Kamis, 07 Februari 2019

MENYELAMI JALAN PANGGILAN ALLAH

Berbeda dari Nazaret, kampung halaman-Nya sendiri yang menolak bahkan hendak mengenyahkan Yesus, daerah pantai Danau Genesaret justeru kebalikannya. Penduduk pantai danau itu antusias menyambut pelayanan Yesus. Bahkan, saking banyaknya orang yang mau mendengarkan pengajaran-Nya, Yesus meminta supaya Ia dapat menggunakan perahu milik Simon untuk sedikit menjauh dari pantai dan dari posisi itu Yesus dapat berhadapan dengan orang banyak dan mengajar (Lukas 5:2,3).

Genesaret adalah nama lain dari Danau Galilea. Pantai di mana Yesus mengajar adalah sebuah perkampungan subur dengan jumlah penduduk yang cukup banyak. Letaknya di selatan Kapernaum. Yesus mengajar dan disambut positif oleh penduduk daerah itu. Di sini pelayanan Yesus (pengajaran dan penyembuhan) dilakukan efektif, penuh wibawa dan kuasa. Orang banyak sangat mengagumi-Nya. Dalam konteks popularitas Yesus yang sedang menanjak inilah, Lukas menempatkan pemanggilan murid-murid yang pertama. Dibandingkan dengan catatan Injil Markus, Lukas sedikit menunda kisah pemanggilan para murid. Injil Markus menempatkan pemanggilan para murid sebagai hal yang pertama atau di awal ketika Yesus memulai karya-Nya di Galilea.

Kisah pemanggilan para murid menurut Markus menyisakan tanda tanya. Apa yang membuat mereka langsung menyambut dan mengikut Yesus ketika Ia berkata, “Mari, ikutlah Aku!” Padahal belum pernah ada tindakan apa pun dari Yesus – apalagi mukzijat – yang membuat mereka meninggalkan dunianya lalu mengikut Yesus. Dengan menempatkan kisah pemanggilan para murid setelah cukup banyak peristiwa yang membuat orang-orang pantai Danau Genesaret tercengang, maka Lukas seakan memberi jawaban atas pertanyaan yang tersisa dari Injil Markus. Para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Yesus karena mereka sudah berjumpa, mulai mengenal dan menyaksikan apa yang diperbuat oleh Yesus. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus dalam rumahnya. Di rumahnya, Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan juga orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang, di danau ini, Simon kembali mengalami keajaiban yang dilakukan Yesus.

Selesai mengajar dan memukau banyak orang, Yesus berkata kepada Simon, supaya pergi ke tengah-tengah danau itu dan menangkap ikan. Dengan cara itu Simon diuji, apakah ia benar-benar percaya akan sabda Yesus atau menertawakan-Nya. Sebab, dunia nelayan adalah kompetensinya dan ia Bersama teman-temannya telah mengerahkan segala kemampuan mereka sepanjang malam mencari ikan dengan hasil nihil. Dan bukankah malam hari waktu yang Panjang itu adalah jam terbaik untuk menangkap ikan? Jawaban Simon dapat ditafsirkan sebagai berikut, “Tentulah tidak masuk di akal untuk pergi menangkap ikan sekarang, sebab sebagai nelayan-nelayan kawakan kami tahu bahwa pada malam hari, itulah waktu yang paling baik. Lagi pula, kami telah menebarkan jalan hampir di semua lokasi termasuk yang Engkau tunjukkan itu. Namun, karena permintaan-Mu itu, maka aku akan menebarkan jalan juga” (Lukas 5:5).

Dari jawaban ini, mungkin saja Simon tertekan dan tidak bisa berbuat lain, kecuali menuruti apa yang diminta Yesus. Namun, dapat pula berarti Simon terkesan (terpengaruh) oleh pribadi Yesus, oleh perkataan dan keajaiban-keajaiban yang Yesus lakukan sebelumnya. Kita bisa berasumsi bahwa kemungkinan terakhirlah yang membuat Simon mau menuruti apa yang diminta Yesus. Kata “tetapi” yang diucapkan Simon merupakan pengakuan percaya terhadap perkataan Yesus, meski masih bersifat sementara, sebab Petrus sesungguhnya belum utuh mengenal Yesus.

