Rabu, 06 Maret 2019

TAAT DALAM PENCOBAAN

B.J Boland pernah menulis, “Iblis seakan-akan selalu mengikuti Allah dari belakang untuk merusak pekerjaan-Nya. Seperti dalam Kejadian 3:1, juga dalam pencobaan Yesus ia bertolak dari ucapan Allah,…sebelumnya Tuhan Allah berkata, ‘Engkaulah Anak-Ku’ (Luk.3:22). Sekarang si pencoba itu datang dan berkata, ‘Jika Engkau (betul-betul) Anak Allah, suruhlah (saja) batu itu menjadi roti!’ Dengan perkataan lain, adalah pada tempatnya bahwa Engkau mempergunakan kedudukan-Mu sebagai “Anak Allah” dan mempergunakan karunia yang Allah telah berikan kepada-Mu, yakni kuasa untuk melakukan mukjizat. Baik dalam pencobaan pertama ini maupun nantinya di kayu salib, Yesus dicobai untuk mempergunakan kekuasaan dan kedudukan-Nya sendiri.”

Iblis seakan-akan selalu mengikuti Allah dari belakang! Dan ternyata apa yang ditawarkan Iblis tampaknya lebih menarik ketimbang apa yang dikehendaki Allah. Allah meminta Adam dan Hawa taat dengan perintah-Nya untuk tidak memakan pohon buah pengetahuan. Namun, Iblis menawarkan: mereka akan bisa menyamai Allah, tahu yang baik dan yang jahat. Bukankah, ini lebih menarik ketimbang peraturan Allah yang memberi batasan? Demikian juga yang terjadi dengan Yesus. Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun (Lukas 4:1). Jelas, padang gurun alih-alih tempat tamasya, berbahaya, gersang dan sama sekali bukan tempat nyaman. Lagi pula di sana Yesus harus tinggal empat puluh hari dan berpuasa. Bisa dibayangkan: tempat yang tidak nyaman, berbahaya dan seorang diri harus berpuasa? Lalu datanglah si penggoda, Iblis. Dia menawarkan makanan, kekuasaan dan popularitas religius. Bukankah pilihan yang sangat menarik? Iblis mengikuti Allah dari belakang dengan cara memberikan hal-hal menarik yang berlawanan sekali dengan apa yang dilakukan Allah.

Pencobaan pertama yang dicatat Injil Lukas adalah mengubah batu menjadi roti (makanan). Yesus dicobai untuk menggunakan kuasa-Nya sebagai Anak Allah. Tampaknya masuk akal: lapar membutuhkan makanan. Makanan tidak ada, yang ada batu. KanYesus Anak Allah, jadi untuk mengubah batu menjadi roti itu perkara kecil. Namun, sebagai Anak Allah, Yesus tidak mau melakukan apa yang tidak ditentukan oleh Allah. Jawaban Yesus mengacu pada peristiwa yang dikisahkan dalam Ulangan 8:1-6. Dalam peristiwa itu umat Allah melakukan perjalanan empat puluh tahun di padang gurun dan diuji. Tujuannya agar Israel menjadi umat yang rendah hati. Manna yang mereka makan hendaknya mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Bukankah memang yang terjadi seperti itu? Manna yang dimakan oleh umat Israel di padang gurun adalah buah firman yang keluar dari mulut Allah! Saat ini pun mestinya kita menyadari; apa yang kita makan, baik yang bersumber dari nabati atau hewani semua tercipta dan ada oleh karena ada firman yang keluar dari mulut Allah yang menjadikannya. Makanan penting, dan harus ada. Namun, tanpa ada yang menciptakan maka yang penting dan harus ada itu, tidak akan ada!

Tampaknya Israel tidak tahan dengan ujian padang gurun. Mereka mengeluh dan mencari makanan selain manna yang diberikan Allah, Yesus tidak mau menuruti Iblis untuk mengubah batu menjadi roti. Betapa seringnya kita pun seperti Israel. Mudah mengeluh dan mempertanyakan pemeliharaan Tuhan. Cobaan pertama, tentang kebutuhan perut mengingatkan kita betapa rentannya manusia ketika diperhadapkan dengan masalah perut atau lebih luasnya kebutuhan ekonomi. Seolah-olah kalau manusia lapar, ia boleh saja mencuri, merampok atau membunuh demi memertahankan hidupnya. Lebih parah dari itu, bukan saja untuk memertahankan kehidupan. Manusia digoda oleh ketamakan untuk menguasai apa pun. Memperkaya diri sendiri di atas penderitaan orang lain dan penderitaan alam.

