Jumat, 27 April 2018

BERBUAH DALAM RELASI DENGAN ALLAH DAN SESAMA


Hari ini saya membaca surat kabar, tentu saja ada pelbagai macam berita. Namun, yang mendominasi adalah berita tentang politik. Ketua pembina salah satu partai politik dengan tegas mengatakan kurang lebih begini, "Kali ini sudah jelas pilihan partai kami, tidak akan mendukung Joko Widodo sebagai presiden. Memang ada seorang dari partai kami yang sekarang duduk sebagai menteri namun, itu bukan koalisi yang benar. Kalau pun ketua umum partai kami menyatakan pendapat bahwa partai kami terbuka untuk berkoalisi dengan petahana, itu hanya sandiwara saja!" Ketika bapak ketua pembina yang sudah tidak muda lagi ini ditanya tentang mengapa punya sikap seperti itu. Ia menjawab, "Karena tidak sesuai dengan harapan partai kami!"

Dalam dunia politik, transaksi itu begitu vulgar dipertontonkan: Kalau saya mendukung, lalu saya dapat apa? Moralitas, integritas sering diminta parkir dulu di belakang. Akibatnya, nilai-nilai luhur politik terkubur oleh kepentingan pragmatis. Tidaklah heran, di satu tempat partai A bisa berkoalisi dengan partai B untuk menjadi musuh partai C yang bergabung dengan partai D. Namun, di tempat lain partai C justeru bekerja sama dengan A dan memusuhi partai B. Transaksi selalu mensyaratkan saya memberi apa dan mendapatkan apa. Transaksi selalu pragmatis!

Bagaimana dalam lembaga-lembaga pelayanan, gereja atau keluarga? Mestinya kita sepakat: lembaga pelayanan, gereja atau keluarga bukan lembaga politik. Oleh karenanya yang dikembangkan seharusnya relasi bukanlah transaksi. Namun nyatanya? Kita bisa melihat dan merasakan sendiri. Ada kalanya relasi itu begitu hangat, mesra dan menggembirakan. Namun, tidak sedikit dalam dunia yang seharus pelayanan diletakkan di atas segalanya, justeru tidak lebih baik dari dunia bisnis bahkan politik. Lebih buruk, oleh karena lembaga-lembaga yang seharusnya mengusung kasih itu, suka menggunakan kasih sebagai bemper atau alat untuk mencapai ambisi. Hal ini seperti apa yang menjadi teguran Yohanes, "Jikalau seseorang berkata, 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1Yoh.1:20).

Relasi, adalah sebuah kata yang berkaitan dengan "hubungan". Relasi adalah gambaran atau cara bagaimana dua orang/pihak atau lebih berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam kata relasi terserap makna keterikatan. Contoh, saya berelasi dengan Anda, maka saya punya ikatan yang bukan hanya transaksi melainkan Anda adalah bagian dari hidup dan kehidupan saya. Kalau seseorang merupakan bagian dari hidup kita maka kita tidak mungkin memperlakukan orang tersebut dengan semaunya.

Yesus mengajarkan relasi itu dengan cara tinggal bersama-sama dengan-Nya. Ketika Ia memanggil sejumlah orang untuk menjadi murid-Nya, Ia mengajak mereka tinggal dengan-Nya. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri-Nya. Apa artinya tinggal (menein) dalam Yesus? Kita masih mengingat pemanggilan para murid Yesus yang pertama versi Injil Yohanes. Dua murid yang pertama bertanya, "Rabi, di manakah Engkau tinggal?" Lalu Sang Guru itu menjawab mereka katanya, "Marilah dan kamu akan melihatnya." Mereka pergi untuk tinggal bersama-sama dengan Dia.

Kita dapat membayangkan relasi yang dibangun Yesus bersama-sama murid-murid ibarat tinggal dalam sebuah rumah. Kita merasakan kebersamaan dengan-Nya rumah itu adalah tempat damai. dan damai itu merupakan sumber kreativitas. Dengan tinggal bersama-Nya, kita dapat menghasilkan buah. Dan buah itu adalah cinta kasih yang mengalir, dapat dilihat dan dinikmati orang lain.