Ketaatan Simon pada perkataan Yesus membuahkan hasil yang mengagumkan. Namun kemudian, bukan hasil ikan yang melimpah itu yang menjadi fokus perhatian Simon. Ketaatan kepada sabda Yesus dan buah dari ketaatan itu menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula ia mengenali Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi sekarang ia menyebut-Nya sebagai Tuhan. Ia pun kini mengenali dirinya sebagai orang yang berdosa. Simon berkata kepada Yesus, “Tuhan, pergilah dari hadapanku, karena aku ini orang berdosa”(Lukas 5:8). Hal yang sama juga terjadi ketika TUHAN memanggil Nabi Yesaya. Yesaya menyadari dirinya adalah orang berdosa. Ia mengatakan, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini adalah orang yang najis bibir dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir…”(Yesaya 6:5). Namun, TUHAN berkenan memakai orang-orang yang menyadari kelemahannya dan mau menanggapai dengan positif panggilan-Nya. Dia punya cara untuk mengatasinya. TUHAN mentahirkan Yesaya terlebih dahulu sebelum menjalankan tugas itu.

Ketidak-pantasan Simon itu tidak menghalangi kehendak Yesus untuk memanggil-Nya. Justeru dalam kisah-kisah berikutnya kepada kita diperlihatkan bahwa orang-orang yang merasa diri tidak berdosa, orang-orang saleh, para ahli Taurat dan orang Farisi, adalah mereka yang menolak dan kemudian menjadi penghalang bagi karya Yesus. Kepada Simon yang merasa diri tidak layak, Yesus berkata, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.”(Lukas 5:10). Sama seperti perkataan utusan Allah kepada Zakharia (Lukas 1:13), kepada Maria (Lukas 1:30), dan kepada para gembala (Lukas 2:10), Yesus juga berkata kepada Petrus, “Jangan takut!”Mengapa? Ada kabar baik yang harus Kuberitakan kepadamu, yakni: “Mulai dari sekarang engkau akan menjadi penjala manusia” (bahasa aslinya tertulis “akan menjala hidup-hidup”. Sebab, kalau orang menjala ikan: ikan yang tadinya hidup, kemudian dijala dan diangkat dari air, mati. Tujuan penangkapan manusia justeru sebaliknya, manusia yang sedang menuju kepada kematian, ditangkap supaya mereka memperoleh kehidupan. Demikian Yesus berkata kepada Petrus dalam bahasa nelayan untuk menjelaskan bahwa kepadanya diberikan tugas dan janji bahwa ia akan membawa banyak orang kepada Allah melalui Yesus Kristus sebagai jalanya. Di kemudian hari ternyata bahwa kepada Petrus berulang-ulang harus diberi pengajaran tentang tugasnya sebagai penjala manusia (Kis.10). Tetapi Petrus dankawan-kawannya sekarang sekurang-kurangnya mengerti bahwa Yesus memanggil mereka untuk mengikuti Dia dengan setia.

Dalam kisah pemanggilan ini hanya satu nama yang disebut dari beberapa orang yang dipanggil Yesus dan mengikuti-Nya. Nama satu-satunya itu ialah Simon. Dari teksnya sendiri bisa dimengerti bahwa yang dipanggil tidak hanya Simon karena pada akhir kisah dikatakan bahwa “mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus” (Lukas 5:11)

Murid-murid inilah yang akan berada Bersama Yesus sepanjang karya pelayanan-Nya. Mereka jugalah yang akan meneruskan pemberitaan Injil sampai ke ujung dunia. Mereka dipanggil untuk menjadi penjala manusia. Kisah penangkapan ikan itu menjadi gambaran tentang tugas perutusan para murid. Kesulitan akan mereka hadapi. Mereka bekerja keras dan tidak memperoleh hasil apa-apa. Hanya karena bimbingan Yesus, mereka akhirnya memperoleh banyak ikan. 

Bila kita menyelami jalan panggilan Allah, kita akan menemukan sejumlah keunikan. Di sepanjang zaman Allah memanggil banyak orang untuk terlibat dalam karya kasih-Nya. Keterlibatan manusia dalam karya Allah bukan berarti Allah tidak mampu melakukan karya-Nya sendiri. Dari sisi manusia justeru hal ini adalah sebuah anugerah, bahwa Yang Mahakuasa berkenan memakai manusia yang terbatas untuk misi kasih-Nya. Sebagai orang percaya, kita pun turut terpanggil dalam misi kasih Allah ini. Dari kisah pemanggilan murid-murid yang pertama versi Lukas, kita belajar dua hal. Pertama, Tuhan tidak mencari orang yang merasa diri tidak berdosa, saleh dan sempurna. Bukankah dari sisi idealis justeru lebih baik memakai orang-orang yang tanpa cacat cela untuk menjalankan misi kasih-Nya? Namun mengapa Tuhan justeru memanggil orang yang tidak layak dan berdosa? Dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab diperlihatkan kepada kita; mereka yang merasa diri berhikmat, saleh, pandai dan mengerti Kitab Suci seringkali mudah jatuh dalam kesombongan rohani. Yesus pernah mengatakan bukan orang sehat yang perlu tabib, tapi orang sakit. 

