Selasa, 10 April 2018

KOMUNITAS YANG BERSAKSI


Peristiwa di Serambi Salomo itu menjadi saksi perubahan yang begitu radikal dari seorang Petrus (Kisah Para Rasul 3). Murid yang pernah sesumbar untuk melindungi Sang Guru dari perlakuan culas orang-orang yang mendengki-Nya. Namun, nyatanya ia tak kuasa ketika orang-orang menengarai bahwa dia adalah murid Yesus yang kala itu menjadi pesakitan. Petrus menyangkal bahkan sampai tiga kali sebelum ayam berkokok bahwa dirinya mengenal Yesus. Petrus jugalah yang menarik Sang Guru dan menegur-Nya dengan lantang, lantaran Sang Guru mengatakan bahwa Dia harus menderita, mati dan pada hari yang ketiga bangkit kembali. Nyatanya, ia dan murid-murid yang lain kocar-kacir, lalu mengurung diri dalam sebuah kamar dengan pintu terkunci. Petrus tampaknya kuat namun sebenarnya rapuh!

Kini keadaanya berbalik 180 derajat. Di Serambi Salomo itu Petrus melakukan seperti apa yang dilakukan Sang Guru! Sesuatu yang dasyat telah terjadi dalam dirinya. Si pecundang tampil dengan nyali luar bisa. Dulu, di serambi itu Yesus ketika bersama-sama mereka pernah menyampaikan pengajaran-Nya (bnd. Yoh.10:29). Sekarang, tempat ini menjadi semacam tempat pertemuan mereka, untuk mengenang kembali apa yang dahulu pernah mereka lakukan bersama Sang Guru. Serambi Salomo bukan hanya untuk menunjukkan kaitan para murid dengan tradisi Yahudi, melainkan juga untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Yesus.

Setelah peristiwa penyembuhan orang lumpuh sejak lahir, orang banyak yang berada di sekitar Bait Allah itu terus mengerumuni Petrus dan Salomo. Inilah, saat yang tepat bagi Petrus untuk menyatakan kebenaran tentang Yesus. Apa yang dinyatakan atau disaksikan Petrus?

Pertama, Petrus menegaskan bahwa peristiwa penyembuhan si lumpuh itu bukan karena kehebatannya (Kis.3:12). Ia juga menolak bahwa apa yang dilakukannya bersama Yohanes adalah sebagai buah dari kesalehan mereka. Petrus menyatakan mujizat itu adalah karya Allah yang berkenan hadir dalam peristiwa tersebut. Di sinilah kesaksian itu menjadi benar, Petrus tidak mencuri kemuliaan Allah. Petrus dan Yohanes hanya menegaskan bahwa sesungguhnya Allahlah yang berkarya dalam peristiwa itu. Sejati kesaksian iman seperti itu!

Kedua, Petrus menegaskan bahwa peristiwa tersebut erat hubungannya dengan peristiwa Yesus Kristus yang disalibkan dan bangkit kembali. Dan dalam peristiwa penyembuhan itulah Yesus menunjukkan kekuatan kebangkitan-Nya yang membangkitkan orang dari kelumpuhan. Petrus menempatkan penyembuhan tersebut dalam hubungan dengan pernyataan diri Allah yang berkarya dalam diri Yesus Kristus. Hal ini sesuai dengan tradisi leluhur; Allah Abraham, Ishak, dan Yakub yang memang mampu melakukan hal-hal besar. Allah leluhur itulah yang kini mengerjakan karya agung-Nya untuk orang yang lumpuh tersebut. Petrus yang semula "lumpuh" kini mampu menjadi alat di tangan Allah untuk menyembuhkan orang lumpuh itu. Imannya terhadap Yesus yang bangkit menopang kesaksian di depan orang banyak. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itulah yang telah membangkitkan kelumpuhan  dan kerapuhan iman seorang "Batu Karang".

Tidak mudah untuk membangkitkan kembali iman yang telah lumpuh. Apa yang terjadi sebelum peristiwa penyembuhan di Serambi Salomo itu? Bukankah, para murid sibuk mengasihani diri sendiri. Bukankah mereka semua dilanda tsunami frustasi dan ketakutan? Alih-alih menyambut antusias berita kebangkitan yang dihembuskan para murid perempuan dan dua orang yang telah kembali dari Emaus, mereka bergeming dalam kekalutan dan keputusasaan. Sampai-sampai Yesus sendiri yang hadir di depan mata mereka, mereka menyangkanya hantu!

