Kamis, 22 Juni 2017

PENGHARAPAN DI TENGAH RATAPAN

Pernahkah Anda menyesali mengapa harus dilahirkan ke dunia ini? Jawabnya bisa “Ya” dan bisa juga “tidak”, semua tergantung kepada pada yang kita alami dan memaknai setiap peristiwa itu. Ketika hidup kita diwarnai oleh kegembiraan dan “anggur sukacita” rasanya penyesalan atas hidup tidak mungkin terucap. Alih-alih mengutuki hari kelahiran, seperti Nabi Yeremia, kita akan merasakan waktu ini berjalan dengan sangat singkat! Ya, benar ketika kita merasakan kebahagiaan waktu terasa berjalan begitu cepat. Berbeda ketika penderitaan menerpa kita, sang waktu rasanya begitu amat lambat. 


Yeremia meratapi hari kelahirannya. Seolah ia menyesali keterpanggilan-Nya dalam misi Allah untuk menyelamatkan Israel. Yeremia dituduh sebagai orang yang melemahkan rasa nasionalisme bangsanya karena ia – tentu atas dasar firman TUHAN yang ia dengar – menyarankan agar bangsanya tunduk pada raja Babel. Ia menjadi bahan cemoohan, sudah tentu pula ada yang mendakwanya sebagai antek-antek asing dan penghianat bangsa. “Mestinya dia memotivasi setiap orang Israel untuk mengangkat senjata, berperang memertahankan kehormatan mereka, tetapi mengapa dia mengajak kita menyerah?” Begitu mungkin orang-orang Israel bergumam tentang aktivitas Yeremia. Tidak hanya sekedar cemooh, tuduhan, tetapi tindakan kekerasan fisik diterimanya. Yeremia pernah dipukul dan dimasukkan dalam perigi. Beberapa kali ia mengalami bahaya maut. Bukankah hal yang wajar kalau Yeremia menyesali dan berkelu- kesah atas tugas yang ia emban? Ternyata menjadi hamba-Nya justeru membawa Yeremia menjadi sulit. Namun, betul-betulkah Yeremia kecewa atas panggilannya, lalu meragukan dan menyesali hari kelahirannya?

Coba simak perkatan Yeremia setelah mengungkapkan semua kekecewaannya, Tetapi TUHAN menyertai aku seperti pahlawan yang gagah,…” (Yer.20:11). Boleh saja dalam prosesnya – sama seperti semua orang yang punya asa dan perasaan –  Yeremia kecewa, berkelu-kesah dan menyesali hari kelahirannya. Namun, dalam perjalannya bersama dengan TUHAN, ia merasakan bahwa TUHAN menyertai, memberi kekuatan bahkan kemenangan. Keyakinan dan pengharapan inilah yang membuat Nabi Yeremia tetap setia menyuarakan suara TUHAN di tengah segala ancaman dan bahaya maut sekalipun. Seberapa beratnya  tantangan, penderitaan dan aniaya ketika seseorang memiliki keyakinan dan pengharapan bahwa ia tidak sendiri dan mempunyai kekuatan maka ia akan tetap teguh berdiri untuk menyelesaikan tugasnya itu sampai tuntas! Seorang pelaut betapa pun ia melihat kelombang besar di hadapannya, namun ketika ia mempunyai keyakinan bahwa kapalnya itu mampu melewati badai dan ia mempunyai pengharapan akan adanya pelabuhan di balik badai itu maka ia tidak akan menyerah terhadap segala ketakutannya itu, melainkan ia akan terus berusaha menghadapi badai. Seorang petani akan terus menanam dan merawat tanamannya dengan baik meskipun di tengah cuaca yang tidak menentu oleh karena ia yakin di ujungnya nanti akan menuai hasil dari jeri lelahnya!

Selain kemampuan dan kepandaian, keyakinan dan pengharapan mutlak dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengerjakan sebuah misi. Murid-murid Yesus diutus untuk sebuah misi, yakni meneruskan pemberitaan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (Mat.10:7). Sebagai tandanya, mereka akan menyembuhkan orang sakit, mentahirkan orang kusta, mengusir Setan-setan, bahkan membangkitkan orang mati (Mat.10:8). Mereka telah menerima kuasa itu dari Yesus, kini mereka harus segera melaksanakan mandat itu!

