Tak pelak lagi, para murid
Yesus mengalami shock luar biasa
ketika Guru mereka ditangkap, diadili sepihak, disesah, dianiaya, dan akhirnya
dibunuh dengan cara biadab. Mereka frustasi karena apa yang mereka harapkan dari
seorang yang didambakan sebagai "mesias" ternyata tidak terbukti.
Yesus diam saja, tidak ada perlawanan sedikit pun bahkan Ia menyerah kalah!
Kini, mereka terancam. Pastilah para pembesar agama yang berkolaborasi dengan
penguasa akan menumpas habis mereka.
Barangkali itulah yang disebut
trauma psikologis dan emosional.
Setidaknya, mengurung dan mengunci diri di sebuah kamar menunjukkan kondisi itu
(Yoh.20:19). Sepertinya murid-murid Yesus lumpuh karena ketakutan dan menjadi
tidak berdaya. Padahal, pagi hari itu Maria Magdalena dengan begitu girangnya
memberi kabar, "Aku telah melihat
Tuhan!". Trauma itu menghalangi bahkan membutakan mereka untuk dapat
merayakan kegembiraan bersama-sama Maria.
Pemulihan traum psikis dan
emosi jelas tidak mudah, apalagi trauma itu berat. Para psikolog berupaya keras
untuk bisa memulihkan trauma-trauma semacam ini - meski tetap saja sisa-sisa
trauma itu akan tetap membekas dan muncul kembali apabila ada sejumlah faktor
pemicunya. Para psikolog mengenal terapi kognitif behaviour yang membantu
proses dan mengevaluasi pikiran dan perasaan dalam menghadapi trauma. Ada juga
yang disebut: EMDR (Eye Movement
Desensitization and Reprossesing). Terapi ini menggabungkan elemen dari
terapo kognitif behaviour dengan gerakan mata dan bentuk ritme lainnya serta
stimulasi ke kiri dan ke kanan. Terapi ini dipandang sangat efektif untuk
melepaskan memori traumatis supaya dapat dihadapi dan disingkirkan. Tentu saja
metode dan jenis-jenis terapi psikologis seperti ini belum dikenal pada zaman
Yesus. Namun, tampak jelas dalam peristiwa pasca penyaliban Yesus, yang membuat
para murid trauma, Yesus tidak tinggal diam. Dia tidak ingin para murid itu
frustasi dan kehilangan pengharapan. Caranya?
Yesus menampakkan diri kepada
mereka dalam ruang yang terkunci itu. "Damai
sejahtera bagi kamu!" Kata-Nya. Mengapa Maria Magdalena dan para murid
tidak langsung mengenali Yesus? Sekali lagi mungkin itulah dasyatnya trauma
yang oleh Paulus disebut sengat maut.
Lantas, untuk menunjukkan bahwa benar-benar yang hadir itu adalah diri-Nya dan
bukan hantu, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada
lambung-Nya. Pagi tadi, Maria mengenali-Nya pada saat namanya dipanggil dan kini,
para murid mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Bukankah,
sering kali kita juga menjadi buta, kecewa, frustasi ketika harapan-harapan
kita tidak terpenuhi, sebaliknya situasi yang tidak kita ingini justeru
terjadi: kepahitan hidup, pergumulan dan beban berat bahkan kematian
membayang-bayangi hidup kita. Kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sanggup
melakukan apa pun seperti yang sering kita nyanyikan. Kita tidak bisa melihat
wajah-Nya!
”Damai sejahtera bagi kamu!" Pertama-tama itulah yang diucapkan
Yesus. Ucapan ini tentu bukan ucapan kosong seperti yang sering kita katakan,
"syalom!" Damai sejahtera
yang diberikan Yesus bukanlah damai sejahtera yang diberikan dunia. Damai ini
adalah damai batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus datang kepada para
murid yang sedang trauma itu. Ia tidak mencela atau menghakimi mereka yang
ketakutan, dan pada saat yang sama tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan
sama sekali kepada Petrus yang menyangkal-Nya. Ia tidak membuat seorang pun
merasa bersalah! Justeru Yesus menegaskan pilihan-Nya atas mereka dan bahwa
mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat Ia cintai. dan kini, Ia ada bersama
mereka untuk memulihkan mereka.
