Raja berpesta, sudah tentu
yang diundang adalah kerabat kerajaan, kaum ningrat dan orang-orang terhormat.
Namun, ada kalanya juga raja ingin berpesta bersama dengan rakyatnya. Membaur
bersama mereka agar si jelata dapat menikmati kegembiraan. Siapa sih yang tidak antusias bila diundang pesta
oleh raja?
Pasti pada umumnya orang merespon positif undangan itu. Bahkan
jauh-jauh hari menyiapkan pakaian, sepatu dan tak lupa kamera siapa tahu punya
kesempatan berswaphoto bersama raja atau tamu undangan terhormat lainnya. Pastilah
momen itu sangat dinantikan.
Yesus pernah bercerita tentang
seorang raja yang hendak menggelar pesta pernikahan buat anaknya (Matius
22:1-14). Tentu, segalanya disiapkan dengan baik termasuk menyebar undangan kepada
banyak orang. Namun, alih-alih antusias, dengan pelbagai alasan, orang-orang
yang diundang itu menolaknya. Raja tampaknya tidak berputus asa, ia kembali
mengutus para hambanya untuk mengingatkan mereka yang telah diundang itu dengan
mengatakan bahwa hidangan telah disediakan, lembu jantan dan ternak piaraan
telah dipotong dan pastinya acara yang disajikan sangat-sangat meriah. Lagi-lagi, para undangan tidak mau
datang. Mereka menolak dengan alasan mengurus kepentingannya masing-masing. Ada
yang pergi ke ladang dan ada juga yang mengurus usahanya. Yang mengherankan
malah ada yang menangkap dan menyiksa utusan raja itu kemudian membunuhnya.
Entah kenapa anomali ini terjadi?
Tentu raja sangat marah dengan
penolakan dan perlakuan mereka yang diundang itu terhadap hamba-hambanya. Dalam
kemurkaannya, sang raja menyuruh pasukannya untuk membinasakan para penganiaya
itu dan kemudian membakar kotanya. Setelah itu sang raja mengundang semua orang
yang dijumpai di persimpangan-persimpangan jalan. Para utusan raja diminta
untuk memberikan undangan itu kepada semua orang yang dijumpai; orang jahat
maupun orang baik sehingga ruang pesta itu menjadi penuh dengan tamu.
Ketika raja bergabung dengan
para tamu, ia melihat ada seorang yang tidak mengenakan pakaian pesta. Lalu
raja itu berkata kepada para hambanya, "Ikat kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan
yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi."(Matius
22:13).
Dalam konteks kita hari ini,
cerita ini banyak kejanggalan. Bisa saja kita bertanya, "Masa iya sih, raja mengadakan pesta tetapi
rakyatnya menolak." Atau, "Apakah mungkin persiapan pesta sudah
begitu optimal, hidangan pesta telah tersedia di meja tapi kemudian raja keluar
untuk berperang dan membakar semua kota?" dan "Mana mungkin
gelandangan di pinggir jalan mempunyai pakaian pesta? Koq tampaknya kejam amat, orang yang tidak punya gaun pesta ini
harus dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap dan siksaan abadi?"
Ingatlah ini adalah cerita
perumpamaan. Dalam tradisi budaya Yahudi, perjamuan sering digunakan sebagai
metafor Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga. Perjamuan yang indah mengungkapkan
kebersamaan, kegembiraan dan damai sejahtera umat dalam Kerajaan Allah. Jadi
memang benar terasa mengherankan atau janggal, mengapa banyak orang yang
diundang dalam "pesta" itu justeru menolaknya. Penolakan itu biasanya
terjadi kalau seseorang dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya di
depan pengadilan. Seorang koruptor atau penjahat politik selalu saja punya
alasan untuk tidak hadir di pengadilan. Namun, jarang sekali mereka mangkir dalam
acara-acara hajatan orang-orang terhormat. Tidak diundang pun mencari celah
bagaimana cara bisa berada di tengah-tengah orang terpandang.
Namun, inilah realita yang
terjadi dengan orang-orang Israel, mereka yang lebih dahulu dipilih Allah untuk
menjadi bangsa yang istimewa. Mereka dikhususkan agar melalui mereka
bangsa-bangsa lain mendapatkan berkat. Dalam perumpamaan ini, merekalah yang
dimaksud dengan penerima undangan itu untuk yang pertama kalinya. Namun, justeru
mereka menolak untuk datang. Mereka kehilangan antusiasme terhadap undangan itu
karena tenggelam dalam urusan dan kepentingan sendiri. Mereka mengenal Taurat
dan penjabarannya secara detil. Mereka asyik memakainya untuk mendandani diri
agar kesalehan mereka terlihat anggun dan mentereng. Kesenangan pribadi itu
mengalahkan orang akan panggilan yang maha penting untuk merayakan kehidupan
bersama yang membahagiakan.