Namun ternyata ladang tempat mereka diutus itu bukanlah tempat yang menyenangkan. “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,…” (Mat.10:16). Sejak dari awal Yesus mengingatkan sebuah kondisi yang sangat tidak aman apalagi nyaman bagi para murid untuk mereka bekerja. Mereka akan masuk dalam dunia “serigala”. Serigala-serigala itu bisa melukai, mencabik-cabik, bahkan memangsa! Untuk itu Yesus menguatkan mereka, “Jadi, janganlah kamu takut kepada mereka,…” (Mat.10:26). Berkarya sebagai utusan Tuhan itu sesungguhnya mengerikan, lihat saja pengalaman Yeremia. Namun toh akhirnya dia bisa mengatasinya. Rasa ngeri, takut dan gentar hanya bisa diatasi dengan keyakinan penuh bahwa Sang Pengutus itu pastilah tidak tinggal diam. Sang Pengutus itu mengatakan bahwa si penganiaya itu paling banter hanya dapat membinasakan tubuh tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa.

Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat.10:28). Terdapat kontras yang tajam antara apa yang dapat dilakukan oleh manusia “ia hanya dapat membunuh” dan apa yang dapat dilakukan oleh Allah, yakni: “dapat membinasakan!” Kata tubuh biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi dalam arti manusia seluruhnya sebagai makhluk fisik. Sedangkan kata jiwa diterapkan pada manusia seluruhnya sebagai makhluk yang hidup dan dapat diterjemahkan dengan “jati diri”. Bagi orang Yahudi dan juga rumpun bangsa Semit pada umumnya, tubuh dan jiwa bukanlah dua bagian dari manusia yang dapat terpisah satu sama lain. Dalam konteks ungkapan Yesus kalimat itu dapat berarti, “Manusia yang engkau takuti tidak dapat membunuh hidup  itu sendiri, yaitu hidup dalam arti sesungguhnya, mereka tidak dapat membunuh semangat, keyakinan dan pandangan hidupmu!”

Setelah Yesus menyatakan bahwa Allah lebih berkuasa dibandingkan dengan para penganiaya itu, Ia kemudian menjamin bahwa setiap utusan Allah itu sangat berharga di hadapan-Nya. Yesus membandingkan dengan burung pipit yang dijual dengan harga murah sekali, namun tidak ada seekorpun yang jatuh ke bumi dan mati luput dari perhatian-Nya. Di sini Yesus mau mengatakan bahwa sekecil atau semurah apa pun dihargainya makhluk hidup oleh manusia tetap diperhatikan Allah. Allah tidak meninggalkan makhluk apa pun di saat kematiaannya, apalagi  manusia yang menjadi utusan-Nya. Jaminan itu nyata dalam ungkapan, “Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.” (Mat.10:30-31).

Setelah Yesus membekali para murid dengan kuasa, kemudian Ia juga memberikan jaminan bahwa Allah begitu menyayangi mereka dan tentunya juga akan memelihara dan melindungi mereka. Kini, yang harus diperlihatkan oleh para murid itu adalah ketulusan, keyakinan, dan keberanian dalam menjalankan semua mandat Tuhan. Di tengah ancaman bahkan aniaya, mereka diminta untuk setia dan tidak menyangkal. Konsekuensinya jelas menyangkal berarti akan disangkal juga!

Dalam kenyataannya tetap saja tidak mudah untuk menjalankan misi itu. Kita bisa melihat bagaimana Yudas yang memilih kompromi dengan para srigala yang memusuhi Yesus. Petrus yang gentar dan terpaksa tiga kali menyangkal Yesus. Meskipun murid-murid seperti itu, namun Yesus terus menyertai dan memulihkan mereka. Sayang, Yudas memilih untuk terus sebagai penghianat sampai akhir hidupnya sedangkan Petrus menyambut pemulihan dari Tuhan. Betul, para murid jatuh bangun dalam menjalankan misi Allah, namun lihatlah  walaupun tubuh mereka mati dengan penganiayaan berat, ada yang dirajam batu, disalibkan terbalik, dibantai dan seterusnya namun semangat atau jiwa mereka terus hidup. Injil terus tersebar sampai ke ujung-ujung bumi. Terbukti, para srigala itu hanya dapat membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa mereka!

Kini, Tuhan juga mengutus kita dalam konteks dunia kita masing-masing. Ia menginginkan kita menyuarakan kebenaran seperti yang disuarakan Yeremia. Tuhan menghendaki kita tidak hanya mampu bersuara tetapi juga mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Sorga, yakni dengan memulihkan kelemahan-kelemahan manusia, meneruskan cinta kasih Bapa yang berbelarasa kepada yang lemah dan tertindas serta memperagakan apa yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Yesus Kristus. Dia menghendaki supaya dalam kehidupan kita, orang-orang melihat cinta kasih Yesus!


