Captatio benevolentiae. Itulah gaya bicara santun, kata-katanya
diatur menawan dan cenderung memuji lawan bicara. Namun, sesungguhnya racun
mematikan di balik kata-kata manis itu sedang ditebarkan. Jebakan! Orang-orang
Farisi dan para pendukung Herodes menggunakan captatio benevolentiae terhadap Yesus. Lihat, kata-kata mereka,
"Guru, kami tahu, Engkau seorang
yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada
siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka." (Matius 22:16).
Bagaimana jika Anda disanjung dengan kalimat seperti ini? Wow, pasti melambung!
Kelompok Farisi, mewakili
salah satu partai keagamaan terpenting Yahudi. Mereka sangat konservatif dan
tidak senang dibebani untuk membayar pajak kepada penguasa asing; Kaisar Roma. Sedangkan
para pendukung Herodes bukanlah
partai keagamaan. Dari sebutannya jelas, mereka adalah pendukung dinasti
Herodes yang lazim disebut kaum Herodian. Dengan demikian mendukung pula kuasa
Roma di Palestina. Jadi sebenarnya dua kelompok yang berusaha menjebak Yesus
ini mewakili dua sikap yang bertentangan. Yang satu tidak senang akan tekanan
Roma dan yang lain mendukungnya. Namun, mengherankan yang bertentangan ini bisa
bersatu untuk menjebak Yesus.
Membayar pajak kepada Kaisar,
itulah yang menjadi bahan jebakan untuk Yesus. Persoalan membayar pajak di mana
pun dan kapan pun menjadi persoalan pelik, bahkan ketidaksukaan. Maka sering
terjadi kasus-kasus orang berkelit atau mengemplang pajak, memanipulasi laporan
pajak dan menyuap petugas pajak. Pokoknya kalau bisa dihindari, ya dihindari.
Kalau tidak bisa, dibuat laporan-laporan fiktif atau bayar di bawah meja!
Orang-orang Yahudi merasa
dibebani dengan berbagai macam pajak. Rupanya, bukan hanya saat sekarang saja
kita dikenakan berbagai macam pajak: ada pajak penghasilan, pajak kendaraan
bermotor, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah,
dan lain sebagainya. Orang Yahudi pada masa itu juga dikenakan pelbagai jenis
pajak. Ada pajak yang dipungut oleh penguasa Romawi, ada pajak yang dipungut
oleh penguasa lokal, dan ada juga pajak yang dipungut oleh otoritas Bait Allah.
Oleh karena itu, berbicara soal pajak adalah soal sensitif. Bisa saja karena
sensitivitasnya sangat tinggi, maka persoalan pajak inilah yang dipakai untuk
menjerat Yesus.
Kelompok Farisi dan pendukung
Herodes ini bertanya tentang pendapat Yesus, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"
Di balik pertanyaan ini ada persoalan rumit. Andaikata Yesus menjawab tidak boleh, Ia akan berhadapan langsung
dengan penguasa Romawi yang menetapkan pajak harus dibayar oleh orang-orang
Yahudi sebagai pihak yang terjajah. Kita bisa membayangkan, kelompok pendukung
Herodes ini akan maju di garda terdepan dan mendakwa Yesus sebagai pemberontak
Kaisar. Sebaliknya, jika saja Yesus menjawab boleh, orang banyak yang pada waktu itu menyaksikan perdebatan ini
akan segera berkata, "Inikah Mesias? Bukankah Mesias harus membebaskan
bangsa kita dari kaum penjajah kafir? Mengapa dia justeru mengizinkan kita
membayar pajak kepada Kaisar, bukankah dengan begitu kita akan melanggengkan
kekuasaan Kaisar?
Yesus sangat sadar dengan
jebakan ini. Maka Ia tidak mau langsung menjawab. Yesus meminta mereka
memerlihatkan mata uang pajak yang mereka persoalkan. Mereka ternyata membawa
mata uang perak Romawi, yaitu denarius,
lalu menunjukkannya kepada Yesus. Pada zaman Yesus, mata uang itu bergambar
Kaisar Tiberius, dilingkari dengan tulisan "Tiberius, Kaisar, Putra
Agustus yang Ilahi'. Yesus bertanya kepada mereka perihal gambar dan tulisan
siapa yang tertera pada mata uang itu. Tampaknya, mereka tidak bisa mengelak
dan mau tidak mau harus menjawab, "Gambar
dan tulisan Kaisar!" Dengan begitu, mereka juga mengakui bahwa mereka
memakai apa yang menjadi kepunyaan Kaisar. Dengan demikian pertanyaan mereka
sudah terjawab. Yesus hanya menegaskannya, "Berikanlah (kembalikanlah) kepunyaan Kaisar kepada Kaisar,...".
