Sabtu, 31 Maret 2018

MENJADI SAKSI-SAKSI KEBANGKITAN YESUS


Sejak lama iman kebangkitan kepada Kristus dibangun di atas dua pilar: fakta kubur kosong dan penampakan-penampakan Yesus yang sudah bangkit. Kubur kosong tidak akan berarti apa-apa tanpa Yesus yang menampakkan diri kepada para murid. Banyak argumen terhadap kubur yang sudah kosong bahkan sampai hari ini. Penampakan-penampakan itulah yang melahirkan iman Paskah dalam diri para murid.

Setelah kisah tentang makam kosong, para penulis Injil mengisahkan tentang Yesus yang menampakkan diri kepada para murid-Nya. Sebaliknya, para penginjil tidak mengisahkan bagaimana Yesus bangkit, dengan cara apa, kapan dan seterusnya. Tidak! Bagi para penulis Injil yang penting bukan bagaimana caranya Yesus bangkit melainkan, Dia yang bangkit itu menyapa para murid yang sedang dirundung cemas, bimbang, takut bahkan frustasi. Masing-masing penginjil punya ketertarikan sendiri dalam berkisah tentang penampakan Yesus ini. Mereka mengisahkan orang-orang di sekitar Yesus yang berusaha mengerti tentang peristiwa yang sulit dimengerti.

Kisah penampakan Yesus kepada dua orang murid yang menuju Emaus hanya terdapat dalam Injil Lukas (Lukas 24:13-35). Dikisahkan pada hari itu juga, yakni hari pertama dalam minggu itu (ay.1), dua orang murid Yesus pergi ke Emaus. Dalam perjalanan mereka memperbincangkan apa yang telah terjadi di Yerusalem dan sekitarnya. Peristiwa yang dimaksud adalah penganiayaan dan penyaliban Yesus. Sangat mungkin percakapan mereka diwarnai dengan kesedihan, kekecewaan, takut atau bisa juga marah. Kini, Yerusalem bagi mereka bagaikan ancaman. Ya, bisa jadi Mahkamah Agama yang menghakimi Yesus dan bekerja sama dengan penguasa kolonia selanjutnya mengadakan pembersihan terhadap para pengikut Yesus!

Dalam perjalanan itu, tanpa disangka-sangka, Yesus hadir. Yesus menjadi teman seperjalanan mereka. Tampaknya, sedih, kecewa, frustasi dan bayang-bayang kematian menutup mata dan harapan mereka, dampaknya: Yesus yang hadir sebagai teman seperjalanan tidak mereka kenali! Perjalanan bersama itu menjadi momen bagi mereka untuk mengutarakan isi batin mereka. Mereka mengaku mengenal Yesus sebagai nabi yang penuh dengan kuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan seluruh bangsa (Luk.24:19). Mereka mengira bahwa Yesus yang mereka ikuti itu adalah benar-benar Mesias seperti harapan mereka: Mesias pembebas Israel! Tetapi harapan itu hancur berkeping-keping: Yesus mati disalibkan!

Bukankah sering kali kita mengikut Yesus dengan berbagai macam harapan dan angan-angan kita. Kita menghendaki Dia menjadi Mesias yang memenuhi semua harapan kita. Dia bisa menyembuhkan sakit penyakit kita, bisa membuat kita kaya dan sukses, Dia bisa membuat semua jalan kehidupan menjadi lancar, pendek kata Yesus bisa memenuhi apa yang saya mau!

Yesus yang menyertai mereka dengan sabar menjelaskan makna dari peristiwa-peristiwa yang menjadi perbincangan di perjalanan itu. Ia mulai menjelaskan isi Kitab Suci. Ia menjelaskan bahwa haruslah digenapi apa yang tertulis di dalam Kitab Taurat Musa, Kitab Nabi-nabi, dan Mazmur mengenai apa yang tertulis tentang Dia. Ia menerangi pemahaman para murid bahwa Mesias memang harus menderita untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya. Ada unsur baru dalam perkataan Yesus. Ia menyatakan bahwa di dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem. Para murid disebut sebagai saksi dari semua itu. Artinya, mereka adalah saksi kepenuhan dari apa yang diwartakan dalam Kitab Suci.