Seperti yang dikisahkan Yohanes 20:19-23, Lukas juga mencatat peristiwa Yesus yang memulihkan para murid-Nya (Lukas 24:36-49). Kedua Injil ini menuturkan bagaimana Yesus memulihkan iman mereka. Yesus hadir ditengah-tengah kecemasan dan keputusasaan mereka bukan dengan menampilkan keperkasaannya. Namun, Dia menunjukkan luka-luka-Nya dan Ia meminta disajikan makanan. Yang pertama, jarang dilakukan orang. Kebanyakan orang justeru menyembunyikan luka dan memerlihatkan bagian dari keperkasaannya. Bagi Yesus, luka itu dimaknai sebagai cara pengampunan, baik bagi mereka yang telah melukai-Nya maupun terhadap para murid yang tidak setia dan pesimis. Melalui luka-luka itu Yesus menyatakan kasih-Nya. Luka-luka ini menyatakan bahwa kita saling membutuhkan. Luka dan derita adalah sarana Tuhan untuk kita mengembangkan saling berbela rasa. Yang kedua, sangat manusiawi: Yesus meminta makanan. Dari sinilah iman para murid mulai dibangun kembali.

Kemudian, Yesus menjelaskan diri-Nya berdasarkan perspektif dari apa yang tertulis dalam kitab Taurat, Kita Nabi-nabi, dan Mazmur. Sama seperti apa yang terjadi dengan Kleopas dan temannya yang menuju Emaus, dengan menjelaskan makna Kitab Suci, Yesus membuka pikiran para murid untuk mengerti Kitab Suci. Apa yang dijelaskan-Nya terutama tentang Mesias. Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga. Ada unsur baru yang dinyatakan Yesus yakni, bahwa dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Yesus berbicara tentang warta pertobatan dan pengampunan dosa. Para murid disebut sebagai saksi kepenuhan dari apa yang diwartakan oleh Kitab Suci itu. Tidak hanya itu, Yesus juga menjanjikan untuk mengirim kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Bapa-Nya yakni kuasa dari tempat yang Tinggi. Satu syarat yang harus mereka lakukan: tinggal dan bertekun dalam doa dan penantian di Yerusalem sampai mereka dilengkapi dengan kuasa itu.

Kerapuhan, tidak selamanya berujung pada ketidakberdayaan dan menjadi pecundang. Kerapuhan para murid bukan akhir dari segalanya. Dalam perjumpaan yang singkat, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan dan kebingungan menjadi komunitas iman yang tangguh. Komunitas yang berani bersaksi dengan cara berbela rasa meneruskan cinta kasih-Nya dalam konteks dunia mereka. Komunitas yang hidup tidak hanya untuk mementingkan dan mencari nama untuk diri sendiri. Melainkan melakukan kesaksian yang sesungguhnya!

Rapuh, terluka, penuh kelemahan, itulah kita. Namun, sebagaimana Tuhan memulihkan para murid sehingga mereka dapat menunaikan tugas kesaksian kini, Ia pun sanggup memulihkan dan menjadikan kita juga sebagai saksi-saksi-Nya. Sekarang, tinggal peran serta kita: Apakah kita terus terpuruk dan hanya fokus pada kelemahan dan kerapuhan kita? Sehingga yang kita lihat bukan Tuhan melainkan hantu: bayang-bayang menakutkan? Bagimana pula dengan hati dan pikiran kita ketika menyimak firman-Nya? Bukankah Tuhan sudah memberi kesempatan buat kita mendengar firman-Nya melalui pelbagai cara: teguran orang-orang yang ada di sekitar kita, peristiwa kehidupan, saat teduh, doa, refleksi, renungan dan khotbah-khotbah? Bukankah setiap kebenaran yang diberitakan itu sebenarnya Tuhan sudah melengkapi kita dengan hati nurani untuk segera merespons? Bagaimana dengan respon kita?

Ya, yang harus kita lakukan adalah membuka ruang hati itu sehingga kita dapat memahami arti dan kuasa kebangkitan Kristus!

Para rasul bersedia bertekun di dalam doa dan pengajaran. Mereka menantikan janji Tuhan yang akan melengkapi mereka dengan kekuasaan dari tempat yang tinggi. Mereka sabar dan bertekun! Bagaimana dengan ketekunan dan kesabaran kita? Mestinya, belajar dari murid-murid Tuhan: kunci pemulihan dari kerapuhan, luka, kepahitan dan kelemahan kita adalah "perlengkapan kuasa dari tempat Tinggi" itu; kuasa Roh Kudus. Bukan mengandalkan kekuatan sendiri!

