Kamis, 08 Juni 2017

PARTISIPASI YANG SEMPURNA

Injil yang kita baca pada hari Minggu Trinitas tahun “A” ini adalah Matius 28 :16-20. Di dalamnya ada ayat terkenal, dan menjadi landasan untuk setiap orang Kristen melaksanakan tugas misi: “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,..” (Mat.28:19). Ini jelas amanat agung! Sebelum Yesus mengakhiri tugasnya di dunia dan kembali kepada Bapa-Nya, Ia memerintahkan agar setiap murid-Nya mengerjakan tugas misi ini. Tidak melaksanakannya berati mengingkari tugas perutusan itu.

Mari kita lihat ayat ini dalam konteksnya semula. Peristiwa ini terjadi setelah kebangkitan Yesus. Kesebelas murid Yesus – minus Yudas Iskaryot – pergi ke Galilea sesuai dengan perintah yang mereka terima dari malaikat (Mat.28:7) dan sejalan dengan pesan Yesus (Mat.28:10). Oleh karena kesetiaan Yesus yang bangkit, murid-murid yang telah meninggalkan Yesus dapat berkumpul kembali dengan-Nya. Melihat-Nya kembali tentu merupakan sebuah sukacita luar biasa. Langsung saja mereka sujud sembah dan mengakui Yesus sebagai Anak Allah yang hidup. Namun, ada yang aneh, ternyata tidak semua murid atusias dan menyembah. Ada beberapa orang ragu-ragu. Injil Matius memakai kata ragu atau bimbang hanya dua kali. Selain dalam peristiwa ini dicatat juga dalam Mat.14:31 (peristiwa Yesus berjalan di atas air). Kedua kasus itu yang ragu-ragu atau bimbang adalah murid Yesus. Sedangkan Yang diragukan ialah apakah yang mereka hadaoi itu benar-benar Yesus.

Kepada mereka yang bimbang inilah Yesus mendekati dan menyapa mereka, kata-Nya: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi.” (ay.18). Pernyataan ini mengandung makna bahwa kuasa yang diberikan Allah kepada Yesus tidak terbatas (lihat kata :segala) baik dalam kepenuhannya maupun intensitasnya. Kuasa-Nya meliputi seluruh kosmos (langit dan bumi) sehingga sama seperti kuasa Allah yang digambarkan dalam Perjanjian Lama, sebagai Sang Pencipta dan Penyelenggara segala sesuatu. Di sini - kepada yang meragukan-Nya – untuk pertama kalinya Ia berbicara tentang kuasa-Nya. Inilah kuasa Kerajaan Allah!

Mereka yang ragu dipulihkan, diyakinkan. Kini, Sang penguasa kosmos itu memberikan tugas perutusan universal: “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa samapai akhir zaman.” (Mat. 28:19-20).

Dalam tugas menjadikan segala bangsa murid Yesus, tekanan Injil Matius bukan pada pembaptisan tetapi pada pengajaran (didakhe). Kita masih mengingat, ketika Yesus masih bersama para murid. Ia juga pernah mengutus mereka. Pada pengutusan yang pertama (Mat. 10:7,8), murid-murid hanya diberi tugas untuk memberitakan bahwa Kerajaan Surga sudah dekat. Mereka diminta juga untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta dan mengusir setan-setan. Namun, pengajaran tetap dilakukan oleh Yesus sendiri. Baru setelah pelayanan-Nya di dunia berakhir, Yesus memercayakan pengajaran itu kepada para murid. Yesus yang bangkit itu menugaskan para murid untuk memperluas misi pengajaran-Nya kepada bangsa-bangsa. Yang mereka ajarkan bukan doktrin melainkan praktek hidup sebagai murid dari Guru Agung. Mereka diutus untuk mengajar bangsa-bangsa berpegang pada cara hidup dalam Kerajaan Allah sebagaimana telah mereka terima dari Yesus sendiri.

