Jumat, 06 April 2018

KOMUNITAS YANG DIPULIHKAN DAN DIUTUS


Tak pelak lagi, para murid Yesus mengalami shock luar biasa ketika Guru mereka ditangkap, diadili sepihak, disesah, dianiaya, dan akhirnya dibunuh dengan cara biadab. Mereka frustasi karena apa yang mereka harapkan dari seorang yang didambakan sebagai "mesias" ternyata tidak terbukti. Yesus diam saja, tidak ada perlawanan sedikit pun bahkan Ia menyerah kalah! Kini, mereka terancam. Pastilah para pembesar agama yang berkolaborasi dengan penguasa akan menumpas habis mereka.

Barangkali itulah yang disebut trauma psikologis dan emosional. Setidaknya, mengurung dan mengunci diri di sebuah kamar menunjukkan kondisi itu (Yoh.20:19). Sepertinya murid-murid Yesus lumpuh karena ketakutan dan menjadi tidak berdaya. Padahal, pagi hari itu Maria Magdalena dengan begitu girangnya memberi kabar, "Aku telah melihat Tuhan!". Trauma itu menghalangi bahkan membutakan mereka untuk dapat merayakan kegembiraan bersama-sama Maria.

Pemulihan traum psikis dan emosi jelas tidak mudah, apalagi trauma itu berat. Para psikolog berupaya keras untuk bisa memulihkan trauma-trauma semacam ini - meski tetap saja sisa-sisa trauma itu akan tetap membekas dan muncul kembali apabila ada sejumlah faktor pemicunya. Para psikolog mengenal terapi kognitif behaviour yang membantu proses dan mengevaluasi pikiran dan perasaan dalam menghadapi trauma. Ada juga yang disebut: EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprossesing). Terapi ini menggabungkan elemen dari terapo kognitif behaviour dengan gerakan mata dan bentuk ritme lainnya serta stimulasi ke kiri dan ke kanan. Terapi ini dipandang sangat efektif untuk melepaskan memori traumatis supaya dapat dihadapi dan disingkirkan. Tentu saja metode dan jenis-jenis terapi psikologis seperti ini belum dikenal pada zaman Yesus. Namun, tampak jelas dalam peristiwa pasca penyaliban Yesus, yang membuat para murid trauma, Yesus tidak tinggal diam. Dia tidak ingin para murid itu frustasi dan kehilangan pengharapan. Caranya?

Yesus menampakkan diri kepada mereka dalam ruang yang terkunci itu. "Damai sejahtera bagi kamu!" Kata-Nya. Mengapa Maria Magdalena dan para murid tidak langsung mengenali Yesus? Sekali lagi mungkin itulah dasyatnya trauma yang oleh Paulus disebut sengat maut. Lantas, untuk menunjukkan bahwa benar-benar yang hadir itu adalah diri-Nya dan bukan hantu, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya. Pagi tadi, Maria mengenali-Nya pada saat namanya dipanggil dan kini, para murid mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Bukankah, sering kali kita juga menjadi buta, kecewa, frustasi ketika harapan-harapan kita tidak terpenuhi, sebaliknya situasi yang tidak kita ingini justeru terjadi: kepahitan hidup, pergumulan dan beban berat bahkan kematian membayang-bayangi hidup kita. Kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sanggup melakukan apa pun seperti yang sering kita nyanyikan. Kita tidak bisa melihat wajah-Nya!

Damai sejahtera bagi kamu!" Pertama-tama itulah yang diucapkan Yesus. Ucapan ini tentu bukan ucapan kosong seperti yang sering kita katakan, "syalom!" Damai sejahtera yang diberikan Yesus bukanlah damai sejahtera yang diberikan dunia. Damai ini adalah damai batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus datang kepada para murid yang sedang trauma itu. Ia tidak mencela atau menghakimi mereka yang ketakutan, dan pada saat yang sama tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan sama sekali kepada Petrus yang menyangkal-Nya. Ia tidak membuat seorang pun merasa bersalah! Justeru Yesus menegaskan pilihan-Nya atas mereka dan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat Ia cintai. dan kini, Ia ada bersama mereka untuk memulihkan mereka.