Murid-murid yang rapuh itu dipulihkan dan mereka menjadi saksi. Kesaksiannya benar karena bukan untuk mencari keuntungan sendiri, melainkan menyaksikan dan meneruskan karya Yesus Kristus. Mereka berbela rasa memulihkan yang lumpuh. Mereka menyuarakan pertobatan dan pengampunan di dalam nama Yesus sebagaimana amanat Yesus ketika memulihkan mereka. Mereka tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari apa yang namanya kesaksian. Bagaimana dengan kesaksian kita, kesaksian gereja kita? Kita tidak pernah bisa bersaksi dengan benar apabila: tidak mengalami perjumpaan dengan Yesus yang memulihkan kita dari kerapuhan kita, tidak bertekun dalam pengajaran dan tidak mengandalkan kuasa Roh Kudus!

 Jakarta, Paskah III 2018.

Jumat, 06 April 2018

KOMUNITAS YANG DIPULIHKAN DAN DIUTUS


Tak pelak lagi, para murid Yesus mengalami shock luar biasa ketika Guru mereka ditangkap, diadili sepihak, disesah, dianiaya, dan akhirnya dibunuh dengan cara biadab. Mereka frustasi karena apa yang mereka harapkan dari seorang yang didambakan sebagai "mesias" ternyata tidak terbukti. Yesus diam saja, tidak ada perlawanan sedikit pun bahkan Ia menyerah kalah! Kini, mereka terancam. Pastilah para pembesar agama yang berkolaborasi dengan penguasa akan menumpas habis mereka.

Barangkali itulah yang disebut trauma psikologis dan emosional. Setidaknya, mengurung dan mengunci diri di sebuah kamar menunjukkan kondisi itu (Yoh.20:19). Sepertinya murid-murid Yesus lumpuh karena ketakutan dan menjadi tidak berdaya. Padahal, pagi hari itu Maria Magdalena dengan begitu girangnya memberi kabar, "Aku telah melihat Tuhan!". Trauma itu menghalangi bahkan membutakan mereka untuk dapat merayakan kegembiraan bersama-sama Maria.

Pemulihan traum psikis dan emosi jelas tidak mudah, apalagi trauma itu berat. Para psikolog berupaya keras untuk bisa memulihkan trauma-trauma semacam ini - meski tetap saja sisa-sisa trauma itu akan tetap membekas dan muncul kembali apabila ada sejumlah faktor pemicunya. Para psikolog mengenal terapi kognitif behaviour yang membantu proses dan mengevaluasi pikiran dan perasaan dalam menghadapi trauma. Ada juga yang disebut: EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprossesing). Terapi ini menggabungkan elemen dari terapo kognitif behaviour dengan gerakan mata dan bentuk ritme lainnya serta stimulasi ke kiri dan ke kanan. Terapi ini dipandang sangat efektif untuk melepaskan memori traumatis supaya dapat dihadapi dan disingkirkan. Tentu saja metode dan jenis-jenis terapi psikologis seperti ini belum dikenal pada zaman Yesus. Namun, tampak jelas dalam peristiwa pasca penyaliban Yesus, yang membuat para murid trauma, Yesus tidak tinggal diam. Dia tidak ingin para murid itu frustasi dan kehilangan pengharapan. Caranya?

Yesus menampakkan diri kepada mereka dalam ruang yang terkunci itu. "Damai sejahtera bagi kamu!" Kata-Nya. Mengapa Maria Magdalena dan para murid tidak langsung mengenali Yesus? Sekali lagi mungkin itulah dasyatnya trauma yang oleh Paulus disebut sengat maut. Lantas, untuk menunjukkan bahwa benar-benar yang hadir itu adalah diri-Nya dan bukan hantu, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya. Pagi tadi, Maria mengenali-Nya pada saat namanya dipanggil dan kini, para murid mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Bukankah, sering kali kita juga menjadi buta, kecewa, frustasi ketika harapan-harapan kita tidak terpenuhi, sebaliknya situasi yang tidak kita ingini justeru terjadi: kepahitan hidup, pergumulan dan beban berat bahkan kematian membayang-bayangi hidup kita. Kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sanggup melakukan apa pun seperti yang sering kita nyanyikan. Kita tidak bisa melihat wajah-Nya!

Damai sejahtera bagi kamu!" Pertama-tama itulah yang diucapkan Yesus. Ucapan ini tentu bukan ucapan kosong seperti yang sering kita katakan, "syalom!" Damai sejahtera yang diberikan Yesus bukanlah damai sejahtera yang diberikan dunia. Damai ini adalah damai batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus datang kepada para murid yang sedang trauma itu. Ia tidak mencela atau menghakimi mereka yang ketakutan, dan pada saat yang sama tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan sama sekali kepada Petrus yang menyangkal-Nya. Ia tidak membuat seorang pun merasa bersalah! Justeru Yesus menegaskan pilihan-Nya atas mereka dan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat Ia cintai. dan kini, Ia ada bersama mereka untuk memulihkan mereka.