Ungkapan menjadikan murid  dalam bahasa Yunani hanya satu kata matheteuo. Ini lebih dari sekedar “memberitakan” (kerysso). Maksudnya, bukan hanya sekedar mewartakan atau memberitahu tentang pentingnya sebuah amanat, melainkan menjalin suatu relasi akrab dan personal dengan orang-orang yang bakal mereka jumpai. Ingat relasi, bukan transaksi. Model atau polanya adalah pola ketika mereka berelasi dengan Yesus. Yesus memanggil mereka, mereka hidup bersama-sama dengan Yesus. Mereka melihat sendiri Firman Yang Hidup itu. Yesus tidak hanya mengajar dengan pelbagai teori tetapi Ia menghidupi apa itu Kerajaan Allah. Dialah Sang Firman Yeang menjadi Manusia. Yesus mengajar, mendidik, berusaha menarik mereka kepada diri-Nya. Ini seharusnya menjadi model normatif bagi setiap orang Kristen atau murid Yesus dalam berupaya “menjadikan semua bangsa murid-Nya”. Dengan demikian setiap murid Yesus harus “mirip” dengan Guru Agung yang memberikan amanat agung itu. Nah, coba renungkan: apa yang sudah mirip dari kita dengan Yesus? Kira-kira, dapatkah kemiripan kita dengan Kristus itu menjadi daya pesona untuk menjadikan mereka murid Yesus?

Pengajaran merupakan sebuah kata kunci untuk membuat orang yang tidak mengenal Yesus dapat menjadi murid-Nya lalu dibaptiskan dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Bagaimana orang dapat mengerti rumusan baptisan itu jika ia belum pernah mengerti dan diajarkan tentang Trinitas? Trinitas bukan semata-mata teori atau doktrin yang menguras energi nalar. Melainkan, nyata menjadi pengalaman eksistensial sehari-hari. Rumusan baptisan ini mengungkapkan yang berkali-kali disinggung dalam Injil Sinoptik, yakni relasi erat antara kehidupan dan karya Yesus dengan Bapa-Nya dan dalam Roh Kudus.

Trinitas memang tidak mudah dipahami. Namun, bukan berarti orang sederhana bahkan “awam” dalam berteologi tidak dapat mengerti tentang eksistensi Allah dalam Trinitas. Malah sebaliknya, Allah dalam Trinitai (Bapa, Anak dan Roh Kudus) memudahkan  manusia dalam level pemahaman yang bagaimana pun dapat mengerti dan mengenal-Nya. Manusia dan semesta alam dapat menyadari bahwa Dialah Sang Pencipta dan Pemelihara, yang kita sapa sebagai Bapa. Bapa yang memulai segala sesuatu dan yang memeliharanya. Dia juga adalah Sahabat setia yang mengerti penderitaan dan persoalan hidup manusia yang menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa, itulah yang kita fahami sebagai Anak Allah di dalam diri Yesus Kristus. Jelas, yang dimaksud Bapa-Anak bukanlah terminologi biologis. Dia juga yang selalu mengingatkan manusia akan kebenaran dan menopangnya agar mampu melakukan tugas kesaksian dan melewati lembah air mata, itulah Roh Kudus.

Bagaimakah Allah, Sang Saratmisteri ini menyatakan diri-Nya agar dikenal dan mudah disapa oleh manusia? Rasanya, bukan memakai analogi atau metafora. Bukan dengan bahasa tinggi yang membingungkan dan juga bukan melalui paparan teori Trinitas yang jelimet. Namun, Allah menggunakan pengalaman eksistensial nyata dalam sejarah manusia. Allah, yang semula tidak mudah dikenal, menyebut nama-Nya saja penuh kengerian. Namun, kini di dalam Yesus begitu dekat. Allah yang pada mulanya adalah Firman telah menyatakan diri-Nya menjadi manusia sejati. Ia hidup dalam sejarah manusia, bergumul, menderita dan merasakan kesulitan manusia. Dialah Yesus! Jika Allah menyapa manusia dengan pengalaman empirik, maka manusia pun harus menyediakan diri disapa melalui pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, Trinitas itu hanya bisa dipahami, dirasakan melalui pengalaman hidup!

Manusia mempunyai pemahaman dasar bahwa Allah pastilah merupakan figur Mahapengasih, Mahapengampun, Mahapemurah Mahakuasa dan sebagainya. Namun, bagaimanakah Sang Mahapengasih, Mahapengampun,  Mahapemurah, Mahakuasa itu wujudnya? Bukankah ini semua hanya ide-ide abstrak saja dan siapa pun juga dapat menerjemahkan ide-ide abstrak itu menurut maunya sendiri? Jelas, Allah tidak mau manusia berspekulasi. Sekali lagi Dia ingin dikenal dan manusia mengerti kehendak-Nya. Caranya? Allah yang pada mulanya adalah Firman kemudian menjelma menjadi manusia. Yesus itulah Sang Firman Hidup. Yesus memeragakan apa yang abstrak itu menjadi nyata. Bila manusia meyakini bahwa Allah adalah Mahapengasih, pengampun, pemurah, dan seterusnya, manusia dapat melihatnya dengan kasat mata dalam diri Yesus. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah firman yang berjalan, firman yang hidup itu. Sehingga suatu kali, Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkan Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam AKu, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10).