Ini mengandung dua arti: Pertama,
Berikanlah kepada Kaisar apa yang dimintanya dari kalian - dalam hal ini: pajak
- sebagai penguasa. Untuk sementara, Allah telah memberikan kuasa kepada Kaisar
Roma, maka Kaisar harus dihormati. Pemahaman ini kental dalam Perjanjian Lama
(orang Farisi pasti memahaminya) bahwa segala jeni kuasa akhirnya berasal dari
Allah. Kedua, Yesus hendak mengatakan
bahwa diri-Nya bukan Mesias yang melaksanakan tugasnya dengan jalan merebut
kuasa politik lalu menggantikan Kaisar.
Jawaban Yesus tidak berhenti
di situ. Ia menggunakan kesempatan ini dengan mengajarkan, "(kembalikanlah) kepunyaan Allah kepada
Allah." Dalam kesejajaran dengan kalimat pertama, yakni menyerahkan
apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar, kalimat kedua menjadi tekanan dan
puncak sebuah pernyataan. Maksudnya, bukan bahwa di samping kepunyaan Kaisar
ada hal-hal lain yang menjadi kepunyaan Allah. Yesus tidak sedang mensejajarkan
Kaisar dengan Allah. Tidak! Segala-galanya di dunia ini, termasuk Kaisar itu sendiri
adalah milik Allah, diciptakan oleh Dia dan membawa "cap"-Nya; maka
harus dikembalikan kepada-Nya. Caranya? Menurut ajaran Yesus, menggunakannya
sesuai dengan maksud dan kehendak Allah. Mengembalikan kepada Allah apa yang
menjadi kepunyan Allah, adalah sama dengan melakukan kehendak Allah atau
mendahulukan mencari Kerajaaan-Nya (Matius 6:33). Dan Kerajaan Allah itu jelas
mewujud dalam diri-Nya!
Serahkanlah kepada Allah apa yang dari Allah, adalah desakan untuk
menyambut Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus serta mengakui kemesiasan-Nya.
Kerajaan Allah tidak bersaing dengan kerajaan Kaisar. Oleh karena itu kita
tidak boleh membandikan kuasa Kaisar dengan Kuasa Allah; keduanya berbeda.
Mesias datang ke bumi tidak untuk mengambil kuasa Kaisar, lalu menjadikan
diri-Nya mesias politik-religius. Ia datang untuk menegakkan Kerajaan Allah.
Maka, jawaban Yesus harus dipahami dalam terang kata-kata yang dicatat Yohanes
18:36, "Kerajaan-Ku bukan dari dunia
ini.". Tatanan-tatanan politik berkait erat dengan kebebasan manusia,
sehingga penyempurnaannya harus terus diupayakan. Tetapi, misi Yesus tidak
pernah bertujuan sesempit itu! Yesus mau membebaskan manusia bukan hanya dari
tekanan politik Kaisar (sebagai mujud dari ambisi keserakahan manusia). Namun,
Yesus mau membebaskan manusia dari belenggu dan perbudakan yang bercokol dalam
hatinya untuk membukanya bagi kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia.
Jawaban Yesus bukanlah jawaban
orang yang pandai berkelit dari jebakan lawan dengan kata-kata manis mereka.
Namun, melalui persoalan pelik ini, justeru Yesus mengajarkan makna esensi dari
ajaran-Nya bahwa, setiap orang harus tahu dan mengerti tugas dan tanggungjawab
yang dipercayakan Allah kepada-Nya. Manusia mestinya memiliki kesadaran bahwa kehidupannya
di bumi ini bukanlah miliknya sendiri, melainkan pemberian dari Allah.
Menyadari ini, jika saja apa yang dianggap menjadi milik Kaisar, harus
dikembalikan kepada Kaisar, apalagi yang kita yakini sebagai milik Allah
mestinya harus sepenuhnya dikembalikan bagi kemuliaan nama-Nya. Tidak ada apa
pun yang melekat pada diri kita adalah hak milik kita. Semua dari pada-Nya,
semua adalah pinjaman dan pemberian, maka pada akhirnya harus dikembalikan.
Dengan cara bagaimana? Berkarya sebaik-baiknya di dunia ini, bukan untuk
kemuliaan dan keuntungan sendiri, melainkan bagi Dia Sang Penguasa
sesungguhnya!
Jadi, jangan diplintir: ajaran
Yesus ini utamanya bukan boleh tidaknya membayar pajak kepada penguasa,
melainkan tentang apa yang harus kita lakukan bagi kemuliaan-Nya.