Tersebutlah seorang murid
Konfusius terkemuka. Ia sudah berumur 80 tahun, dan dipercaya tidak ada seorang
pun di daratan China yang bisa menyamai kepakarannya dalam pengetahuan dan
pemahaman ajaran Konfusius. Hari itu, ia mendengar bahwa di suatu tempat yang
benar-benar jauh dan terpecil telah muncul ajaran atau doktrin baru.
Orang-orang banyak membicarakannya bahwa doktrin itu lebih canggih dari apa
yang diajarkannya. Hal ini membuat si pakar Konfusius ini menjadi gusar dan
kesal. Dia kehilangan semangat hidup. Kegundahannya memaksa dia untuk
menyelesaikan dengan cara apa pun.
Sang pakar yang tidak muda
lagi ini memutuskan untuk menempuh perjalanan panjang, melintasi wilayah yang
bermil-mil jauhnya untuk bertemu dengan si pengajar doktrin baru itu. Setelah
sekian lamanya menempuh perjalanan maka sampailah dia di depan sang pengajar
doktrin baru itu. Segera saja ia meminta sang guru itu untuk menjelaskan
doktrin baru temuannya itu. Sang guru itu menjawab, "Tuan yang terhormat,
ajaran yang kami sebarkan sangatlah sederhana. Tidak sulit apalagi rumit.
Biasanya kami ringkas dalam sebuah kalimat, 'Hindari berbuat jahat, lakukan
perbuatan baik sebanyak mungkin'. Itulah inti doktrin yang kami ajarkan!"
Mendengar jawaban itu,
berkobarlah amarah sang cendekiawan sepuh itu, lalu katanya, "Apa maksud Anda?
Saya datang jauh-jauh ke sini menghadapi mara bahaya dan ancaman menempuh
perjalanan maut yang panjang di usia saya yang renta. Dan Anda hanya mengutip
kata-kata sederhana yang bahkan anak umur tiga tahun pun hafal kata-kata itu!
Anda mengejek saya?"
Sang guru itu dengan sangat
sopan menjawab, "Saya tidak sedang mengejek Tuan. Tapi itu betul ajaran
dan apa yang sedang kami hidupi adalah itu. Tolong jangan emosi dulu, pikirkan
baik-baik: Meskipun kalimat itu mudah diucapkan, bahkan setiap anak umur tiga
tahun dapat dengan mudah menghafalnya, tetapi bisa saja orang umur delapan
puluh tahun pun gagal untuk melakukannya!"
Berbicara, menghafal, mengerti
dan memahami bisa saja jauh panggang dari api dengan prilaku hidup. Perkataan
dan ajaran yang kita pegangi bisa jadi berbeda dengan apa yang kita lakukan. Coba
kita renungkan: Dalam beberapa minggu ini ketika kita mengikuti khotbah-khotbah
leksionari tahun A (Injil Matius), telah banyak diajar dan diingatkan kembali
tentang ajaran dan teladan dari Kristus. Minggu lalu kita diajak untuk
bersyukur dan tidak iri hati dengan anugerah Tuhan untuk orang lain. Minggu
sebelumnya, kita diingatkan untuk mengampuni sesama kita yang telah melukai
kita. Bukan tujuh kali tetapi tujuh puluh kali tujuh kali. Nah, coba kita jujur
dengan diri sendiri - jangan lihat orang lain - benarkah dengan sekuat tenaga
kita melakukan firman itu?
Yang mengherankan sering kali
kita merasa tidak bermasalah bahkan aman-aman saja ketika tidak melakukan
firman itu dengan baik. Sebagian orang Kristen tetap yakin bahwa prilaku mereka
dalam kehidupan sehari-hari tidaklah berpengaruh terhadap janji keselamat dari
Tuhan. Tidak sedikit orang Kristen melakukan tindakan korupsi, manifulasi
pajak, curang dalam berbisnis, menyuap agar mendapatkan proyek, melakukan
tindakan kekerasan dan banyak lagi yang sejenis dengan itu. Sementara dirinya
merasa bahwa hal-hal itu bukanlah perkara yang dapat membatalkan keselamatan.