Selanjutnya, ketika karya-Nya sebagai firman yang hidup itu telah selesai maka Yesus kembali kepada Bapa-Nya. Kini, Ia mengutus Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri untuk menyatakan penegasan kepada manusia agar apa yang telah dikerjakan-Nya dimeteraikan dalam hati. Roh Kudus jugalah yang dapat membuat orang menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. “…dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus.(1 Korintus 12:3b).  Roh Kudus yang sama melengkapi setiap orang percaya dengan karunia agar dapat menjadi saksi-saksi Tuhan yang hidup.

Sederhananya, Trinitas adalah cara kreatif Allah dalam rangka karya keselamatan bagi dunia. Mestinya, bahasa dan cara Allah berkarya ini mudah ditangkap oleh manusia. Manusia yang mengalami karya kasih Allah ini, dialah yang telah dapat merasakan Kerajaan Allah. Responnya, bersyukur dengan mau terlibat meneruskan  cinta kasih Allah ini kepada sesamanya. Untuk dapat terlibat dalam Kerajaan Allah, maka seseorang harus mau mengalami pembaruan dalam dirinya. Kita dapat berpartisipasi dalam misi Allah dengan sempurna hanya ketika mau hidup di dalam Yesus, berlaku dan berucap seperti Dia dan dengan berani menyatakan kebenaran di tengah dunia yang penuh dengan kepalsuan.

Minggu Trinitas 2017

Jumat, 02 Juni 2017

ROH KUDUS MEMULIHKAN DAN MEMPERSATUKAN

Hari Minggu yang lalu kita menghayati tema, “Tetap Menyatu di Tengah Tekanan.” Kemarin, 1 Juni kita merayakan hari lahir Pancasila sebagai dasar kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Hari Minggu ini, 4 Juni 2017 bertepatan dengan perayaan Pentakosta, tema perenungan kita “Roh Kudus Memulihkan dan Mempersatukan.” Sepertinya bukan sebuah kebetulan, di tengah perbagai kemelut, maraknya ujaran kebencian dan gugatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, beberapa minggu ini, kita diingatkan kembali akan pentingnya kesehatian dan persatuan baik sebagai sesama anak bangsa maupun persekutuan sebagai saudara seiman.

Jauh sebelum terjadinya perpecahan dalam jemaat Tuhan, Paulus mengingatkan pentingnya kebersamaan dan kesatuan sebagai umat Tuhan. Mengapa? Karana, “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang….Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Krisrus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dalam satu Roh.” (1 Korintus 12:4-6, 12-13). Sebelumnya dalam 1 Korintus 1:10, Paulus mengingatkan, “tetapi aku mengingatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.

Paulus menyadari betapa mudahnya orang bermusuhan karena perbedaan ras, kelompok, golongan, kelas sosial dan juga karena perbedaan pengajaran, ideologi dan doktrin. Paulus meminta mereka untuk “seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu.” Kalimat ini mudah diucapkan namun pertanyaanya, “Bagaimana mungkin bisa seia sekata dengan orang yang berbeda pendapat? Bagaimana mungkin kita dapat bersatu dan sehati sepikir dengan orang yang jelas-jelas punya pendirian yang berbeda? Haruskah kita membuang konsep, opini, atau ajaran kita sendiri demi tidak persatuan itu?