Yesus yang bangkit itu menyatakan diri bukan dengan keperkasaan-Nya. Alih-alih Ia membawa pesakitan - para pemuka agama dan penguasa yang menghakimi-Nya - Ia menunjukkan luka-luka-Nya yang mungkin saja masih bernyenye, dan mengerikan. Seolah Ia berkata, "Lihatlah, ini Aku yang terluka itu. Ini Aku dan bukan yang lain. Aku yang dulu berkata, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan...kasihilah musuhmu, berbuat baiklah terhadap orang yang membencimu. Ini Aku dan bukan yang lain!" Tampaknya, ini pernyataan orang-orang lemah dan pecundang. Orang sering menutupi kelemahan dan luka-lukanya. "Luka-luka" kehidupan itu sebisa mungkin ditutupi agar orang tidak tahu kelemahan kita. Kita ingin tampil seperti orang yang digdaya dan hebat itulah yang dituntut dunia. Itulah pandangan dunia!

Misteri Yesus yang menunjukkan luka-luka-Nya justeru menandakan kehebatan-Nya. Luka-luka itu adalah tanda cinta-Nya kepada para murid; cinta-Nya pada dunia ini. Bukankah cinta kasih itu ditunjukkan dengan perbuatan dan bukan hanya sekedar bicara? Seberapa besar dan "luka-luka" itu pada diri kita, dan seberapa besar kepahitan dan kesedihan yang dialami, berbanding lurus dengan cinta kasih kita kepada seseorang.

Luka-luka Yesus itu perlahan namun pasti memulihkan para murid. Ini mereka bisa melihat seperti mata Yesus melihat. Dalam perjumpaan yang singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingunangan dan traumatis menjadi komunitas yang optimis, berani dan memahami apa itu dicintai. Dalam komunitas itu para murid hidup bersama. Yesus membarui panggilan mereka, sama seperti diri-Nya, Ia mengutus para murid menjadi saksi-saksi-Nya. Bukan dengan cara dunia ini yang memamerkan kejayaan dan triumpalistik, melain dengan cara yang sama seperti yang dilakukan-Nya: menyatakan wajah Allah yang penuh dengan cinta kasih. Allah yang berbela rasa serta mengampuni! Para murid akan terus memberikan hidup ini kepada mereka yang terhalang oleh tembok-tembok traumatis dan kebencian.

Yesus menunjukkan kepada mereka tanggungjawab. Hal yang menakutkan namun sekaligus indah dan memesona. Mereka harus diubah oleh Kuasa ROh Kudus dan diutus ke dunia, untuk mencintai orang sama seperti Yesus mencintai mereka, dan untuk memberikan hidup mereka bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga dan indah di hadapan Allah. Sama seperti Sang Guru dan Tuhan, mereka diminta untuk membebaskan orang dari kekerasan, kebencian dan hambatan dosa.

Namun, sayang. Tomas tidak ada bersama-sama mereka. Entah ke mana dia pada petang hari itu. Ia memisahkan diri dari persekutuan para murid: bisa jadi dialah yang paling kecewa di antara para murid. Seminggu kemudian, mereka berada dalam ruangan yang sama. Mereka sudah mencoba meyakinkan si Didimus ini. Namun, tampaknya tidak mudah. Tomas menuntut bukti, ya bukti luka-luka Yesus itu. Lagi-lagi dengan cara yang sama, Yesus menjumpai Tomas. Ia menanggapi kebutuhan Tomas, Ia menyapa dan memersilahkan Tomas melihat dan meraba luka-luka itu. "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh.20:28).