Dengan mengatakan “Ada tertulis”Yesus menegaskan bahwa sebagai Anak Allah, Ia bukannya memerintah, melainkan taat. Karena Yesus taat, maka Ia mengutip kitab suci. Selaku manusia yang penuh Roh Kudus, Yesus mampu mengadakan makanan buat diri-Nya sendiri. Namun, Ia percaya penuh akan kuasa Allah yang telah memberi Dia kehidupandan akan mempertahankannya pula. Yesus yakin bahwa Allah akan memelihara-Nya dalam segala cobaan dan bahaya. Manusia diciptakan tidak untuk melakukan keajaiban, melainkan berlaku seperti manusia sejati. Sebagai Anak Allah, Yesus taat menjalani hidup sebagai manusia. Kalau perlu, acara makanan harus ditunda, supaya gurun tetap berperan semestinya, yaitu sebagai tempat belum terwujudnya segala keinginan. Saat ini pun, yakinlah kalau Allah sanggup memelihara kita, mencukupkan kebutuhan kita. Namun, sering kali kitalah yang dibujuk oleh segala keinginan dan nafsu serakah.

Pencobaan kedua, Yesus dibujuk untuk mengakui bahwa ada pihak lain yang menguasai dunia ini selain Allah. Ia dibujuk untuk menyembah penguasa itu. Jawab Yesus mengacu pada seruan Musa kepada orang-orang Israel yang pada waktu itu mulai terpikat oleh kultus Kanaan (Ulangan 12:30-31). Musa terus-menerus mengingatkan mereka untuk tidak mengikuti dewa-dewi asing (Ulangan 23:23-33). Lagi, Yesus ditampilkan kontras dengan Israel. Ia tidak ingin menyembah pihak lain, selain Allah! Berhadapan dengan tawaran jahat itu, Yesus bertindak tegas. Iblis yang seperti karikatur Allah, diperingatkan bahwa hanya ada satu Tuhan saja. Maka dia pun harus menyembah Allah. 

Pencobaan Iblis terus berlangsung hingga kini. Berhala Kanaan, Kultus Mesir, atau ritual animismedan dinamisme pastinya tidak akan memikat kaum rasional zaman now. Namun, kuasa selain Allah yang menggoda manusia selalu muncul dalam setiap peradaban. Kini, perkembangan teknologi semakin mencengangkan. Orang sudah tidak butuh lagi bertanya di jalan, ada GPS, Waze, dan sejenisnya. Aplikasi-aplikasi dalam genggaman tangan seolah tahu ritme kehidupan dan kebiasaan kita. Mereka seolah bisa meramalkan masa depan kita. Manusia kelihatannya saja mandiri, namun sebenarnya menggantungkan diri pada teknologi dan aplikasi-aplikasi itu. Hampir semua orang pada saat ini sulit terpisahkan dari gadgetnya. Apakah teknologi itu negatif? Oh, tentu saja tidak! Namun, sikap kitalah yang menentukan. Ketika gadget sudah menggantikan segalanya, dan kita bergantung melebihi keyakinan kita pada Tuhan, waspadalah di sana Anda dan saya masuk ke dalam perangkap si penggoda!

Dalam pencobaan ketiga, Yesus kembali dicobai sebagai Anak Allah. Jawaban Yesus kembali mengacu pada Ulangan 6:16. Kisah di baliknya adalah cerita tentang Israel yang mencobai Allah pada peristiwa Massa dan Meriba (Kel. 17:1-7) ketika umat Israel meminta air kepada Allah. Yesus menolak untuk mencobai Allah. Iblis menggunakan Kitab Suci secara harfiah, tetapi Yesus selalu mencari maknanya. Bagi Dia, rencana Allah adalah hal utama ketimbang kemauan-Nya sendiri, walaupun pelaksanaan rencana itu mengakibatkan penderitaan bahwa pengorbanan nyawa-Nya sendiri. Lewat jawaban-Nya, Yesus juga memperingatkan manusia untuk tidak mencobai Allah. Dalam pemahaman Perjanjian Lama, berbicara tentang mencobai Allahmempunyai dua arti, yakni : Pertama, Tidak taat kepada Allah untuk melihat sejauh manakah kesabaran-Nya. Kedua, Memanfaatkan kebaikan Allah dengan maksud untuk kepentingan sendiri.

