Sabtu, 23 Desember 2017

TUHAN YANG MULIA DALAM KEUGAHARIAN



Belakangan kata "ugahari" banyak dibicarakan. Khususnya ketika gereja-gereja dan PGI mengangkatnya dalam tema-tema pembinaan kontekstual - apalagi ketika kini dijadikan tema Natal dalam lingkup GKI. Lalu apa yang dimaksud dengan ugahari  itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya: 1. sedang; pertengahan, 2. sederhana. Pengembangan arti lainnya adalah: bersahaja, lugu, polos, prasaja. Sedangkan keugaharian mengandung arti :keluguan, kepolosan, kesahajaan, kesederhanaan, dan kewajaran. Apakah kalau begitu kalimat tema Natal tahun ini berarti, Tuhan yang mulia itu tampil dalam keluguan, kepolosan, kesahajaan, kesederhanaan dan kewajaran? Ya, bisa saja mirip-mirip dengan itu. Namun, tentu tidak seugahari atau selugu itu.

Spiritualitas ugahari adalah semangat iman yang meyakini bahwa rakhmat TUHAN itu cukup untuk semua ciptaan-Nya. Oleh karenanya setiap orang yang meyakini semangat iman seperti ini akan mengembangkan gaya hidup sederhana, menolak berfoya-foya, serakah atau rakus. "Spiritualitas keugaharian adalah berani berkata cukup terhadap godaan materi sebagaimana doa yang Tuhan Yesus ajarkan, 'berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.'"(Dr. Mery L.Y. Kolimon, Ketua Majelis Sinode GMIT). Semangat ugahari tidak berhenti hanya untuk mencukupkan diri dan hidup dalam kesederhanaan. Spiritualitas ugahari akan mendorong seseorang untuk peduli terhadap sesamanya agar mereka dapat hidup dalam kecukupan juga. Ugahari akan memberi ruang bahkan merangkul orang-orang yang papa, miskin dan menderita tanpa memandang perbedaan ras, suku golongan, atau pun agama. Semangat ugahari mengajarkan bahwa Allah begitu peduli terhadap penderitaan dunia, khususnya manusia. Alkitab berulang kali mencatat, siapa pun, bangsa atau umat manapun akan menjadi lawan Allah manakala ia atau mereka tampil sebagai orang atau bangsa yang tamak, rakus dan menindas sesamanya. Sebaliknya, Allah akan selalu bersama orang-orang yang diperlakukan tidak adil namun hidup dalam kebenaran. Ia akan selalu ada bersama mereka yang miskin dan tersingkir!

Alkitab mencatat, Allah hadir dalam realita hidup manusia. "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,..." (Yohanes 1:14). Eskénósen en hèmin, "... firman itu berkediaman di antara kita". Kata kerja "berkediaman" secara harafiah berarti berkemah, mendirikan tenda. Dulu, umat Israel merasakan pengalaman kehadiran Allah dalam "Kemah Suci". Dalam kemah itu bersemayam Tabut Perjanjian Allah. Israel menyaksikan betapa dasyatnya pengalaman penyertaan Allah itu. Melewati padang gurun dan berhadapan dengan pelbagai musuh serta tantangan dapat mereka atasi berkat kehadiran Allah bersama mereka. Kedasyatan Allah itu juga nyata mana kala sikap hidup mereka bertentangan dengan kehendak-Nya. Allah tidak main-main dengan pelanggaran yang dilakukan umat-Nya itu.

Pengalaman rumit, jatuh-bangun umat Israel bersama dengan kehadiran Allah itu ternyata tidak hanya berhenti di padang gurun. Setelah mereka tiba di negeri perjanjian lalu berhasil menjadi bangsa yang besar. Raja berganti raja. Sayang, umat itu bukannya terus tumbuh menjadi bangsa yang semakin baik beribadah kepada Allah, melainkan tidak henti-hentinya memberontak terhadap Allah. Para nabi diutus untuk mengingatkan prilaku yang keliru itu. Namun, nyatanya umat itu tetap tegar tengkuk. Lelahkah Allah dengan sikap manusia seperti ini? "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta." (Ibrani 1:1,2)

Rupanya Allah tidak pernah lelah dalam membangun komunikasi dengan manusia. Kini Firman itu telah menjadi 'daging'. Firman itu tidak menjauhi dunia manusia (ini berbeda dengan logos dalam dunia Gnostik yang menjauhi materi) melainkan masuk ke dalam kehidupan manusia. Di dalam Yesus Firman yang semula bersama-sama dengan Allah dan yang merupakan kesatuan utuh dengan Allah itu kini hadir dalam diri manusia Yesus. Yesus sebagai Firman Allah dan shekinah (kehadiran) Allah, kemuliaan dan kasih setia Allah menjadi tampak dan terungkap di bumi. Yesus sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah jalan yang baru dan paling penuh bagi Allah untuk mengungkapkan diri-Nya kepada manusia.