Jakarta, 22 Juni 2017

Jumat, 16 Juni 2017

BERSEDIA DIPILIH DAN DIUTUS

Paulo Freire, pendidik multikultural Brazil, pernah menyatakan, “Jika manusia tidak mampu melihat secara kritis tema-tema zaman, sudah barang tentu tidak bisa secara aktif merespons realitas yang ada, akibatnya mereka akan terbawa hanyut oleh derasnya arus perubahan. Mereka melihat bahwa zaman sedang berubah tetapi tenggelam dalam perubahan itu tanpa bisa mengendalikannya, dan tidak bisa melihat arti dramatis perubahan itu.” Ironisnya, di tengah perubahan itu, Freire menambahkan, “Dunia sudah dikotak-kotakkan menjadi ‘dunia-dunia’…manusia umumnya sudah ditindas, direndahkan dan diubah menjadi penonton, diarahkan oleh mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial (dunia) yang penuh kuasa.”

Bukan hanya sekarang, dari dulu kenyataannya seperti itu terus bergulir: dunia dikendalikan oleh segelintir orang. Kekuasaan politik dan ekonomi alih-alih mengangkat derajat kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan justeru bagai monster yang terus melalap habis harkat derajat kemanusiaan. Gambaran kitab suci mengenai hal ini muncul dengan ungkapan, “seperti domba-domba yang tidak mempunyai gembala” Perjanjian Lama sering berbicara tentang para “gembala” dalam arti pemimpin politik atau keagamaan (Bil.27:17, Yeh.34:5, 1 Raj.22:17, 2 Taw.18:16). Dalam kenyataannya kawanan domba seringkali diperas, ditindas dan akhirnya tercerai berai karena ulah “pedagang domba” yang jahat (Zak.11:7,11). Akibatnya, kondisi mengenaskan: sakit dan penderitaan manusia menjadi pemandangan yang dapat dijumpai di mana-mana.

Dengan empati mendalam (esplankhnisthe, dari kata splankhna: “isi perut”, yang oleh orang Yahudi dipandang sebagai pusat emosi manusia), hati Yesus tergerak ketika berjumpa dengan orang-orang sakit dan berkesusahan itu. Iba atau tepatnya belarasa Yesus terhadap penderitaan manusia setara dalam Perjanjian Lama dengan reaksi ketika Allah mendengar jeritan darah Habel yang dibunuh oleh Kain, kakak kandungnya sendiri, atau keluhan Israel dalam perbudakan di tanah Mesir atau Nabot yang kebun anggurnya hendak diambil raja Ahab atau Daud yang berteriak karena kepungan para musuhnya. Allah tidak tinggal diam! Dia segera turun tangan, Ia berdiri menjadi lawan dari para penindas. Kini, dalam Perjanjian Baru, Allah yang peduli itu mewujud dalam diri Yesus saja. Yesus bukan memusuhi orang kaya, penguasa atau ahli agama. Melainkan mereka yang menjadikan orang-orang lemah menderita dan mereka yang munafik, memakai kedok agama untuk kesalehan palsu!

Dalam keadaan yang memilukan inilah Yesus melihat “tuaian”. Waktu menuai di sini tidak dikaitkan dengan pengadilan terakhir atas bangsa-bangsa (seperti dalam Yesaya 24:13, Yoel 3 :12-13) tetapi menjadi kesempatan untuk rasul-rasul berkarya. Dalam kondisi seperti ini Kerajaan Allah diberitakan. Yesus memanggil dan memilih kedua belas murid untuk berkarya bagi “domba-domba” yang terabaikan. Yesus sudah meminta agar para murid berdoa supaya dikirim banyak gembala, yakni orang-orang yang mau bekerja untuk memberitakan Kerajaan Allah kepada mereka yang sakit, miskin dan menderita. Sekarang Yesus sendiri memilih dua belas orang untuk menjadi “penuai”: gembala. Mereka tidak hanya boleh berdoa, meminta, tetapi harus siap terlibat dalam penggembalaan itu. Oleh karenanya – kita harus menyadari bahwa – setiap orang yang berdoa harus ikut juga terlibat dalam apa yang didoakannya.

Tentu ketika Yesus mengutus para murid, tidak hanya melepas mereka begitu saja. Kedua belas rasul disiapkan Yesus. Mereka diberi kuasa (Mat. 9:35). Kepada mereka inilah Yesus membagikan kuasa yang telah Ia peragakan dalam untaian tanda-tanda penyembuhan dan pengusiran setan. Yesus memberi mereka kuasa untuk mengatasi roh-roh najis atau roh-roh jahat. Bukan hanya itu, para murid juga dilengkapi kuasa seperti yang ada pada Yesus, yakni untuk menyembuhkan penyakit dan kelemahan. Kuasa dalam hal ini tidak sama dengan keahlian atau skill. Baik pengusiran Setan maupun penyembuhan bersumber pada kuasa yang sama. Penyakit dan dosa yang menguasai manusia adalah tanda kerajaan Setan, sebaliknya penyembuhan dan pemulihan adalah tanda kemenangan Kerajaan Sorga. Hanya Yesus yang memberikan kuasa itu, bukan kepandaian para murid.