Yesus yang bangkit itu menyatakan diri bukan dengan keperkasaan-Nya. Alih-alih Ia membawa pesakitan - para pemuka agama dan penguasa yang menghakimi-Nya - Ia menunjukkan luka-luka-Nya yang mungkin saja masih bernyenye, dan mengerikan. Seolah Ia berkata, "Lihatlah, ini Aku yang terluka itu. Ini Aku dan bukan yang lain. Aku yang dulu berkata, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan...kasihilah musuhmu, berbuat baiklah terhadap orang yang membencimu. Ini Aku dan bukan yang lain!" Tampaknya, ini pernyataan orang-orang lemah dan pecundang. Orang sering menutupi kelemahan dan luka-lukanya. "Luka-luka" kehidupan itu sebisa mungkin ditutupi agar orang tidak tahu kelemahan kita. Kita ingin tampil seperti orang yang digdaya dan hebat itulah yang dituntut dunia. Itulah pandangan dunia!

Misteri Yesus yang menunjukkan luka-luka-Nya justeru menandakan kehebatan-Nya. Luka-luka itu adalah tanda cinta-Nya kepada para murid; cinta-Nya pada dunia ini. Bukankah cinta kasih itu ditunjukkan dengan perbuatan dan bukan hanya sekedar bicara? Seberapa besar dan "luka-luka" itu pada diri kita, dan seberapa besar kepahitan dan kesedihan yang dialami, berbanding lurus dengan cinta kasih kita kepada seseorang.

Luka-luka Yesus itu perlahan namun pasti memulihkan para murid. Ini mereka bisa melihat seperti mata Yesus melihat. Dalam perjumpaan yang singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingunangan dan traumatis menjadi komunitas yang optimis, berani dan memahami apa itu dicintai. Dalam komunitas itu para murid hidup bersama. Yesus membarui panggilan mereka, sama seperti diri-Nya, Ia mengutus para murid menjadi saksi-saksi-Nya. Bukan dengan cara dunia ini yang memamerkan kejayaan dan triumpalistik, melain dengan cara yang sama seperti yang dilakukan-Nya: menyatakan wajah Allah yang penuh dengan cinta kasih. Allah yang berbela rasa serta mengampuni! Para murid akan terus memberikan hidup ini kepada mereka yang terhalang oleh tembok-tembok traumatis dan kebencian.

Yesus menunjukkan kepada mereka tanggungjawab. Hal yang menakutkan namun sekaligus indah dan memesona. Mereka harus diubah oleh Kuasa ROh Kudus dan diutus ke dunia, untuk mencintai orang sama seperti Yesus mencintai mereka, dan untuk memberikan hidup mereka bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga dan indah di hadapan Allah. Sama seperti Sang Guru dan Tuhan, mereka diminta untuk membebaskan orang dari kekerasan, kebencian dan hambatan dosa.

Namun, sayang. Tomas tidak ada bersama-sama mereka. Entah ke mana dia pada petang hari itu. Ia memisahkan diri dari persekutuan para murid: bisa jadi dialah yang paling kecewa di antara para murid. Seminggu kemudian, mereka berada dalam ruangan yang sama. Mereka sudah mencoba meyakinkan si Didimus ini. Namun, tampaknya tidak mudah. Tomas menuntut bukti, ya bukti luka-luka Yesus itu. Lagi-lagi dengan cara yang sama, Yesus menjumpai Tomas. Ia menanggapi kebutuhan Tomas, Ia menyapa dan memersilahkan Tomas melihat dan meraba luka-luka itu. "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh.20:28).

Dalam kedua kali perjumpaan Yesus yang bangkit, Yesus menunjukkan luka-luka-Nya. Luka yang besar ada pada lambung-Nya, cukup untuk memasukkan tangan. Luka-luka itu ada juga pada kaki dan tangan-Nya, cukup untuk menyucukkan jari. Luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya, untuk menyatakan kasih Yesus yang tulus, dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit, sekali lagi, tidak menampakkan diri sebagai pahlawan gagah berani yang perkasa dan berkuasa, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Luka-luka ini menjadi kemuliaan-Nya. Dari luka pada lambung-Nya mengalir air yang menghidupkan dan menyembuhkan. melalui luka-luka-Nya kita menjadi sembuh.

Yesus mengundang kita masing-masing - melalui Tomas - untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan juga luka-luka yang ada dalam diri sesama: bukankah suatu kali Dia juga mengidentikkandiri dengan sesama yang paling hina?

Jakarta, Paskah II 2018