Tidak hanya berhenti dalam penjelasan Kitab Suci, ternyata Yesus mau singgah di temapat mereka. Ia mengadakan perjamuan bersama mereka. Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya lalu membagikan kepada dua murid itu. Apa yang dilakukan Yesus dengan serta merta membuka mata mereka. Kini, keduanya siuman dari mimpi panjang dalam keputusasaan. Segera setelah peristiwa ini Yesus raib dari pandangan mereka.

Segera keduanya, beranjak. Mereka bangkit dan kembali ke Yerusalem. Di sana, mereka menceritakan apa yang terjadi di tengah perjalanan mereka dan bagaimana mereka mengenali Yesus ketika Ia memecah-mecahkan roti. Kepada mereka juga diberitakan bahwa Yesus telah menampakkan diri kepada Simon.

Iman Paskah dibangun dari reruntuhan keputusasaan para murid melalui penampakan Yesus yang bangkit. Yesus menjumpai, menyapa, dan menjamu mereka. Dua murid ini mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Dampaknya, luar biasa dasyat! Mereka yang pesimis, takut, kecewa, pecundang dan putus asa, kini bangkit. Yerusalem yang menjadi momok menakutkan bagi mereka dan oleh karenanya mereka pergi meninggalkan kota itu, kini mereka datangi. Perjumpaan itu memulihkan iman mereka. Iman yang tidak hanya bertumpu pada harapan dan keinginan sendiri. Melainkan, membiarkan kehendak Kristus merasuki pikiran, sanubari dan raga mereka. Inilah titik balik iman itu. Kini, mereka siap menjadi saksi mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria sampai ke ujung-ujung bumi!

Tampa mengalami perjumpaan dan membiarkan Yesus mengoreksi iman percaya kita, maka yang terjadi adalah kita merasa diri beriman namun, seperti kedua murid yang menuju Emaus, motivasi iman kita dilandaskan bukan seperti apa yang Tuhan mau, melainkan apa yang aku mau. Iman kebangkitan seharusnya mampu meruntuhkan ego dan ambisi kita. Menaklukkannya dalam kehendak Kristus. Ketika perjumaan ini terjadi maka - seperti kedua murid yang menuju Emaus - pesimisme, kecemasan, kekecewaan, takut, putus asa akan berubah menjadi optimisme, berpikiran positif, berani menghadapi pelbagai macam tantangan. Iman seperti ini akan membuat kita tidak lari, apalagi menjadi pecundang karena pelbagai persoalan hidup. Di sini kita akan mampu menghadapi pelbagai tantangan dan ancaman. Inilah iman kebangkitan! Di sinilah kita siap menjadi saksi kebangkitan-Nya!

Paskah Sore, 2018

Jumat, 30 Maret 2018

MEMENTO MORI


Hidup manusia itu singkat, "Bagaikan mampir minum dalam sebuah perjalanan panjang," kata orang bijak. Ayub 14:1-14 mengatakan bahwa hidup manusia seperti bunga yang berkembang. Lalu layu. Seperti banyang-bayang ia hilang lenyap dan tidak betahan. Ketika kematian datang, tidak seorang pun tahu. Ayub memahami bahwa setelah manusia mati, padanya tidak ada lagi pengharapan. Terlihat, pandangan Ayub pesimis terhadap kematian. Bukankah ini juga mewakili pemahaman banyak orang bahwa kematian adalah akhir segalanya? Ya, sesuatu yang tidak dapat kita hindari pada akhirnya adalah kematian. Kini, tergantung sikap kita menghadapinya.