Yesus menggambarkan cara berelasi atau tinggal bersama-Nya melalui gambaran pohon anggur (Yohanes 15:1-8). Dalam Perjanjian Lama, kebun anggur kerap dipakai sebagai kiasan untuk bangsa Israel yang sangat diperhatikan Allah. Namun, dalam beberapa kali penggambaran itu, Israel tidak menghasilkan buah. Alih-alih melakukan kehendak Allah, mereka hidup tak ubahnya seperti orang yang tidak mengenal Allah (bnd. Hos.10:1; Yer.6:9; Yeh.15; 17:5-10; 19:10-14). Mereka tidak menghasilkan buah! Kini, Yesus menggunakan kiasan yang serupa yakni "pokok anggur". Kalau Perjanjian Lama mengisahkan tanaman anggur dari sisi negatif, Yesus menyatakan diri-Nya, "pokok anggur yang benar". Murid-murid sebagai ranting-ranting dari pokok itu. Hal ini bermakna, Yesus bersama para murid-Nya tampil sebagai "Israel yang benar" yang menanggapi segala usaha Allah dengan menghasilkan buah.

Bagaimana menghasilkan "buah anggur yang baik"? Kisah ini bertolak dari pengusaha kebun anggur. Ia akan memotong cabang dan ranting yang mati, alias tidak berbuah agar pokok anggur menghasilkan banyak buah. Tidak hanya itu, ia juga mencomot pucuk-pucuk yang berlebihan supaya buah-buah yang masih kecil itu bertumbuh menjadi buah yang berkualitas. Kegiatan itu melambangkan pemeliharaan Bapa terhadap "Israel baru" yang diharapkan berbuah banyak dan berkualitas.

Dalam tindakan pemeliharaan itu ada kata "dibersihkan-Nya" (ay.2), kata ini untuk menyatakan kepada para murid sekali lagi supaya mereka benar-benar bersih. Benar mereka yang sudah bersih karena pembasuhan (13:10), sekarang dinyatakan bersih oleh karena firman-Nya yang menyatakan rahasia Bapa kepada mereka dengan syarat firman itu harus dipegang dan dilakukan (14:23), dengan cara itu mereka benar-benar tinggal dalam Yesus (ay.7). Mereka sudah bersih dan dapat berbuah.

Setiap orang yang mengaku murid Yesus mestinya tinggal di dalam Yesus merupakan pengalaman nyata. Ia akan bergaul karib bersama Yesus. Benar, sekarang Yesus tidak hadir lagi secara fisik seperti ketika Ia tinggal bersama-sama dengan para murid-Nya. Namun hal ini bukan mustahil bahwa sekarang pun kita dapat tinggal dan merasakan kehadiran-Nya. Tinggal di dalam Yesus sekarang dapat kita alami dengan cara bergaul karib dengan firman-Nya, membiarkan firman itu tinggal dalam diri kita, memenuhi akal budi dan hati kita, lalu kemudian meresap, mengalir dalam sendi-sendi tubuh kita. Firman itu membersihkan kita: Pikiran dan hati kita menjadi bersih. Kini, pikiran dan hati kita tidak hanya memikirkan perkara-perkara yang duniawi saja. Namun, dapat menangkap dengan jernih suara-Nya. Ya, suara Sang Gembala yang baik itu. Mata kita dibersihkan, dari yang selama ini dimanjakan dengan tontonan-tontonan yang memuaskan nafsu. Kini, mata kita celik, dapat melihat keagungan Tuhan melalui ciptaan-Nya. Mata kita tidak dibutakan dengan silaunya kekayaan dan kuasa. Namun, mampu melihat di balik penderitaan sesama anak manusia ada wajah Kristus. Telinga kita menjadi sembuh, kita akan mampu mendengar jerit tangis saudara-saudara kita yang haus dan lapar. Mulut kita tidak lagi busuk dengan caci maki dan gosip, tetapi kini semerbak harum dengan pujian, apresiasi dan ucapan syukur. Kaki dan tangan kita akan bergerak mengerjakan pekerjaan yang bukan lagi untuk kepuasan diri sendiri. Melainkan memberdayakan orang lain, menyalurkan cinta kasih Bapa. Itulah karakteristik ranting yang sudah dibersihkan dan berbuah!

Dengan cara itulah Bapa (sang pengusaha kebun anggur) dimuliakan. Israel baru itu kini benar-benar hadir di muka bumi. Murid-murid Yesus bukan sekedar pengakuan diri atau label saja tetapi menjadi nyata apabila kita berbuah.