Benar, kita tidak mungkin bisa setuju dan selalu mengiayakan pendapat, keinginan apalagi doktrin dan ajaran yang berbeda dengan kita. Kita tifak pernah dapat saling setuju, namun kita dapat dan harus setuju, seia-sekata dengan satu hal, yakni: bahwa Yesus adalah Tuhan. Satu-satunya cara untuk kita dapat “seia-sekata dengan orang lain” – sebagaimana Paulus menasehati jemaat Korintus – adalah dengan membedakan hal yang sesensial dengan yang bukan esensial. Kemudian mencari cara untuk mengasihi orang lain yang berselisih pendapat dengan kita dalam hal yang tidak esensi itu. Hal-hal yang tidak esensi itu bukannya tidak penting. Namun, tidak cukup penting untuk memisahkan diri atau bahkan memusuhi satu dengan yang lain. Esensi baptisan adalam pengakuan percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yang bukan esensi adalah metode dan cara pembaptisan. Jadi, metode dan cara baptisan jelas penting. Namun, tidak cukup penting untuk kita bertengkar apalagi saling membenci! Tidak cukup alasan yang kuat buat saya membenci Anda lantaran Anda dibaptis dengan cara diselam, sementara saya dibaptis dengan cara percik!

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan keyakinan iman kita adalah penting dan mutlak untuk kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak cukup alasan itu untuk kita membenci bahkan memusuhi orang yang berbeda dengan kita! Justeru agama dan keyakinan iman diuji dalam mengasihi dan merangkul orang yang berbeda bahkan yang memusuhi sekalipun!

Dalam keyakinan iman kita, Roh Kuduslah yang memunculkan kesadaran baru, memulihkan pesimisme menjadi optimis. Dialah yang menyadarkan untuk kita dapat bergandengan tangan dengan orang yang berbeda, dari berbagai kelompok, golongan, suku, ras dan status sosial. Roh Kuduslah yang menghimpun orang percaya dari pelbagai penjuru dunia untuk mengerti dan mengenal karya kasih Allah. Peristiwa Pentakosta menegaskan itu.

Pentakosta merupakan suatu pesta iman. Dirayakan pada hari kelima puluh setelah Paskah. Sering juga disebut pesta tujuh pekan. Awalnya pesta itu adalah pesta syukur atas panen raya. Tetapi lambat-laun pesta itu dijadikan kesempatan perayaan iman untuk mengenangkan kembali peristiwa Sinai, ketika Allah menyampaikan hukum-hukum-Nya (Taurat) kepada Musa. Pesta Pentakosta berkembang menjadi pembaruan janji setia akan hukum Musa. Mereka mau setia karena Allah memenuhi janji-Nya, bukan hanya dengan keberhasilan panen, melainkan juga dengan menganugerahkan Roh-Nya.

Dalam peristiwa Sinai itu perwahyuan hukum-hukum Allah disertai oleh gejala-gejala alam yang menakutkan: api, asap dan gempa  (Kel.19: 18 dst.). Kini, Pentakosta dalam Perjanjian Baru juga disertai dengan tanda-tanda luar biasa. Tanda-tanda itu adalah lidah-lidah api dan angin yang memampukan para murid menjadi saksi kekaguman dan kegembiraan iman. Mereka juga dimampukan memahami segala yang dipesankan Yesus untuk keselamatan umat manusia. Dengan cara itu, Lukas menerjemahkan kembali tradisi Pentakosta yang menunjukkan bahwa penatua Israel akhirnya juga mampu memahami apa yang menjadi pesan Allah kepada Musa agar mereka setia kepada perjanjian dengan Allah. Kesetiaan itu tampak dalam ketertiban dalam melaksanakan hukum-hukum Allah yang diwartakan oleh Musa kepada Israel. Kini “Musa Baru”, yakni Yesus Kristus, mengutus Roh-Nya untuk mendampingi para murid-Nya mengenali apa yang menjadi pesan dan perintah-Nya bagi kehidupan. Mereka berhasil “menerjemahkan” dalam bahasa yang dimengerti oleh setiap orang yang datang dari pelbagai peloksok negeri.

Pada waktu itu banyak peziarah datang dari berbagai peloksok daerah pada perayaan itu (ingat peristiwa Pentakosta dalam Perjanjian Lama mewajibkan orang-orang Yahudi yang tinggal dipelbagai wilayah untuk datang ke Yerusalem untuk mengucap syukur pada pesta panen dan sekaligus merayakan turunnya Taurat Tuhan kepada Musa). Para peziarah inilah yang ikut hanyut dalam saksi kegembiraan dan gairah baru yang dianugerahkan Roh Kudus terhadap segala bangsa. Itulah yang kemudian akan menjadi “ladang” para murid Yesus menyampaikan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Berita itu menjadi berita sukacita antar lintas bangsa.

