Baru-baru ini lembaga pemberi
peringkat utang ternama dunia yang bermarkas di Amerika Serikat mendapat
sorotan tajam. Tiga lembaga pemeringkat utang, Standard and Poor's (S&P), Fitch Rating, dan Moody's Investor Service tidak berani
mengkritisi utang negara adidaya itu. Sampai Agustus tahun ini, utang Amerika
Serikat 19,9 triliun dollar AS. Dua lembaga pemeringkat utang (S&P dan
Moody's Investor Service) hanya berani menurunkan dari peringkat "AAA"
(pengutang "ektrim kuat" untuk membayar) menjadi hanya "AA"
(pengutang "sangat kuat" untuk membayar). Sedangkan Fitch Rating
mengeluarkan catatan, "Jika pagu utang tidak dinaikan, maka kode
"AAA" mungkin tidak cocok lagi."
Sebaliknya, sikap
lembaga-lembaga pemeringkat ini sangat berbeda dan cenderung keras terhadap
negara-negara berkembang. Sangat mudah bagi mereka memberikan penilaian,
teguran, kritikan pada utang negara-negara berkembang bahkan disertai dengan
catatan mudah "berpotensi default,
gagal bayar". Bandingkan dengan Indonesia yang diberi peringkat
"BBB" dengan utang sampai Januari tahun ini 320,28 milyar dollar AS, ini
tidak ada apa-apanya dibanding utang AS yang mencapai 19,9 triliun dollar AS.
Diamnya para pemeringkat utang
ternama itu sebenarnya bukan mereka tidak tahu, melainkan ada risiko ketika
bersuara. Namun, diamnya mereka telah membuat gelisah para ekonom Amerika
Serikat apalagi rezim Trump berusaha memenuhi janji politiknya - yang oleh
sebagian orang dinilai tidak rasional - , yakni mengurangi pajak. Hal ini justeru
menambah masalah, yakni defisit anggaran sebesar 3,5 triliun dollar AS! Mereka
yang tahu dari dalam pondasi ekonomi Amerika pasti gelisah, sebab jika terus
dibiarkan maka kebangkrutan tinggal menunggu waktu saja!
Banyak orang tidak mau
bersuara ketika berhadapan dengan risiko. Sebaliknya, ketika menguntungkan
dirinya tak segan-segan bersuara lantang meski tidak didukung data yang
memadai. Kita mudah menunjuk kesalahan orang atau kelompok lain, lalu
menghakimi dan mencela tetapi hal serupa tidak dilakukan terhadap diri sendiri!
"Menolak diam", tidaklah mudah ketika itu ditujukan terhadap sesama
dalam kalangan sendiri apalagi terhadap orang atau lembaga yang punya otoritas
lebih di atas kita padahal dengan diam justeru kita sedang turut mengali kubur
kematian.
Gereja Kristen Indonesia yang
berlatar belakang Tionghoa, punya budaya pay
seng kie, yakni perasaan enggan, sungkan atau tidak enak ketika harus
menegur seseorang ketika ia melakukan kekeliruan. Sedikit banyak budaya semacam
ini merata dalam kalangan masyarakat Timur. Biasanya kita percaya bahwa
waktulah yang akan menyelesaikannya. Kita diajari untuk tidak menciptakan
"kegaduhan". Sementara di pihak lain, kita menyadari bahwa sikap
demikian justeru sedang menyimpan bom waktu yang kita tidak tahu kapan saja
bisa meledak! Sebagaimana masyarakat Timur lainnya, Yahudi punya budaya semacam
itu. Namun, Kitab Suci mereka mengajarkan untuk menegur dan tidak mendiamkan
apa yang salah terus berlangsung. Demikian juga dalam bacaan Injil Minggu ini
(Matius 18:15-20), Yesus mengingatkan supaya kita menolak untuk diam ketika
menyaksikan apa yang salah itu terjadi.
"Elegxon!" kata Yesus. "Tegurlah!" dalam
konteks ini tidak berarti bahwa menegur itu dengan nada mencela. Menegur di
sini mengandung pengertian "yakinkanlah dia", dalam pengertian
"jelaskan dosanya" (bnd. Imamat 19:17). Elegxon
bermaksud bukan mencela atau memarahi seseorang karena dia telah melakukan dosa.