Berita pokok yang harus disampaikan para murid adalah “Kerajaan Surga sudah dekat!” Bukankah hal ini sama dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis (Mat.3:2) dan Yesus sendiri (Mat.4:17)? Di sini kita melihat kesinambungan pesan dalam pemberitaan Injil. Dalam pesan perutusan Yesus kepada para murid-Nya: menyembuhkan penyakit, mengusir setan, mentahirkan orang kusta dan membangkitkan orang mati, bukankah hal itu yang dikerjakan Yesus selama Ia bersama-sama para murid? Itu berarti para murid melakukan tepat seperti apa yang dilakukan Yesus. Di sini Yesus berbagi “kuasa” dan pelayanan untuk menangani penderitaan umat manusia. Yesus melibatkan para murid untuk menjawab  penderitaan “domba-domba” terlantar! Dengan melakukan tugas itu maka benarlah bahwa para murid terlibat aktif dalam mendekatkan Kerajaan Surga itu!

Pada mulanya para murid diutus kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Namun, bukankah – minggu lalu, dalam Minggu Trinitas kita membaca Matius 28 : 19 di mana Yesus memerintahkan agar para murid diutus pergi kepada seluruh bangsa lalu menjadikan seluruh bangsa itu murid-Nya serta membaptis mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus. Apakah Yesus tidak konsisten tentang konteks pemberitaan dan pelayanan para murid itu? Mestinya tidak! Pemberitaan universal akan dimulai setelah peristiwa kebangkitan Yesus. Benar, pemberitaan Injil Kerajaan Allah itu bermula dalam lingkup Yahudi namun kemudian berita itu berlaku juga untuk semua bangsa.  Sebab pada dasarnya semua manusia di setiap bangsa mengalami hal yang sama, yakni: penderitaan akibat kuasa dosa. Manusia membutuhkan kelepasan dan kuasa untuk mengatasi itu.

Dahulu orang Yahudi percaya – dan itu menjadi pengalaman eksistensial mereka – bahwa sakit penyakit, penderitaan, kenajisan dan kematian bersumber dari kuasa jahat, kuasa Setan yang berkuasa. Memulihkannya tidak ada jalan lain kecuali dengan mengusir dan mengenyahkan kuasa Setan itu. Caranya? Dengan menggunakan kuasa yang melebihi kuasa dari segala kuasa yang ada, termasuk melebihi kuasa Setan. Kuasa itu adalah kuasa yang dimiliki Yesus.  Bukan hanya sekedar bicara, namun para murid yang tinggal bersama Yesus menyaksikan sendiri bagaimana Yesus menaklukkan kuasa-kuasa itu. Kini, Yesus berbagi kuasa dengan para murid, agar para murid melakukan tugas yang sama, yakni mengenyahkan kelemahan dan penderitaan manusia!

Kuasa “Setan” akan terus ada di sepanjang zaman. Kini, kuasa Setan tidak harus muncul dalam diri orang yang kerasukan, sakit, kusta atau kematian. Seperti yang dikatakan Paulo Friere manusia dijadikan oleh sesamanya tidak lebih dari penonton bahkan ditindas dan direndahkan. Bukankah hal ini sama seperti konteks keprihatinan Yesus yang melihat orang banyak itu seperti “domba tanpa gembala” atau dalam ungkapan lokal kita, mereka seperti sapi perahan, dimanfaatkan dan ditindas. Tengoklah dunia politik! Orang-orang kecil, yang jumlahnya pasti sangat banyak sering dimanipulasi, dibujuk dan dirayu ketika para elite membutuhkan suara mereka. Sesudah pesta pemungutan suara usai, mereka dicampakan begitu saja! Hal yang sama terjadi dalam dunia ekonomi dan industri. Manusia atau tepatnya kaum kecil hanya bagian dari alat produksi saja. Mereka dimanfaatkan ketika tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk sebuah proses  industri yang menghasilkan uang dan materi.

Murid-murid Kristus di sepanjang zaman terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah, itu artinya melawan segala kuasa yang membuat sesamanya menderita. Menghadirkan Kerajaan Allah itu artinya menghadirkan kepedulian Yesus terhadap yang miskin, papa, penderita dan terabaikan. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti tidak kompromi dengan kekuatan-kekuatan yang merusak alam ciptaan Allah demi untuk pemuasan hawa nafsu. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti menolak korupsi dan manipulasi dalam pelbagai bentuk. Menghadirkan Kerajaan Allah berarti menjadi teman dan sahabat bagi mereka yang tertindas. Sudahkah kita memilih jalan ini?

Jakarta, 16 Juni 2017