Jakarta, Paska V 2018

Jumat, 20 April 2018

MENGASIHI DENGAN PERKATAAN DAN PERBUATAN


Dalam bukunya All You Need is Love, Pongki Pamungkas menuturkan sebuah kisah menakjubkan tentang cinta (dalam hal ini yang dimaksud adalah cinta kasih).

Seorang profesor sosiologi yang masih muda mengajak beberapa mahasiswa yang diajarnya ke daerah kumuh di Baltimore untuk mewawancarai 200 anak laki-laki dan memperkirakan kondisi kehidupan mereka di masa depan. Para mahasiswa terkejut melihat kondisi daerah kumuh itu. Dengan kondisi itu, mereka memperkirakan bahwa setidaknya 90 persen dari anak laki-laki yang mereka wawancarai itu kelak akan menghabiskan waktu di penjara.

Dua puluh lima tahun kemudian, profesor yang sama menugasi kelompok mahasiswa lainnya mengumpulkan data bagaimana kondisi faktual kehidupan yang terjadi. Dari 190 anak laki-laki yang berhasil diketahui keberadaannya, hanya empat orang yang pernah dipenjarakan. Selebihnya, kehidupan mereka normal saja. Setelah ditelusuri, lebih dari 100 anak laki-laki yang sekarang sudah menjadi dewasa itu ingat dan menyebut nama seorang guru sekolah menengah mereka. Guru itu Nona O'Rourke.

O'Rourke bagi mereka adalah seorang yang berhasil menimbulkan inspirasi dalam hidup mereka. O'Rourke adalah sang penyelamat kehidupan mereka. Sheila O'Rourke, yang sekarang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun ketika diwawancara mengatakan, "Yang bisa kukatakan hanyalah, bahwa aku mencintai mereka semua." Tentu, ketika O' Rourke mengatakan, "aku mencintai mereka semua", tidak hanya ucapan bibir saja. Hampir sebagian besar usianya dipakai untuk menghidupi apa yang ia katakan itu.

Cinta diyakini dan telah terbukti menyelamatkan kehidupan. Namun, sayangnya kebanyakan orang berhenti pada tutur kata, puisi, wacana dan keyakinan saja. Tepatlah apa yang dikatakan Karl Menninger, psikiater Amerika Serikat, "Sebenarnya, cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun, dalam kenyataan, cinta itu suatu resep yang sering diberikan, tapi jarang digunakan." Padahal cinta akan merubah ketakutan dan kekuatiran menjadi motivasi positif. "Dicintai orang lain membuat Anda kuat, mencintai seseorang lain membuat Anda berani." (Lao Tzu).

Cinta kasih akan kehilangan makna bahkan bisa menipu jika hanya sebatas ucapan atau lips service. Rupa-rupanya kenyataan ini terjadi dalam jemaat mula-mula. Kasih sering dibicarakan namun kenyataannya tidak semanis ucapan. Bukankah sampai saat ini gereja-gereja dan orang Kristen masih seperti ini? Kita banyak berteori tentang bagaimana harus memperlakukan orang lain, mengasihi semua orang tanpa pandang bulu. Bahkan mengasihi musuh sekalipun. Nyatanya?

Bagi Yohanes, ada hal yang tidak logis ketika seseorang berkata bahwa dirinya tahu tentang cinta kasih, sering membicarakannya bahkan menjadi jargon komunitas mereka namun kenyataannya mereka membiarkan suadaranya sendiri terlantar padahal ada pada mereka harta benda. "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap dalam dirinya?" (1 Yoh.3:17). Yohanes berpendapat bahwa, tidak mungkin kasih Allah ada dalam diri seseorang ketika orang itu bergeming melihat penderitaan sesamanya. Oleh karena itu Yohanes perlu mengingatkan mereka, "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran" (1 Yoh.3:18). Bagi Yohanes kasih bukan sebagai kata benda atau kata sifat, kasih adalah kata kerja. Kasih tidak dapat dilepaskan dari relasi personal seorang terhadap yang lain dengan dibuktikan oleh tindakan nyata.

Yohanes mengajak setiap orang percaya untuk belajar dan meniru kasih itu pada Kristus, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita" (1Yoh.3:16).