Ketidak-layakan kita bukan menjadi alasan untuk tidak mengerjakan misi Allah atau untuk terus hidup dalam dosa. 

Kedua, Allah mampu memberikan solusi dari segala kelemahan kita. Yesaya ditahirkan, Petrus diberi kepercayaan dan Paulus dipulihkan. Tuhan pun ingin agar kita mau rendah hati, taat dan setia serta mau diubahkan dan dilengkapi untuk menjadi saksi-Nya di manapun kita berada.

Jakarta, 7 Februari 2019

Kamis, 31 Januari 2019

KATA-KATA YANG INDAH

Kita akan kesulitan menemukan kata-kata indah kecuali narasi itu berkisah tentang cinta kasih. Tentu tidak sebatas eros. Atau pun hanya berhenti pada ucapan tanpa rupa dan tindakan. Sebab, jika berhenti di situ, keindahannya tidak hanya pudar melainkan berubah menjadi kekejian. Munafik! Kasih akan kehilangan wibawa dan pamornya ketika berhenti pada kata-kata. “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing,” Demikian Paulus memulai narasi tentang kasih dalam 1 Korintus 1:1-13. Korintus yang selalu sibuk dalam urusan pementingan diri sendiri. Keseluruhan narasi kasih itu pada akhirnya terlihat dalam sebuah tindakan yang tidak mengutamakan diri sendiri. “Kasih itu selalu tercurah sebagai hadiah, bebas dan tanpa harapan untuk kembali. Kita tidak mengasihi (dengan niat) supaya dikasihi. Kita mengasihi untuk mengasihi,” kata Leo Buscaglia (penulis dan motivator Amerika yang dikenal sebagai Dokter Cinta).

Yesus menyerukan kata-kata indah, setidaknya orang-orang yang mendengarkan-Nya di sinagoge itu mengakui, “…dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya,..”(Lukas 4:22). Obyektifnya, kata-kata itu memang indah dan menakjubkan. Yesus berbicara tentang narasi penggenapan sabda Allah ratusan tahun sebelumnya mengenai hadirnya seorang pembawa kabar baik. Seorang Mesias yang benar-benar menyatakan cinta kasih Allah melalui kata dan perbuatan-Nya. Namun, rupanya inilah penyakit yang hampir ada pada semua orang. Penyakit itu: bukan pertama-tama menerima pesan yang disampaikan tetapi memandang siapa yang menyampaikannya. Bukankah kita sering melihat tokoh yang lebih diutamakan ketimbang isi pembicaraan yang disampaikannya? Ada semacam auto penyangkalan dalam diri kita ketika mendengar perkataan seseorang yang kita tahu latar belakangnya tidak seperti apa yang kita bayangkan atau kita harapkan.    

Ketakjuban orang-orang Nazaret itu pun segera pudar bahkan berubah menjadi penolakan ketika mereka memandang tentang siapa yang menyampaikan kata-kata indah itu.  Kini, mereka menjadi kesal dan marah terhadap si anak tukang kayu yang berani menafsirkan nubuat Yesaya itu dan mengenakannya untuk diri-Nya sendiri. Penolakan mereka mendorong Yesus untuk berbicara dengan metafor tentang tabib dan seorang nabi yang ditolak di tempat asalnya serta kisah tentang Elia dan Elisa yang justeru diutus oleh Allah kepada orang-orang di luar Israel.

Yesus mengutip pepatah tentang tabib(Luk.4:23), pepatah ini sering digunakan pada zaman itu dalam berbagai versi. Tabib dapat mengatasi kekurangan atau penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat hal yang serupa untuk dirinya sendiri. Dengan menggunakan pepatah tentang tabib ini, Yesus menanggapi penolakan orang-orang Nazaret terhadap diri-Nya. Penolakan orang-orang Nazaret itu sederhananya begini, “Anda menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda tetap bertahan pada klaim itu, maka harap membuktikannya di depan kami, supaya kami dapat memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti di Kapernaum. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak ada bedanya dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!”      