“Mencobai Tuhan Allah”, berkaca dari pemahaman umat Allah, bukankah kerap kali kita punya pemahaman seperti itu. “Tuhan kita Mahakasih dan Mahamurah, pastilah Ia akan mengampuni dosa kita!” Betul, Tuhan kita Mahakasih dan Mahamurah, namun Dia tidak bisa dimanipulasi dengan kita mencoba-coba kesabaran-Nya. Ini sangat berbahaya! Di pihak lain, sering kali kita juga memanfaatkan kebaikan Tuhan untuk kepentingan diri sendiri. Ada banyak bentuk perilaku mengenai hal ini. Namun, sekali lagi : ingatlah bahwa Tuhan tidak dapat dan tidak boleh dicobai. Ia sangat tahu siapa yang sungguh-sungguh taat kepada-Nya dan siapa yang sedang mempermainkan nama-Nya! 

Jakarta,  Minggu Pra-Paskah 1, 2019

Selasa, 05 Maret 2019

KITA ADALAH ABU DAN DEBU

Dalam keseharian abu dan debu begitu dekat dengan kita. Sama-sama partikel atau serbu halus sekali dan mudah diterbangkan angin. Namun, tampaknya ada sedikit nuansa antara abu dan debu. Abu, umumnya berasal dari sisa hasil pembakaran. Kayu dibakar, menjadi arang dan akhirnya menyisakan debu. Begitu pula dengan jasad manusia yang dikremasi menyisakan abu putih halus. Sedangkan debu berasal dari benda-benda yang berbenturan, bergesekan atau bertumbukan sehingga menghasilkan partikel-partikel halus berdiameter kurang dari 500 mikrometer. Umpamanya, debu tanah, pasir atau debu vulkanik dan batubara. Baik abu dan debu dalam tataran spiritual mempunyai makna simbolis. Keduanya melambangkan ketidak-berdayaan, ketiadaan arti,kecil, lemah dan fana.

Konon manusia diciptakan dari situ; “… ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej.2:7). Dari ketiadaan arti, kecil, dan lemah, TUHAN menjadikannya makhluk superior atas segala ciptaan yang ada. “Tak ada keraguan bahwa Homo Sapienadalah spesies paling kuat di dunia. Homo Sapienjuga suka berpikir bahwa ia memiliki status moral superior, dan bahwa kehidupan manusia jauh lebih bernilai ketimbang kehidupan babi, gajah, atau serigala.” Ungkap Yuval Noah Harari (Homo Deus, masa depan umat manusia). Meskipun kemudian ia mempertanyakan, “Apakah benar bahwa kehidupan manusia lebih berharga dari kehidupan babi hanya karena manusia secara kolektif lebih kuat ketimbang babi secara kolektif?.... Kita meyakini bahwa hidup manusia benar-benar lebih superior dalam suatu hal yang fundamental. Kita Sapiens gemar mengatakan kepada diri sendiri bahwa kita memiliki suatu kualitas ajaib yang tidak hanya membentuk kekuatan besar kita, tetapi juga memberi kita justifikasi moral atas status istimewa kita. Apa, sih, penanda unik manusia ini? Monoteis tradisional menjawab bahwa hanya Sapiens yang punya jiwa abadi. Sementara tubuh rusak membusuk, jiwa meneruskan perjalanan menuju penyelamatan atau kutukan, dan akan menjalani kebahagiaan abadi di surga atau penderitaan abadi di neraka. Mereka hidup beberapa tahun, dan kemudian mati dan lenyap dalam ketiadaan.”

Meski Harari masih mempertanyakan dengan bekal eksperimen-eksperimen laboratorium, apakah benar manusia itu punya jiwa, setidaknya sejarah telah memberi ruang kepada makhluk yang bernama manusia adalah penguasa jagat raya. Seperti yang terungkap dalam Mazmur 8, “Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, … Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu,…”

Secara moral teologis, kekuasaan yang dipercayakan kepada manusia adalah untuk memertahankan dan mengembangkan keutuhan ciptaan yang semula diciptakan dengan sungguh amat baik. Artinya, kekuasaan dan kewenangan itu sama seperti apa yang Allah lakukan: memelihara dan menjaga adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa yang dimandatkan kepada manusia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan manusia? Keserakahan, ketamakan, pemuasan nafsu itulah yang terjadi. Manusia menolak mandat itu, ia menolak “nafas kehidupan yang dihembuskan Allah”. Kita tahu ujungnya: kematian! Bumi ini terus mengarah kepada kematian karena yang diberi mandat untuk menguasai dan mengelolanya menggunakannya untuk kepuasan sendiri.