Firman itu masuk menembus rasa, logika, bahasa, dan budaya manusia. Ia begitu nyata: terlihat dan teraba oleh karena tutur-Nya menjadi hidup di dalam diri-Nya. Ketika Sang Firman itu berbicara tentang kasih. Ini bukan teori, tetapi seluruh hidup-Nya memperagakan itu. Ketika Ia berbicara tentang pengampunan, itu pun bukan sebuah dogma tetapi apa yang dipentaskan melalui kehidupan-Nya orang segera mengerti apa itu pengampunan. Ketika Sang Firman itu berbicara tentang pengharapan, bukankah pelbagai tanda-tanda yang Ia lakukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Firman itu sendiri. Dan ketika Ia berbicara tentang keugaharian, lalu mengajarkan, "Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." Maka seluruh hidup-Nya merupakan keugaharian. Ia tidak mengumbar kuasa dan mujizat-Nya untuk kepentingan diri sendiri. Ia melakukannya demi keberpihakan kepada mereka yang lemah, miskin, papa dan menderita.

Kedatangan-Nya sebagai Firman yang menjadi manusia adalah wujud konkrit dalam membatasi diri-Nya. Ia adalah Allah Yang Mahamulia mau hadir di dunia yang fana. Bergumul, menderita, merasakan pahit getirnya kehidupan akibat dosa dan berusaha mengangkat manusia dari lumpur dosa itu supaya mengenal hidup yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, Ia menginginkan orang-orang yang telah mengecap kasih karunia-Nya dapat mengerjakan apa yang telah dikerjakan-Nya. Allah tidak pernah mengumbar kuasa-Nya hanya untuk kepentingan diri-Nya sendiri. Maka mestinya kita menyadari: umat Tuhan atau gereja tidak boleh membanggakan dan membesarkan diri demi ego spiritualitasnya.

Natal patut kita rayakan sebagai wujud dari cinta kasih Allah yang mau mengambil rupa manusia agar manusia mengerti bahasa cinta kasih-Nya. Natal perlu kita rayakan bukan dengan pesta pora di tengah-tengah pergumulan dan penderitaan sesama. Natal bukanlah cara kita melampiaskan ego konsumeritas kita dengan aji mumpung. Ya, mumpung musim diskon akhir tahun. Natal adalah saat komitmen hidup baru itu terus mengalami pembaruan. Natal saat kita sama seperti Allah yang berbelarasa terhadap penderitaan umat manusia. Natal adalah menghadirkan diri dalam keugaharian, peduli dan mau membuka tangan bagi mereka yang tersisihkan.

Selamat merayakan Natal dalam keugaharian....

Jumat, 22 Desember 2017

SUKACITA UNTUK SELURUH BANGSA



"Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia." (Lukas 2:1)

Kalimat pembuka dari kisah kelahiran Yesus menurut Lukas menyiratkan bahwa kelahiran Yesus terjadi dalam sejarah umat manusia, yakni pada masa Agustus menjadi kaisar Romawi (30 SM - 14 M). Zaman ini ditandai dengan "kedamaian", yang dikenal dengan istilah Pax Romana. Sayangnya keadaan damai yang dimaksudkan bukanlah damai yang penuh sukacita. Namun, buah penindasan keras yang dicanangkan oleh penguasa Romawi. Singkat kata, kedamaian itu merupakan pembungkaman dan penindasan atas segala perbedaan pendapat, apalagi perlawanan terhadap penguasa. Karen Amstrong dalam bukunya, Fields of Blood mengungkapkan kekejaman penguasa Romawi itu; setiap bentuk perlawanan apa pun menjadi pembenaran bagi pembantaian habis-habisan. Ketika mereka berhasil merebut sebuah kota, kata sejarawan Yunani Polybus, kebijakan mereka adalah "membunuh semua orang yang mereka temui dan tidak melepaskan siapa pun" - bahkan tidak binatang.