Daftar bangsa-bangsa yang dicatat Lukas ini menunjukkan bahwa Injil bukan hanya diperuntukkan satu bangsa dengan satu bahasa saja. Kisah ini menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan saksi peristiwa Pentakosta yang baru tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan 15 bangsa dan negeri. Dari wilayah-wilayah itu hadir orang-orang Yahudi dan proselit. Daftar itu mula-mula menyebutkan bangsa-bangsa yang diam di sebelah timur Palestina, di wilayah Efrat dan Tigris, kemudian wilayah sebelah barat dan di provinsi koloni Romawi, Asia Kecil dan menyusul di daerah-daerah Selatan (Mesir dan Libia) dan akhirnya disebut pusat Kerajaan Romawi. Pada masa itu di setiap daerah yang disebutkan terdapat pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang sudah berdiam turun-temurun di luar Palestina, tentu sudah terbiasa menggunakan bahasa di mana mereka tinggal. DI samping orang Yahudi dan keturunan Yahudi, ada juga dari pelbagai wilayah itu orang-orang lokal yang menganut Yudaisme atau proselit. Terakhir, disebutkan orang-orang Kreta (di Laut Tengah) dan orang-orang Arab. Ini menggambarkan keberagaman manusia seluruh dunia.

Pada saat itu mereka dikejutkan oleh tiupan angin keras dan lidah-lidah api. Kemudian orang-orang Galilea itu berbicara kepada mereka. Semakin besarlah keheranan orang-orang yang berkumpul di Yerusalem yang berasal dari pelbagai peloksok negeri itu karena ternyata mereka mendengar orang-orang Galilea itu berbicara menggunakan bahasa mereka sendiri! Kita dapat membayangkan, mereka adalah peziarah dari pelbagai negeri, mereka ada di Yerusalem sebagai “orang asing”. Namun kini, mereka diajak bicara dengan bahasa ibu mereka masing-masing. Hal tersebut pastinya memberi kesan yang mendalam. Apalagi, yang mereka dengar adalah berita yang teramat dasyat. Berita tentang keselamatan!

Isi dari warta gembira dirumuskan dengan singkat, yakni karya Allah yang menakjubkan. Pentakosta adalah pesta kegembiraan yang membebaskan orang untuk menyerukan karya-karya agung Allah dalam kehidupan, terutama tentang peristiwa Yesus Kristus dalam bahasa yang dapat dimengerti. Dalam pesta ini kesempatan untuk mewartakan kegembiraan itu secara penuh sudah tiba, dan para rasul mendapatkan tugas meneruskan warta gembira itu kepada segala bangsa. Roh Kudus menolong menjamin bahwa mereka yang mendengarnya mengerti dan memahami pesan yang disampaikan para rasul  itu.

Jelaslah Alkitab menyatakan bahwa bahasa mereka bisa dimengerti oleh orang-orang yang datang dari pelbagai peloksok itu bukan karena mereka sebelumnya ahli atau telah fasih menggunakan bahasa-bahasa itu. Allahlah, melalui kuasa Roh Kudus yang telah dicurahkan itu yang memampukan mereka untuk berbicara dan dimengerti oleh para pendengarnya. Allah yang menyapa dengan perantaraan para murid – orang-orang Galilea itu – tidak menuntut pendengarnya untuk terlebih dahulu belajar atau bisa berkomunikasi dalam bahasa Yahudi. Semenjak dari awal, Allah tidak menuntut manusia untuk mengerti bahasa-Nya. Melainkan Dia sendiri yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia agar manusia mengerti bahasa cinta Bapa. Rasanya tidak berlebihan kalau Pentaskosta dipahami sebagai pesta keberagaman atau kebhinekaan yang dihargai dan diakui oleh Allah sendiri.

Selanjutnya para murid Yesus mewartakan iman bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan kegembiraan hidup. Bahasa mereka adalah bahasa kehidupan, yang bisa dipahami dan ditanggapi dengan kehidupan juga. Itulah nantinya yang terwujud dalam kehidupan jemaat mula-mula. Peristiwa Pentakosta menjadi awal sejarah kehidupan baru, yakni Roh Kudus memulihkan para murid untuk berani bersaksi dan Roh Kudus jugalah yang menyatukan setiap bangsa dan bahasa untuk mengenal cinta kasih Allah.


Jakarta, Pentakosta 2017