”Memento Mori" berarti: 'ingatlah akan hari kematianmu!' Ungkapan ini mau mengingatkan kita bahwa setiap orang akan berujung ada kematian. Dengan mengingat kematian makan seseorang akan berhati-hati dalam menjalani kehidupan. memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Bercermin dari kisah pelayanan Yesus, secara kuantitatif usia-Nya relatif singkat, banyak orang memperkirakan-Nya tidak lebih dari 33 tahun saja. Namun, dalam waktu yang singkat itu, Ia telah mengoptimalkan waktu itu dengan sebaik-baik-Nya hingga berujung pada kekekalan. Nama, teladan dan ajaran-Nya terus hidup!

Dalam kisah sengsara dan kematian Yesus, kita bisa belajar dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Yusuf dari Arimatea, misalnya. Injil Matius menyebutkan bahwa ia adalah seorang kaya dan yang telah menjadimurid Yesus juga (Mat.27:57). Namun, catatan Markus, "Yusuf adalah salah seorang anggota Majelis Besar yang terkemuka yang menanti-nantikan Kerajaan Allah, memberanikan diri menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus" (Mrk.15:43). Dengan begitu berarti Yusuf adalah anggota Mahkamah Agama yang terhormat.

Dengan berani Yusuf pergi kepada wali negeri Romawi dan meminta mayat Yesus yang tergantung di salib. Tentu ini menuntut nyali Yusuf untuk tandang menghadap Pilatus. Bisa jadi karena Yusuf adalah anggota Mahkamah Agama yang terhormat yang menyerahkan Yesus kepada Pilatus, permintaan itu sah dan tidak dicurigai. Pilatus menyetujui permintaan Yusuf itu. Yusuf pun membeli kainlenan, kemudian menurunkan mayat Yesus dari salib dan mengafani-Nya serta dikuburkan di kuburannya sendiri (Mat.27:60).

Dapat dibayangkan seorang Yusuf dari Arimatea, orang kaya dan anggota Mahkamah Agama, dia berbeda dari kebanyakan kelompoknya. Ia menerima kebenaran yang diajarkan Yesus dan akhirnya dia sendiri yang mengurus jasad Yesus sampai dimakamkan di kuburannya sendiri. Lalu bagaimana pandangan orang lain? Bagaimana dengan tanggapan anggota Mahkama Sanhedrin itu? Bukankah kebayangkan mereka yang menjadi pelaku kekejaman terhadap Yesus yang mengakibatkan kematian-Nya?

Tragis memang, ada orang seperti Yudas dalam kelompok murid Yesus. Ia dipanggil secara khusus dan terlibat bersama-sama Yesus namun akhirnya menjadi penghianat dan menyerahkan Sang Guru. Sebaliknya, ada seorang Yusuf, ia anggota Mahkamah Agama, mereka yang sepakat dari awal untuk melenyapkan Yesus, namun pada akhirnya ia mengerti apa yang diajarkan dan diperjuangkan Yesus. Ia menjadi murid Yesus! Namanya kemudia terus hidup dan harum sampai sekarang terutama ketika orang berkisah tentang kesengsaraan Yesus. Bisa jadi, Yusuf diberi label penghianat juga oleh kelompok Mahkamah Agama Yahudi itu. Namun, tepat seperti yang Yesus katakan, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk kehidupan yang kekal." (Yoh.12:25).

Bagaimana Anda dikenang nanti, itu sangat tergantung dengan apa yang dikerjakan sekarang. Bagaimana setelah kematian nanti, itu tergantung dari bagaimana cara kita beriman hari ini! Bisa jadi kehidupan yang kita jalani saat ini penuh onak dan duri, namun membuahkan hal yang manis. Namun, belum tentu manisnya kehidupan sekarang akan membawa kita pada kekekalan. Memento Mori menolong untuk kita melangkah dan menjalani hidup ini dengan cermat!

Jakarta, Sabtu Sunyi 2018