Polybius memahami bahwa tujuan dari kekejaman ini adalah "untuk menciptakan teror" atas warga bangsa taklukan. Biasanya itu berhasil, tetapi orang Romawi perlu waktu hampir dua ratus tahun untuk menjinakkan orang Yahudi Palestina! Sebagai bangsa yang terjajah, Yahudi-Palestina terus-menerus diperas melalui pungutan pajak. Konon pencacahan jiwa yang dilakukan kaisar Agustus salah satunya adalah untuk kepentingan pajak.

Yesus dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sedang trauma dengan kekerasan, intimidasi, penindasan dan penghisapan habis-habisan. Pemberontakan setelah kematian Herodes terjadi pada tahun kelahiran-Nya dan Ia dibesarkan di kampung yang bernama Nazareth. Selama hidup-Nya, Galilea diperintah oleh Herodes Antipas, yang membiayai program pembangunan mahal dengan mengenakan pajak berat kepada warga Galilea. Gagal bayar dihukum dengan perampasan dan penyitaan tanah, dan praktik ini telah menggelembungkan kepemilikan lahan aristokrat Herodian.

Berita sukacita apa yang paling pas buat mereka yang sedang dalam tekanan, penindasan, dan kekerasan yang dilakukan penguasa Romawi ini? Ya, mungkin kita berpikir seperti Yudas Makabeus: lawan dan hancurkan! Penghancuran musuh dengan kekuatan yang lebih besar adalah berita sukacita! Bukankah itu yang menjadi pengharapan bagi setiap bangsa yang sedang tertindas? Cobalah Anda telisik ke dalam hati Anda manakala sedang terluka, disakiti, ditekan, dianiaya dan Anda tidak punya power untuk menghadapinya. Pada situasi kondisi seperti ini apa yang paling Anda dambakan? Hampir semua orang bermimpi akan hadirnya sosok super hero yang akan memusnahkan si penindas itu. Super hero, itulah berita sukacita!

Namun sayangnya, kelahiran Yesus bukan kelahiran "super hero" tipe itu. Benar, dalam pelayanan-Nya kelak Ia akan berhadapan dengan para penguasa Romawi yang berkolaborasi dengan elit Yahudi. Namun, tidak ada bukti Ia mengajak pengikut-Nya untuk memberontak terhadap penguasa Romawi tetap berdiri kokoh. Yang Ia bawa bukanlah pemberontakan a la Yudas Makabeus itu. Sebab, kalau ini yang dilakukan ibarat menghukum si pencuri dengan memotong tangannya, karena menganggap yang berdosa itu adalah tangan. Atau mencukil mata karena melihat yang tidak pantas dilihat. Dalam pandangan Yesus, tangan dan mata bukan yang pertama-tama dan terutama yang bertanggung jawab atas dosa. Tangan dan mata hanya alat, kehendak dan "aktor" utamanya ada jauh tersembunyi, yakni di kedalaman hati manusia!

Demikian juga dengan kekerasan, kekejaman, intimidasi, pemusnahan dan sejenisnya, ini semua bukan aktor utamanya. Sumber segala kelaliman yang sesungguhnya adalah  nafsu yang ada dalam diri manusia! Segala bentuk kejahatan, kekejaman, pembunuhan dan pemusnahan tidak pernah akan benar-benar musnah ketika dilawan dengan kekejaman, pembunuhan dan pemusnahan lagi. Lihatlah, bukankah sejarah membuktikan ini? Bangsa yang tertindas berpotensi menindas ketika punya kesempatan berkuasa. Hitler berusaha menampilkan Jerman sebagai ras paling unggul di dunia. Mereka membantai umat Yahudi, korbannya lebih dari 6 juta orang Yahudi terbunuh. Namun, apa yang terjadi berikutnya dengan bangsa Yahudi sekarang? Dapatkah mereka berbelarasa dengan Palestina? Tidak mudah menjawabnya!