Tentu saja Yesus tidak akan melakukan mukjizat-mukjizat untuk memuaskan orang-orang yang meminta-Nya atau menjadikan mukjizat-mukjizat itu sebagai sarana pamer kekuasaan-Nya. Yesus tidak pernah memakai mukzijat untuk kepentingan-Nya sendiri atau untuk membuktikan bahwa Dia adalah Sang Mesias. Mukjizat selalu punya konteks kepedulian dan belarasa-Nya terhadap penderitaan dan pergumulan manusia. Dia juga tidak mencoba membela pandangan-Nya atau membenarkan sikap-Nya, tetapi Ia menarik kesimpulan tajam, “Memang Aku tahu, tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”

Gagasan penolakan orang-orang sekampung-Nya itu dipertajam oleh Yesus dengan mengambil dua kisah kelam Israel: peristiwa Elia dan Elisa. Elia diutus Allah kepada janda di Sarfat (1 Raja-raja 17:1,8-9). Justeru seorang janda yang tidak berasa dari Israel itulah yang mengalami rahmat Allah ketika bahaya kelaparan menimpa seluruh negeri. Justeru Naaman orang Siria (bukan orang Yahudi) yang disembuhkan oleh Elisa sementara ada begitu banyak orang Israel yang juga terkena penyakit kusta.

Semua yang dikatakan Yesus ini membuat orang-orang Nazaret merasa bahwa merekalah yang dimaksudkan Yesus. Maka mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa-Nya ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia dari atas tebing itu. Ajaib, mereka tidak berhasil mengenyahkan Yesus. Dengan tenang Yesus berjalan di tengah-tengah mereka kemudian Ia pergi meninggalkan kampung-Nya. Inilah awal pelayanan Yesus di depan orang banyak. Ia menyampaikan narasi kabar baik. Semula dikagumi, namun kemudian ditolak dan hendak dibinasakan justeru oleh teman-teman sekampung-Nya sendiri.

Di awal saya menyebut penyakit umum manusia adalah melihat siapa yang berbicara dan bukan apa yang dibicarakannya. Penyakit yang sama dengan itu adalah bahwa kebanyakan dari kita hanya menyukai berbicara tentang “aku”, tentang diri sendiri dan kepentingan sendiri. Sebaliknya, kita tidak suka berbicara tentang kepentingan orang lain, apalagi mengutamakan kesejahteraan orang atau pihak lain yang berbeda dengan kita. Kita tidak suka berbicara kalau Allah itu juga mengasihi dan memberikan anugerah-Nya kepada mereka yang berbeda dari kita. Kita akan marah bahkan membenci mereka yang membicarakan tentang kepedulian Allah terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok kepercayaan kita. Kalau ini terjadi, lalu apa bedanya kita dengan orang-orang Nazaret. Kemarahan mereka semakin menjadi-jadi ketika Yesus mengambil contoh dalam sejarah kelam orang Israel, bahwa Allah peduli dan memberikan kasih-Nya kepada orang-orang non Yahudi. Bagi orang-orang Nazaret, cukuplah kalau Allah itu mengasihi dan menyelamatkan mereka saja. Jangan berbicara tentang anugerah dan keselamatan di luar mereka!

Belajar dari kisah ini, mestinya kita tidak usah mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan orang-orang Nazaret. Siapa pun yang menyampaikan kebenaran – mungkin saja status sosialnya berbeda dari kita – hendaknya kita membuka hati dan menerimanya. Menerima kebenaran dengan hati lapang tanpa memandang siapa yang menyampaikannya akan membuahkan “mukjizat”! Ya, mukjizat itu akan terjadi, yakni kehidupan kita akan berubah dan bertambah baik. Sebaliknya, ketika kita menolak atau bahkan membenci orang-orang yang menyatakan kebenaran maka pada hakekatnya kita menolak cinta kasih Tuhan. Kita akan membenci orang yang menyampaikannya dan hidup kita selalu diwarnai kebencian, ini berarti jauh dari damai sejahtera!

Kedua, cinta kasih itu tidak memandang kelompok dan golongan; tradisi iman serta sistem keagamaan. Bila Tuhan menyampaikan anugerahnya terhadap siapa pun, maka kita tidak boleh membatasi atau marah. Tuhan pernah menegur Yunus, “Layakah engkau marah?” Sekarang pertanyaan itu pun mestinya berlaku buat kita. Bila Tuhan mengasihi orang lain, kelompok yang berbeda dengan kita, layakah kita marah? Bukankah mereka juga adalah ciptaan-Nya? Mestinya kita pun turut terpanggil untuk menyalurkan berkat Tuhan terhadap mereka yang berbeda sama seperti para nabi sebelum Yesus bahkan Yesus sendiri yang akhirnya ke luar dari kampung halaman-Nya berkarya di Kapernaum.

Jakarta, 31 Januari 2019