akan Mesias (termasuk karya Yohanes Pembaptis. Para nabi sejak dahulu menangisi Israel sebagai pohon yang tidak berbuah. Karya Yesus yang berada di tengah-tengah mereka boleh diartikan sebagai waktu tambahan yang Allah berikan bagi Israel.

Ketika kita masih diberi nafas kehidupan sampai saat ini, secara spiritualitas kita dapat mengatakan bahwa Tuhan masih memberikan waktu tambahan buat kita. Nah, sekarang apakah kita menyia-nyiakan kebaikan dan kesabaran Tuhan? Ataukah kita mengisinya dengan melakukan segiat-giatnya kehendak Bapa? Jadi, jangan sekali-kali kita mencobai kesabaran Tuhan, sebab siapa tahu tidak ada lagi waktu untuk kita berbalik dan akhirnya menuju kebinasaan!

Bagi para penatua dan badan pelayanan yang baru dilantik. Inilah saatnya kita membuktikan dan ambil bagian untuk hidup berbuah. Di sinilah di “kebun anggur Tuhan”, kita harus mengisi kehidupan kita dengan segala kebajikan yang berasal daripada-Nya. Tuhan menginginkan kita tumbuh dan berbuah sehingga mengharumkan nama Tuhan dan gereja ini menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

Jakarta, Minggu Pra-paskah III, 2019

Jumat, 15 Maret 2019

MENGIKUT YESUS DI JALAN PENDERITAAN DAN KERENDAHAN

Pada 17 Juli 2015, Kanselir Jerman Angela Merkel berhadapan dengan seorang remaja putri pengungsi Palestina dari Lebanon, yang keluarganya mencari suaka di Jerman, tetapi akan segera dideportasi. Remaja itu, Reem, mengatakan kepada Merkel dalam bahasa Jerman yang lancar bahwa, “Benar-benar sangat sulit menyaksikan bagaimana orang bisa menikmati kehidupan pada saat Anda sendiri tidak bisa. Saya tidak tahu ke mana masa depan saya tertuju.” Merkel menjawab, “Politik memang bisa keras”, dan kemudian menjelaskan bahwa ada ratusan ribu pengungsi Palestina di Lebanon, dan Jerman tidak bisa menampung mereka semua. Terkesima dengan jawaban tidak masuk akal ini, Reem berurai air mata. Merkel mengusap punggung remaja putri itu tetapi tetap bersih keras dengan senjatanya.

Badai reaksi publik menyerang Merkel, banyak yang menuduhnya tidak sensitive dan tak punya perasaan. Demi meredakan kritik, Merkel mengubah sikap, Reem dan keluarganya mendapatkan suaka. Dalam beberapa bulan kemudian, Merkel bahkan membuka pintu lebih lebar, menyambut ratusan ribu pengungsi masuk Jerman. Namun, tidak lama kemudian Merkel menghadapi serangan gencar, dianggap tunduk pada sentimentalisme dan kurang tegas bersikap. Banyak orang tua Jerman khawatir bahwa sikap berbalik Merkel (yang menerima pengungsi) berarti bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan standar hidup lebih rendah, dan mungkin menderita akibat gelombang pasang Islamisasi. Mengapa pula mereka harus mempertaruhkan kedamaian dan kemakmuran keluarga mereka untuk membantu orang-orang yang asing sama sekali dan mungkin tidak memercayai nilai-nilai kebenaran universal?

Bagi sekelompok orang menilai kebijakan Merkel akan mengancam masa depan Jerman bahkan Eropa secara keseluruhan. Bagi lawan politik Merkel, inilah saat yang tepat untuk menghentikan dan menyingkirkan Merkel. Mereka tidak mau hanya karena seorang Merkel, Jerman menjadi seperti Suriah di masa depan. Mereka tidak mau negaranya berada di bawah bayang-bayang teroris radikal. Mereka berharap Merkel punya kebijakan seperti Presiden Donald Trump yang menutup rapat para pengungsi. Bagi mereka Merkel adalah orang yang membahayakan bagi bangsa dan negara Jerman.

Bagi Herodes dan orang-orang Farisi, Yesus adalah ancaman yang membahayakan otoritas mereka. Pada saat itu Yesus berada di wilayah kekuasaan Herodes Antipas, yakni sekitar Galilea atau Perea. Herodes mau supaya Yesus meninggalkan wilayahnya untuk mencegah kerusuhan di kalangan rakyat. Di pihal lain, orang-orang Farisi juga mau supaya Yesus meninggalkan daerah itu dengan memaksa-Nya pergi ke Yudea atau Yerusalem. Dalam kepentingan yang sama, sangat mungkin Herodes dan beberapa orang Farisi bersekongkol untuk menyingkirkan Yesus. Tampaknya saja beberapa orang Farisi ini seolah-olah ingin berbuat baik menolong Yesus agar tidak dibunuh Herodes (Lukas 13:31), padahal sebenarnya mereka punya niat yang sama, yakni agar Yesus enyah dari wilayah mereka.