Jadi jelas, super hero bukanlah berita sukacita yang benar-benar dibutuhkan manusia! Jika demikian apa yang ditawarkan dari berita Natal? Sukacita apa? Kelahiran Yesus tidak mengusir bangsa Romawi dari negara itu. Ia menyuarakan Kerajaan Allah telah datang di dalam diri-Nya. Kerajaan yang dibawa-Nya berdasarkan keadilan dan kesetaraan, terbuka buat semua orang - terutama mereka yang disingkirkan oleh penindaasan sesamanya.

Kerajaan Allah yang tampil dalam diri Yesus menantang kekejaman Yudea Romawi dan Galilea Herodian dengan menyajikan kehendak Tuhan lebih dekat, "Di bumi seperti di Sorga." Mereka yang takut berutang harus melepaskan orang lain dari utang; mereka harus mencintai sesamanya seperti diri mereka sendiri bahkan terhadap musuh sekalipun. Para pengikut Yesus harus hidup dengan berbela rasa seperti Yesus sendiri, memberi dengan murah hati kepada semua, dan menahan diri dari penghakiman dan pengutukan! Ini sebenarnya yang dibutuhkan oleh semua orang. Berita sukacita yang bukan semata isapan jempol atau semu. Bayangkan jika hati semua orang dipenuhi dengan kesetaraan, keadilan, kebenaran dan bela rasa, maka sukacita yang sesungguhnya menjadi sebuah keniscayaan.

Apa yang sekarang sedang dihadapi dunia? Tidak jauh berbeda dengan ketika Kaisar Agustus berkuasa. Semangat primordial, keserakahan, penaklukan dan penindasan terus terjadi. Banyak dari kita tergoda untuk mengutuki, memerangi bahkan berandai-andai menjadi seorang atau sebagai bangsa digdaya yang akan menumpas segala bentuk kelalilman itu. Namun, dapatkah keadilan dan kebenaran itu tegak berdiri setelah kita atau kelompok kita berhasil menaklukkan apa yang kita maksud dengan kelalilam itu? Bukankah dalam posisi itu kita sangat berpotensi menjadi monster baru yang menindas orang atau kelompok yang berbeda dari kita?

Natal adalah berita sukacita yang pertama-tama disampaikan Malaikat kepada para gembala di padang. Berita itu sederhana namun menukik tajam ke dalam jantung peradaban manusia. Berita itu sederhana, "Jangan takut!". Tidak ada orang yang terbebas dari rasa takut. Ada banyak alasan untuk kita menjadi takut. Dalam batas-batas tertentu ketakutan itu menolong kita bertindak hati-hati, misalnya: takut sakit, maka kita merawat tubuh dengan baik; takut sengsara, kita akan bekerja dengan sungguh-sungguh. Namun, ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan yang begitu rupa menguasai diri sehingga kehidupan kita menjadi pesimis dan merasa terancam. Malaikat itu memberi alasan untuk tidak takut, "sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud."(Lukas 2:10,11). Yesus itulah jawaban dari segala ketakutan dalam arti Ia bukan mengambil alih tanggungjawab manusia, lalu dengan serta merta melenyapkan semua sumber ketakutan manusia. Bukan itu! Ia lahir agar manusia mempunyai kedamaian di hati dan memampukan mereka yang menyambut-Nya dapat melihat bahwa tangan Allah menopang dan memampukan untuk menghadapi segala realita kehidupan ini!

Para gembala itu kembali ke tempat mereka bekerja. Mereka tetap sebagai gembala, menempati strata terendah dalam tatanan sosial masyarakat pada zamannya. Mereka tidak termotivasi memberontak terhadap penguasa yang menindas. Namun, ada sesuatu yang berubah. Mereka kembali dengan bersukacita. Perjumpaan dengan Yesus di malam Natal itu bukan meninabobokan para gembala untuk tetap tertindas dan terus menjadi gembala. Melainkan, meneguhkan mereka bahwa seorang jelata pun dikasihi Tuhan maka selayaknyalah cinta kasih itu ditularkan kepada sesama.

Berita sukacita Natal akan tetap relevan di sepanjang zaman ketika kita menyambutnya dalam hati kita dan mendorong kita untuk melakukan kepedulian terhadap sesama. Mengasihi dengan tulus, berbagi dengan gembira dan menolong tanpa pamrih seperti yang dilakukan Yesus sendiri. Selamat Hari Natal, Selamat Bersukacita!

Jakarta, Natal 2017