Dalam kedua kali perjumpaan Yesus yang bangkit, Yesus menunjukkan luka-luka-Nya. Luka yang besar ada pada lambung-Nya, cukup untuk memasukkan tangan. Luka-luka itu ada juga pada kaki dan tangan-Nya, cukup untuk menyucukkan jari. Luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya, untuk menyatakan kasih Yesus yang tulus, dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit, sekali lagi, tidak menampakkan diri sebagai pahlawan gagah berani yang perkasa dan berkuasa, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Luka-luka ini menjadi kemuliaan-Nya. Dari luka pada lambung-Nya mengalir air yang menghidupkan dan menyembuhkan. melalui luka-luka-Nya kita menjadi sembuh.

Yesus mengundang kita masing-masing - melalui Tomas - untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan juga luka-luka yang ada dalam diri sesama: bukankah suatu kali Dia juga mengidentikkandiri dengan sesama yang paling hina?

Jakarta, Paskah II 2018

Sabtu, 31 Maret 2018

MENJADI SAKSI-SAKSI KEBANGKITAN YESUS


Sejak lama iman kebangkitan kepada Kristus dibangun di atas dua pilar: fakta kubur kosong dan penampakan-penampakan Yesus yang sudah bangkit. Kubur kosong tidak akan berarti apa-apa tanpa Yesus yang menampakkan diri kepada para murid. Banyak argumen terhadap kubur yang sudah kosong bahkan sampai hari ini. Penampakan-penampakan itulah yang melahirkan iman Paskah dalam diri para murid.

Setelah kisah tentang makam kosong, para penulis Injil mengisahkan tentang Yesus yang menampakkan diri kepada para murid-Nya. Sebaliknya, para penginjil tidak mengisahkan bagaimana Yesus bangkit, dengan cara apa, kapan dan seterusnya. Tidak! Bagi para penulis Injil yang penting bukan bagaimana caranya Yesus bangkit melainkan, Dia yang bangkit itu menyapa para murid yang sedang dirundung cemas, bimbang, takut bahkan frustasi. Masing-masing penginjil punya ketertarikan sendiri dalam berkisah tentang penampakan Yesus ini. Mereka mengisahkan orang-orang di sekitar Yesus yang berusaha mengerti tentang peristiwa yang sulit dimengerti.

Kisah penampakan Yesus kepada dua orang murid yang menuju Emaus hanya terdapat dalam Injil Lukas (Lukas 24:13-35). Dikisahkan pada hari itu juga, yakni hari pertama dalam minggu itu (ay.1), dua orang murid Yesus pergi ke Emaus. Dalam perjalanan mereka memperbincangkan apa yang telah terjadi di Yerusalem dan sekitarnya. Peristiwa yang dimaksud adalah penganiayaan dan penyaliban Yesus. Sangat mungkin percakapan mereka diwarnai dengan kesedihan, kekecewaan, takut atau bisa juga marah. Kini, Yerusalem bagi mereka bagaikan ancaman. Ya, bisa jadi Mahkamah Agama yang menghakimi Yesus dan bekerja sama dengan penguasa kolonia selanjutnya mengadakan pembersihan terhadap para pengikut Yesus!

Dalam perjalanan itu, tanpa disangka-sangka, Yesus hadir. Yesus menjadi teman seperjalanan mereka. Tampaknya, sedih, kecewa, frustasi dan bayang-bayang kematian menutup mata dan harapan mereka, dampaknya: Yesus yang hadir sebagai teman seperjalanan tidak mereka kenali! Perjalanan bersama itu menjadi momen bagi mereka untuk mengutarakan isi batin mereka. Mereka mengaku mengenal Yesus sebagai nabi yang penuh dengan kuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan seluruh bangsa (Luk.24:19). Mereka mengira bahwa Yesus yang mereka ikuti itu adalah benar-benar Mesias seperti harapan mereka: Mesias pembebas Israel! Tetapi harapan itu hancur berkeping-keping: Yesus mati disalibkan!