Ternyata Allah tidak menghendaki sikap nyaman seperti ini. Allah menuntut
pertanggungjawaban atas setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Yehezkiel
mengecam cara berpikir orang Israel yang selalu mengaitkan eksistensi mereka
dengan leluhur (Yehezkiel 18). Mereka yakin sebagai bangsa pilihan Allah, umat
yang diistimewakan Allah. Pastilah Allah akan selalu berpihak kepada mereka
terlepas dari apa yang mereka lakukan!
Demikian juga dengan Yesus. Ia
menegur para pembesar Yahudi yang merasa diri paling benar, paling ahli dalam
pengetahuan tentang ajaran agama. Namun, kenyataannya minim sekali untuk
dilakukan bahkan bertentangan dengan esensi ajaran yang mereka pegangi. Yesus
menegur mereka dengan kisah perumpamaan seorang bapak yang mempunyai dua anak
laki-laki (Matius 21:23-32). Kedua anak itu dimintanya untuk bekerja di kebun
anggur. Anak pertama menyatakan kesediaanya dengan menjawab, "Ya"
atas permintaan bapaknya ini. Sedangkan sang adik dengan tegas mengatakan,
"Tidak!" Namun, apa yang terjadi kemudian? Jawaban "Ya"
dari anak yang pertama ternyata dalam praktiknya tidak dikerjakan. Ia tidak
pergi ke kebun anggur ayahnya itu! Anda bisa bayangkan jika punya anak di depan
kita baik-baik namun kenyataannya sebaliknya.
Bagaimana dengan anak kedua?
Jawaban yang diberikan sangat menyakitkan. Ia menolak permintaan bapaknya.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Anak ini menyesali akan kata-kata yang
menyakiti ayahnya. Kemudian ia berubah pikiran. Kini ia kembali ke kebun anggur
ayahnya dan mengerjakan tepat seperti yang diingini sang ayah.
Perumpamaan ini menegaskan
kembali tema yang banyak diangkat oleh Injil Matius, yakni bahwa kehidupan beragama
bukan sekedar sibuk memoles kata-kata dengan sopan mengucapkan "Ya"
padahal nyatanya tidak dilakukan. Kehidupan beragama itu mestinya bermuara pada
pertobatan diri bukan sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Imam-imam kepada
yang berdebat dengan Yesus menjadi representasi dari anak pertama dalam cerita
perumpamaan itu. Mereka mendengar peringatan Yohanes Pembaptis yang menyerukan
pertobatan, tetapi tidak merespon dengan baik. Alih-alih berubah pikiran,
mereka malah memusuhi dan sibuk mencari alasan untuk menyingkirkan baik Yohanes
Pembaptis maupun Yesus. Tentu saja sikap ini sangat kontras dengan mereka yang
diberi label "pendosa". Mereka ini adalah pemungut cukai, pezinah,
pencuri, dan semua pelanggar Hukum Taurat. Namun, kemudian mereka menyesal dan
percaya kepada Yesus. Mereka bertobat, berhenti dari keberdosaan mereka dan
sekarang memulai hidup yang baru. Hidup yang mengerjakan kehendak Allah. Percis
seperti anak kedua yang semula menolak permintaan ayahnya. Namun, kini kembali
menggarap kebun anggur itu!
Sejarah Kitab Suci mengajarkan
bahwa bukan karena keturunan tertentu atau merasa diri umat istimewa kemudian
dapat mengecualikan untuk tidak melakukan kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh.
Malah sebaliknya, Tuhan meminta untuk setiap orang yang telah mengenal-Nya
dengan baik harus memerhatikan hidup jauh lebih baik lagi. Sebaliknya, bisa
saja pada mulanya kita tidak menyukai ibadah dan pengenalan akan Tuhan. Kita
hidup dalam dan menikmati dosa. Ingatlah bahwa bagi Tuhan tidak ada kata
terlembat untuk bertobat. Bagaikan bapa dalam perumpamaan Anak yang Hilang, Ia selalu menantikan orang-orang berdosa untuk
kembali kepada-Nya. Bagi Dia tidak ada dosa yang paling besar untuk diampuni.
Selalu ada pintu terbuka untuk setiap orang yang ingin kembali kepada-Nya.
Jangan sia-siakan waktu yang ada, sebab kita tidak tahu batas sang waktu untuk
kita itu kapan!
Jakarta 28 September 2017