Dalam tataran spiritual, para nabi diutus Sang Penguasa yang sesungguhnya untuk menegur dan mengingatkan manusia. Untuk bencana yang bakal terjadi. Nabi Yoel, mengatakan kematian dan hukum itu sudah di depan mata, “… suatu hari gelap gulita dan kelam kabut, suatu hari berawan dan kelam pekat;… Di depannya api memakan habis, di belakangnya nyala api berkobar… Di depannya bumi gemetar, langit bergoncang dan bulan menjadi gelap, dan bintang-bintang menghilangkan cahayanya. Dan Tuhan memperdengarkan suara-Nya di depan tantara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dasyat hari TUHAN! Siapakah yang dapat menahannya?(Yoel 2:1-11)

Siapakah yang dapat menahan kedasyatannya jika hari itu tiba? Ketika malapetaka itu tiba: banjir besar melanda, gunung berapi memuntahkan amarahnya, tanah longsor, peperangan antar bangsa, wabah penyakit, tindakan anarki terjadi, Adakah manusia yang disebut makhluk perkasa itu sanggup menghentikannya? Hari TUHAN lebih dasyat dari itu, siapakah yang dapat menahannya? 

Perspektif spiritual memberi makna pada peristiwa alam maupun sosial yang menimbulkan bencana pada sebuah peringatan dari Yang Ilahi agar manusia mawas diri; bertobat! Tentu, saja kacamata ilmu pengetahuan bisa berbeda dalam pemaknaan. Namun, demikian ada satu benang merah yang mau dikatakan bahwa manusia, betapa pun ia punya kekuatan dan kuasa tidak dapat mengendalikan gejala-gejala alam dan fenomena sosial yang dasyat. Ada keterbatasan: kita ini berasal dari debu, berasalah dari ketiadaan arti, kecil dan fana dan kelak akan kembali seperti itu.

Berangkat dari kesadaran inilah para nabi, termasuk Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, Panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.”(Yoel 2:12-13).

Tetapi sekarang juga!”Tidak ada lagi waktu berleha-leha. Waktunya mendesak untuk berbalik kepada Yang Ilahi. Dalam tataran spiritual, Yang Ilahi dipahami sebagai sumber kekuatan moral, sumber kebaikan dan sumber kehidupan. Berbalik kepada-Nya berarti siap meninggalkan apa yang bertentangan dengan moralitas ilah. Bertobat berarti siap membuang segala kejahatan dan kini fokus pada mengerjakan apa yang baik. Tentu saja tolok ukur yang baik bukan diri sendiri melainkan kebaikan Allah. Bertobat berarti menyongsong kehidupan dan bukan kematian. Orang yang bertobat akan mengarahkan segala dayanya untuk memulihkan dan menciptakan tatanan kehidupan yang sungguh amat baik

Ibadah sejatinya mendemontrasikan kehidupan umat yang mengalami pertobatan. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pamer kesalehan. Memberi sedekah, puasa, dan berdoa tak pelak lagi adalah ritual ibadah yang baik. Namun, manusia suka menggunakan ritual-ritual itu untuk pamer kesalehan. Jelas, bukan seperti ini yang diinginkan TUHAN. Bukan alat pamer, tetapi terjadi sebagai buah dari pertobatan. Yesus mengecam praktik-praktik ibadah yang dijadikan alat pamer kesalehan (Matius 6:1-6, 16-21). Bagi-Nya, praktik ibadah itu harus membangun relasi baik dengan Allah, dan juga terhadap sesama manusia. Relasi baik itu ditandai dengan ucapan syukur dan ketaatan kepada Allah, kemudian bersedia menghadirkan damai sejahtera di bumi.

Hari ini kita masuk dalam masa pertobatan. Abu sebagai pengingat bahwa kita sebenarnya bukan siapa-siapa. Makhluk fana yang berasal dari ketiadaan daya dan arti. Kelak kita akan kembali kepada debu itu. Marilah, sebelum saat itu tiba; sebelum kita terlambat, kita menyambut ajakan TUHAN agar kita hidup dalam pertobatan. Bukan pertobatan yang basa-basi. Tidak cukup hanya dengan menorehkan abu di jidat, lalu dengan itu kita pamer bahwa kita sudah bertobat. Bukan begitu! Melainkan, dengan mengingat pesan Yoel, “Koyakkanlah hatimu dan janganlah pakaianmu!”. Olesan abu di jidat kita adalah “pakaian”. Baiklah kita pakai pakaian itu. Namun, jangan berhenti di situ. Sebab, kalau hanya itu, kita mengulangi apa yang dulu dikecam Yesus: ibadah munafik! “Koyakkanlah hatimu”, pertobatan itu harus dimulai dari hati yang tulus, yang bersedia diubahkan oleh TUHAN dan yang mau mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu Abu, 2019