Yesus yang bangkit itu
menyatakan diri bukan dengan keperkasaan-Nya. Alih-alih Ia membawa pesakitan -
para pemuka agama dan penguasa yang menghakimi-Nya - Ia menunjukkan
luka-luka-Nya yang mungkin saja masih bernyenye,
dan mengerikan. Seolah Ia berkata, "Lihatlah,
ini Aku yang terluka itu. Ini Aku dan bukan yang lain. Aku yang dulu berkata,
jangan membalas kejahatan dengan kejahatan...kasihilah musuhmu, berbuat baiklah
terhadap orang yang membencimu. Ini Aku dan bukan yang lain!"
Tampaknya, ini pernyataan orang-orang lemah dan pecundang. Orang sering
menutupi kelemahan dan luka-lukanya. "Luka-luka" kehidupan itu sebisa
mungkin ditutupi agar orang tidak tahu kelemahan kita. Kita ingin tampil
seperti orang yang digdaya dan hebat itulah yang dituntut dunia. Itulah
pandangan dunia!
Misteri Yesus yang menunjukkan
luka-luka-Nya justeru menandakan kehebatan-Nya. Luka-luka itu adalah tanda
cinta-Nya kepada para murid; cinta-Nya pada dunia ini. Bukankah cinta kasih itu
ditunjukkan dengan perbuatan dan bukan hanya sekedar bicara? Seberapa besar dan
"luka-luka" itu pada diri kita, dan seberapa besar kepahitan dan
kesedihan yang dialami, berbanding lurus dengan cinta kasih kita kepada
seseorang.
Luka-luka Yesus itu perlahan
namun pasti memulihkan para murid. Ini mereka bisa melihat seperti mata Yesus
melihat. Dalam perjumpaan yang singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang
yang ketakutan, kebingunangan dan traumatis menjadi komunitas yang optimis, berani
dan memahami apa itu dicintai. Dalam komunitas itu para murid hidup bersama.
Yesus membarui panggilan mereka, sama seperti diri-Nya, Ia mengutus para murid
menjadi saksi-saksi-Nya. Bukan dengan cara dunia ini yang memamerkan kejayaan
dan triumpalistik, melain dengan cara yang sama seperti yang dilakukan-Nya:
menyatakan wajah Allah yang penuh dengan cinta kasih. Allah yang berbela rasa
serta mengampuni! Para murid akan terus memberikan hidup ini kepada mereka yang
terhalang oleh tembok-tembok traumatis dan kebencian.
Yesus menunjukkan kepada
mereka tanggungjawab. Hal yang menakutkan namun sekaligus indah dan memesona.
Mereka harus diubah oleh Kuasa ROh Kudus dan diutus ke dunia, untuk mencintai
orang sama seperti Yesus mencintai mereka, dan untuk memberikan hidup mereka
bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga dan indah
di hadapan Allah. Sama seperti Sang Guru dan Tuhan, mereka diminta untuk
membebaskan orang dari kekerasan, kebencian dan hambatan dosa.
Namun, sayang. Tomas tidak ada
bersama-sama mereka. Entah ke mana dia pada petang hari itu. Ia memisahkan diri
dari persekutuan para murid: bisa jadi dialah yang paling kecewa di antara para
murid. Seminggu kemudian, mereka berada dalam ruangan yang sama. Mereka sudah
mencoba meyakinkan si Didimus ini. Namun, tampaknya tidak mudah. Tomas menuntut
bukti, ya bukti luka-luka Yesus itu. Lagi-lagi dengan cara yang sama, Yesus
menjumpai Tomas. Ia menanggapi kebutuhan Tomas, Ia menyapa dan memersilahkan
Tomas melihat dan meraba luka-luka itu. "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh.20:28).
Dalam kedua kali perjumpaan
Yesus yang bangkit, Yesus menunjukkan luka-luka-Nya. Luka yang besar ada pada
lambung-Nya, cukup untuk memasukkan tangan. Luka-luka itu ada juga pada kaki
dan tangan-Nya, cukup untuk menyucukkan jari. Luka itu tetap tinggal untuk
selama-lamanya, untuk menyatakan kasih Yesus yang tulus, dan mengampuni, yang
dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit, sekali lagi, tidak
menampakkan diri sebagai pahlawan gagah berani yang perkasa dan berkuasa, namun
sebagai yang terluka dan mengampuni. Luka-luka ini menjadi kemuliaan-Nya. Dari
luka pada lambung-Nya mengalir air yang menghidupkan dan menyembuhkan. melalui
luka-luka-Nya kita menjadi sembuh.
Yesus mengundang kita
masing-masing - melalui Tomas - untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya,
melainkan juga luka-luka yang ada dalam diri sesama: bukankah suatu kali Dia
juga mengidentikkandiri dengan sesama yang paling hina?
Jakarta, Paskah II 2018