Yesus sangat faham dengan niat mereka, maka Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu…”(Lukas 13:32). Dengan tegas Yesus menyebut Herodes sebagai serigala. Apa artinya? Serigala adalah gambaran orang licik yang tidak berani berhadapan muka). Pesan Yesus sangat kuat, seolah Dia berkata, “Ketahuilah bahwa Aku sedang giat-giatnya melakukan kebajikan: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, dan bahwa Aku tidak takut digertak, tetapi akan seperti biasa, melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok (artinya, beberapa waktu lagi), sampai pada hari yang ketiga (artinya, pada akhirnya, pada waktu yang ditentukan oleh Allah sendiri) pekerjaan-Ku disudahi. Aku tidak takut dan tidak akan pergi, tetapi akan menyelesaikan pekerjaan-Ku. Dan, bahwa kemudian Aku akan pergi meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, itu sama sekali bukan karena takut kepada Herodes, melainkan karena sesuai dengan rencana Allah. Jadi, Aku akan melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi, sampai Aku tiba di Yerusalem.
Yerusalem adalah pusat Israel dan seolah-olah mewakili seluruh Israel, sebab kota itulah yang diyakini orang Yahudi sebagai kota suci, karena Bait Allah ada di sana. Di Yerusalem juga para pemimpin Israel tinggal. Dan sekarang, Yesus menyamakan diri-Nya dengan seorang nabi yang akan mati di pusat Israel itu. Pada pihak lain, Yerusalem menjadi pusat keluhan Yesus. Keluhan yang sangat pahit karena perlakuan mereka terhadap utusan-utusan Allah. Membunuh para nabi dengan cara keji dan sadis. 

Benar, bahwa di Yerusalem Yesus akan mengakhiri pelayanan-Nya. Di kota suci itu Ia akan ditolak, diolok-olok, disiksa dan jatuhi hukuman salib. Berat! Yesus mengeluh bukan untuk diri-Nya, bukan untuk tugas yang sangat berat yang harus Ia selesaikan. Namun, Ia mengeluh oleh karena Israel yang menolak kasih sayang Allah yang rindu bagaikan induk ayam mengumpulkan anak-anaknya.Tindakan kasih ini dibalas dengan penolakan, perlakuan sadis dan brutal. Tentu saja – dalam tradisi para nabi – Yesus mengingatkan dan menegur, kalau hal ini dilakukan maka yang terjadi mereka tidak akan dapat mengelak dari hukuman Allah. Yesus mengeluhkan mereka oleh karena Ia menyayangi mereka dan tidak mau mereka binasa!

Apakah kita juga menjadi bagian dari keluhan Yesus? Bisa “Ya”, dan juga “Tidak”. Hal ini bergantung dari motivasi dan cara kita menjadi pengikut Yesus. Kita akan menjadi bagian dari keluhan Yesus apabila motivasi mengikut-Nya hanya untuk mencari kenyamanan dan memanfaatkan kebaikan-Nya saja. Kita tidak mau menanggung risiko, suka mengikut arus.

Sebaliknya, kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang tidak dikeluhkan Yesus ketika dengan sungguh-sungguh mengikuti-Nya. Sang pengikut jelas akan berada di belakang siapa yang diikuti-Nya. Mengikuti Yesus berarti mencontoh apa yang dilakukan-Nya. Ia mengerjakan tugas panggilan-Nya sampai selesai. Tidak pernah takut ketika menghadapi tantangan. Tidak pernah kompromi meski mengalami ketidak-nyamanan. Bahkan ketika rela menderita dan direndahkan!

Benar, penderitaan tidak usah dicari-cari. Namun, ketika melakukan firman-Nya dan ketika hati kita bergetar mendengar kebenaran, mestinya apa pun risiko yang menghadang di depan kita harus dihadapi. Tidak sedikit gugatan, cemoohan, kebencian, bahkan teror telah menjadi kenyataan dalam era kepemimpinan Angela Merkel ketika ia bersih kukuh membuka negaranya untuk kaum pengungsi Palestina dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Merkel bisa saja memilih sikap seperti para pemimpin sekutunya yang lain. Menutup rapat-rapat tapal batas negaranya agar ancaman itu tidak terjadi. Kita bisa mengevaluasi, entah apa yang dilakukan oleh Merkel adalah bagian dari politik pencitraan ataukah betul-betul karena nuraninya yang tidak tahan melihat ratusan ribu Reem-Reem tanpa masa depan dan tanpa penghargaan terhadap kemanusiaan. Yang jelas, ada begitu banyak remaja seperti Reem kini punya masa depan yang baik.

Sangat mungkin hari ini Anda – seperti Merkel berhadapan dengan Reem – diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang mengusik rasa nyaman Anda bahkan orang-orang yang Anda cintai. Ada harus memilih, apakah taat dan setia kepada-Nya tetapi berisiko tidak nyaman, direndahkan dan mengalami kesulitan? Ataukah mengambil keputusan memelihara kenyamanan bahkan keuntungan meski bertolak belakang dengan kebenaran yang terus bergetar di hati Anda?

Tentu saja Yesus tidak mengajarkan sebuah kekonyolan dalam mengambil sikap. Yang Ia ajarkan adalah keberanian mengambil risiko demi cinta kasih dan memertahankan kebenaran. Yesus menjanjikan masa depan yang baik. Caranya? Mengikuti dan melakukan apa yang sudah Ia kerjakan. Bisa saja ketika melakukannya kita mendapat perlakuan tidak menyenangkan, penderitaan bahkan di bawahbayang-bayang ancaman maut. Bisa saja seperti Merkel, Martin Luther King Jr, atau Mahatma Gandhi yang harus disingkirkan. Namun, kita akan bisa melihat buah karya mereka bagi peradaban dunia.

Jakarta, Minggu Pra-Paskah II, 2019