Kalau hanya mengkritik, menyalahkan, memaki, memarahi dan mencela merupakan
perkara mudah. Namun, menyadarkan, memberi tahu letak kesalahan seseorang lalu
memberikan dia kesempatan mengakuinya, serta dituntun kembali ke jalan yang
benar tentu bukan perkara mudah. Sebab, banyak orang yang melakukan kesalahan
atau dosa tidak menyadari bahwa yang dilakukannya itu adalah salah. Alih-alih sadar
akan dosanya, mereka merasa sedang berbuat baik atau sedang mengabdi kepada
Allah. Bukankah itu yang terjadi dengan para pemuka Yahudi yang menyalibkan
Yesus: mereka merasa sedang menegakkan syareat tauhid Yudaisme. Hari ini banyak
orang yang seperti itu: merasa benar di jalan yang salah. Lihatlah para pemotor
yang merasa benar sendiri bahkan lebih galak ketika melanggar rambu lalu-lintas
dan melawan arah. Tengoklah para koruptor yang merasa jadi pahlawan lantaran ia
telah menyumbang gereja atau lembaga sosial lainnya.
Banyak orang yang melawan arus
kebenaran justeru merasa sedang berbuat baik. Jelas bukan perkara mudah
menyadarkan dan menyakinkan orang-orang seperti ini. Perlu perjuangan bahkan
mungkin saja kita akan berjumpa dengan kesulitan dan penderitaan ketika
melakukan hal ini. Bagaimana ketika seseorang itu tidak dapat diyakinkan akan
kesalahannya oleh satu orang saja? Yesus mengajarkan perlu dipanggil satu, dua
orang lain untuk menambah kesaksian dan membantu menyadarkannya. Petunjuk ini
sesuai dengan apa yang tercatat dalam proses pengadilan (Ulangan 19:15). Namun,
apa yang diajarkan Yesus bukanlah proses pengadilan publik, melainkan usaha
perdamaian secara kekeluargaan. Bila tidak dapat diselesaikan juga, persolannya
diserahkan kepada jemaat (ekklesia).
Jelas maksudnya bukan menelanjangi dan memusuhi orang yang bersalah itu,
melainkan seluruh jemaat ikut bertanggungjawab untuk mendoakan dan mengajaknya
kembali kepada jalan yang benar. Yang Tuhan inginkan bukanlah pengucilan
apalagi binasanya orang berdosa, melainkan pertobatan (bnd. Yehezkiel 33:11).
Jika sampai pada tahap ini, ia
bersih kukuh dengan pendiriannya (kesalahan dan dosanya) maka pandanglah dia
sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Dalam seluruh rangkai proses peneguran
itu jemaat berfungsi seperti "penjaga Israel" di menara penjaga
(Yeh.33:1-20) yang memberi peringatan terhadap musuh. Mereka yang diingatkan
melalui sangkakala harus bangun dan bersiap-siap menghadapi musuh sebab kalau
tidak mereka akan binasa. Namun, ketika mereka memilih untuk tetap tidur dan
berleha-leha, hingga musuh datang dan mereka binasa, maka itu bukanlah kesalahan
penjaga, darahnya bukan lagi tanggungan si penjaga itu. Narasi ini mengajarkan
ketika kita memilih diam, sementara teman atau saudara kita melakukan dosa maka
kita dituntut bersalah di hadapan Tuhan. Memilih diam berarti turut berdosa!
Sebaliknya, ketika seluruh proses peneguran telah kita lakukan dan orang itu
memilih terus melakukan dosa, maka dalam hal ini "darahnya" menjadi
tanggungannya sendiri.
Pengikut Yesus harus ikut
bertanggung jawab atas semua saudara seiman yang melakukan kekeliruan. Pengikut
Yesus harus terlibat penuh dalam proses penyadaran seseorang dari kesalahannya.
Proses itu berbeda dengan memarahi, mencela, menggosipkan atau mengucilkan
orang yang bersalah. Proses itu bertujuan mendamaikan orang yang bersalah itu
pertama-tama dengan Allah dan kemudian dengan orang yang bersangkut paut dengan
dosanya. Langkah-langkahnya mungkin bertahap dan melelahkan, bisa saja yang
bersangkutan ngenyel, merasa benar
sendiri dan menuding orang lain penyebab dari kesalahannya. Dalam hal inilah
kita meminta hikmat dari Tuhan dan dalam hal ini pula kita harus memberi contoh
dan teladan yang baik. Sebab, tidak mungkin kita mengajak dan menunjukkan jalan
yang baik dan benar sementara kita juga masih senang hidup berkanjang dalam
dosa.
Perlu dingat pula bahwa usaha
pendamaian itu bukanlah kegiatan manusia semata. Dalam kesatuan dan permohonan
jemaat, tindakan pendamaian dibawa kepada Bapa dalam doa. Titik lemah kita
sebagai gereja biasanya hanya pandai berorganisasi, menunjukkan kesalahan orang
tanpa mau melibatkan Allah sebagai pemilik umat dan gereja-Nya.
Jakarta 06 September 2017