Dalam diri Yesus, kasih itu menjadi nyata oleh karena Ia tidak sekedar membicarakan-Nya. Yesus pernah mengatakan bahwa diri-Nya adalah Gembala yang Baik. Dalam bahasa Yunani kata "baik" yang digunakan adalah kalos, yang dapat diterjemahkan "mulia", "indah", "sempurna", "berharga", atau "mengagumkan". Yesus adalah Gembala yang Baik oleh karena Ia berbeda dengan gembala-gembala Israel yang hanya memikirkan perut mereka sendiri. Gembala Baik oleh karena Ia berbeda dengan orang upahan: Puncak kualitas Gembala Baik adalah memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Di bukit Kalvari itu, Sang Gembala telah membuktikan ucapan-Nya. Ia datang untuk memberikan hidup-Nya di salib, untuk menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi kita berada dalam kesatuan dengan Allah dan sesama kita. Di dalam Dia kasih itu menjadi sempurna; kalos agapao!

Yesus Gembala yang Baik oleh karena relasi mendalam yang dijalin bersama dengan para pengikut-Nya, hubungan saling mengenal yang begitu dalam seperti hubungan diri-Nya dengan Sang Bapa. Sebagai Gembala yang Baik, Yesus melampaui harapan orang-orang Israel, karena Ia akan menuntun domba-domba yang bukan dari Israel. Mereka ini pun akan mendengarkan suara-Nya dan akan dijadikan bagian dari kawanan yang satu. Semua pengikut Yesus dari golongan dan suku bangsa mana pun asalnya, menjadi sebuah kawanan yang satu. Gembala yang Baik menyerahkan nyawa-Nya bukan karena kalah terhadap para lawan-Nya. Dalam kasih Bapa, Ia dengan bebas memberikan nyawa-Nya untuk keselamatan domba-domba-Nya.

Konon, pada tahun 1963 Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia menghadiri perayaan Natal di Jakarta. Dalam perayaan itu, Sang Proklamator itu diminta untuk menyampaikan sambutannya. "Spanduk di depan saya tertulis, Yesus adalah Gembala yang Baik. Itu salah. Itu keliru! Kita dapat membayangkan reaksi orang-orang Kristen yang sedang merayakan Natal hari itu. Bisa saja kaget, terperanjat atau marah. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Diam seribu basa! Setelah hening beberapa detik, Bung Karno melanjutkan pidatonya, "Yang benar begini, Sesungguhnya Yesus adalah Gembala Yang Terbaik!" Sontak kebingungan dan kemarahan hadirin berganti dengan haru, mereka berteriak riuh rendah dan memberikan standing upluse. Sambutan Bung Karno belum berakhir. "Kita semua yang hadir di sini ditantang...Sudahkah kalian menjadi domba-domba terbaik-Nya?"

Bung Karno tampaknya memahami kata kalos dengan terjemahan "Yang Terbaik". Benar Yesus adalah Gembala Yang Terbaik. Kita bangga bahwa kita mempunyai Gembala Agung yang begitu mengasihi kita. Namun, seperti teguran Bung Karno, apakah kita menyadari dan terus termotivasi untuk menjadi domba-domba gembalaan-Nya yang terbaik? Bila kita melihat kembali kualitas Gembala Baik itu yang sangat kontras berbeda dari gembala-gembala upahan. Lalu, bagaimana dengan kualitas kita sebagai domba-domba gembalaan-Nya? Apakah lebih baik dari domba-domba lain yang tidak mengenal Yesus? Apakah sebagai domba Kristus kita jauh lebih berkualitas daripada "kambing"?

Kualitas domba-domba Kristus mestinya dapat dilihat dari bagaimana mereka hidup. Hidup yang bukan untuk dirinya sendiri. Hidup seperti Yesus hidup. Berani mengambil pilihan walaupun penuh risiko demi menyatakan kasih Allah kepada semua makhluk. Domba-domba dari Gembala Yang Terbaik pasti akan melahirkan karya-karya kemanusiaan terbaik. Mereka bukan menjadi beban persoalan dan pencipta masalah, melainkan menjadi solusi dari masalah. Domba-domba Kristus akan mampu membalas kebencian dengan kasih sayang. Mereka akan terus menebarkan cinta kasih di mana pun dan kapan pun. Itulah kulifikasi domba-domba dari Gembala Terbaik. Apakah ciri-ciri domba terbaik itu ada pada gereja kita? Lembaga-lembaga gereja? Keluarga kita? Ataukah justeru perilaku kita jauh dari teladan Sang Gembala kalos itu?

Jakarta, Paskah IV 2018