Bukankah sering kali kita mengikut Yesus dengan berbagai macam harapan dan angan-angan kita. Kita menghendaki Dia menjadi Mesias yang memenuhi semua harapan kita. Dia bisa menyembuhkan sakit penyakit kita, bisa membuat kita kaya dan sukses, Dia bisa membuat semua jalan kehidupan menjadi lancar, pendek kata Yesus bisa memenuhi apa yang saya mau!

Yesus yang menyertai mereka dengan sabar menjelaskan makna dari peristiwa-peristiwa yang menjadi perbincangan di perjalanan itu. Ia mulai menjelaskan isi Kitab Suci. Ia menjelaskan bahwa haruslah digenapi apa yang tertulis di dalam Kitab Taurat Musa, Kitab Nabi-nabi, dan Mazmur mengenai apa yang tertulis tentang Dia. Ia menerangi pemahaman para murid bahwa Mesias memang harus menderita untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya. Ada unsur baru dalam perkataan Yesus. Ia menyatakan bahwa di dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem. Para murid disebut sebagai saksi dari semua itu. Artinya, mereka adalah saksi kepenuhan dari apa yang diwartakan dalam Kitab Suci.

Tidak hanya berhenti dalam penjelasan Kitab Suci, ternyata Yesus mau singgah di temapat mereka. Ia mengadakan perjamuan bersama mereka. Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya lalu membagikan kepada dua murid itu. Apa yang dilakukan Yesus dengan serta merta membuka mata mereka. Kini, keduanya siuman dari mimpi panjang dalam keputusasaan. Segera setelah peristiwa ini Yesus raib dari pandangan mereka.

Segera keduanya, beranjak. Mereka bangkit dan kembali ke Yerusalem. Di sana, mereka menceritakan apa yang terjadi di tengah perjalanan mereka dan bagaimana mereka mengenali Yesus ketika Ia memecah-mecahkan roti. Kepada mereka juga diberitakan bahwa Yesus telah menampakkan diri kepada Simon.

Iman Paskah dibangun dari reruntuhan keputusasaan para murid melalui penampakan Yesus yang bangkit. Yesus menjumpai, menyapa, dan menjamu mereka. Dua murid ini mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Dampaknya, luar biasa dasyat! Mereka yang pesimis, takut, kecewa, pecundang dan putus asa, kini bangkit. Yerusalem yang menjadi momok menakutkan bagi mereka dan oleh karenanya mereka pergi meninggalkan kota itu, kini mereka datangi. Perjumpaan itu memulihkan iman mereka. Iman yang tidak hanya bertumpu pada harapan dan keinginan sendiri. Melainkan, membiarkan kehendak Kristus merasuki pikiran, sanubari dan raga mereka. Inilah titik balik iman itu. Kini, mereka siap menjadi saksi mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria sampai ke ujung-ujung bumi!

Tampa mengalami perjumpaan dan membiarkan Yesus mengoreksi iman percaya kita, maka yang terjadi adalah kita merasa diri beriman namun, seperti kedua murid yang menuju Emaus, motivasi iman kita dilandaskan bukan seperti apa yang Tuhan mau, melainkan apa yang aku mau. Iman kebangkitan seharusnya mampu meruntuhkan ego dan ambisi kita. Menaklukkannya dalam kehendak Kristus. Ketika perjumaan ini terjadi maka - seperti kedua murid yang menuju Emaus - pesimisme, kecemasan, kekecewaan, takut, putus asa akan berubah menjadi optimisme, berpikiran positif, berani menghadapi pelbagai macam tantangan. Iman seperti ini akan membuat kita tidak lari, apalagi menjadi pecundang karena pelbagai persoalan hidup. Di sini kita akan mampu menghadapi pelbagai tantangan dan ancaman. Inilah iman kebangkitan! Di sinilah kita siap menjadi saksi kebangkitan-Nya!

Paskah Sore, 2018