Hal serupa bisa terjadi dengan
kita. Menolak undangan Sang Raja - yang sebenarnya untuk kebaikan kita sendiri
- karena kita sibuk dengan "kebun anggur" kita. Kita sibuk dan kuatir
terhadap makanan dan pakaian serta masa depan kita sehingga tidak ada lagi
waktu tersisa untuk bersekutu dengan-Nya. Kita sibuk dengan "ladang"
dan "lembu" kita, dengan bisnis kita. Padahal, bisa jadi bisnis yang
sedang dijalani kini adalah buah doa di masa lalu. Banyak cerita tentang hal
ini: Seseorang ketika kesulitan ekonomi berdoa dan memohon agar Tuhan
memberikan pekerjaan yang layak. Eh ternyata, setelah kariernya bagus, usahanya
lancar, kini ia tenggelam di sana. Ada yang menegur dan mengingatkan
dipandangnya sebelah mata. Satu dua kali ia mengabaikan "undangan"
atau teguran itu. Lama-kelamaan ia memusuhi orang yang mengingatkannya dan
berusaha memutus kontak.
Tidak hanya mereka mengabaikan
panggilan Sang Raja. Namun lebih jauh dari itu mereka menganiaya dan membunuh
orang-orang yang diutus oleh Sang Raja itu. Tentu saja Raja akan membuat perhitungan
dengan orang-orang ini. Dalam kehidupan masa kini, mungkin saja jarang terjadi
seseorang menganiaya atau membunuh karena mengingatkan "menyampaikan
undangan Sang Raja". Namun, bukankah dalam batas-batas tertentu kita bisa
lepas kontrol. Kita menjadi tidak suka dan akhirnya menyebarkan hal-hal yang
tidak benar, dan itu berarti membunuh karakter orang baik lantaran kita tidak
suka!
Kini, sangat mungkin kita
menjadi bagian dari yang akhirnya "diundang Sang Raja" itu. Undangan
Perjamuan Sang Raja ditolak Israel dan akhirnya disebar untuk semua orang. Umat
Allah yang lama dapat menolak tetapi tidak dapat menggagalkan rencana
keselamatan Allah. Semua orang dari segala bangsa dipanggil melalui misi
gereja. Sampailah undangan itu kepada kita sebagai orang yang dulunya oleh umat
Israel dipandang sebagai bagian dari bangsa kafir. Kita merespon undangan itu
dan pergi ke Pesta Perjamuan Raja. Dalam perumpamaan itu, sayangnya ada seorang
yang tidak mengenakan pakaian pesta. Sungguh malang nasib orang ini. Ia dicampakkan
ke dalam siksaan yang mengerikan!
Orang yang datang ke dalam
Pesta Perjamuan Raja namun tidak mengenakan pakaian pesta seumpama anak dalam
cerita perumpamaan sebelumnya yang menjawab "Ya" untuk bekerja di
ladang ayahnya namun ternyata tidak melakukannya. Lewat perumpamaan ini, Injil
Matius mau menyampaikan kepada mereka yang sudah menerima Injil, yaitu
komunitas pengikut Yesus. Mereka harus waspada supaya jangan berpikir sama
seperti pola pikir orang-orang Israel pada masa itu, yakni bahwa karena mereka
sudah dipanggil maka otomatis mereka akan selamat. Ternyata masih ada seleksi.
Tidak cukup mengakui nama Yesus untuk dapat password
masuk ke dalam komunitas-Nya. Pengikut Yesus harus mengenakan "pakaian
pesta" atau dalam bahasa Wahyu 7 disebut dengan "jubah putih",
artinya melaksanakan dengan sepenuh hati karya yang diajarkan dan dicontohkan
oleh Yesus. Jadi tepatlah apa yang dikatakan Yesus, "Bukan orang yang
berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan
dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga."(Matius 7:21).
Jika saja untuk sebuah kenduri
dari kerabat kita, beberapa waktu lamanya kita akan disibukkan dengan pelbagai
persiapan termasuk gaun atau pakaian pesta yang akan dikenakan nanti. Tentunya,
sesuai dengan anggaran, kita memilih bahan dan penjahit yang terbaik. Sehingga
pada saatnya pesta nanti kita akan tampil dengan baik. Sekarang, melalui kisah
perumpamaan ini kita diingatkan. Apakah kita sudah menyiapkan gaun atau
"pakaian pesta" kita? Apakah kita sudah merancang dan mengerjakannya?
Jangan-jangan kita abai dengan itu semua!
Jakarta, Okt - Friday The 13th'
2017