Kamis, 27 April 2017

BERELASI DENGAN TUHAN YESUS KRISTUS


Relasi secara umum diartikan sebagai hubungan timbal-balik atau pertalian ikatan antara sesama manusia. Manusia dikodratkan bukan sebagai makhluk soliter, melainkan insan sosial. Ciri dari makhluk sosial adalah berkomunikasi, menjalin hubungan, hidup dalam ikatan komunitas, dengan cara itulah manusia berelasi! Dalam komunikasi dan relasi kita tidak dapat menghindari adanya transaksi. Meski tidak melulu negatif, transaksi mensyaratkan imabal-balik: saya melakukan atau memberi sesuatu – sebagai kewajiban - maka saya mendapatkan sesuatu sebagai hak saya. Hubungan suami – isteri idealnya adalah relasi saling melayani. Namun, banyak kita saksikan – atau bahkan kita sendiri mengalaminya – sudah berubah menjadi transaksi. Suami atau isteri melakukan ini dan ikut dengan harapan pasangannya memberi perlakuan yang setimpal bahkan lebih. Jika tidak, ceritanya menjadi lain! Denikin juga kegiatan di gereja yang mengatasnamakan pelayanan pun sebenarnya tidak luput dari “transaksi”, yakni : saya melakukan ini dan itu, agar saya mendapatkan ini dan itu, jika tidak, selamat tinggal pelayanan!

Sedari awal murid-murid Yesus rupanya punya angan-angan tersendiri dalam mengikut Sang Guru! Mari kita telusuri melalui dua murid yang sedang menuju Emaus (Lukas 24:13-35). Penulis Lukas mengatakan Emaus adalah sebuah kampung yang letaknya 11 kilometer dari Yerusalem. Emaus sering dihubungkan dengan daerah di Tanah Rendah (1 Makabe 3:40). Tempat ini sempat populer lantaran di situ Yudas Makabeus dapat memenangkan pertempuran melawan kekuasan asing pada tahun 166 SM. Peristiwa kemenangan Makabeus menjadi inspirasi, motivasi dan menyuburkan pengharapan akan datangnya sosok Mesias seperti Yudas Makabeus itu: pemimpin pergerakan yang mengangkat senjata, memerangi kekuasaan asing dan menaklukannya. Sesudah itu sang mesias akan mengembalikan takhta Daud! Harapan ini terus bergelorah bahkan ketika gerakan Makabeus telah ditumpas. Angan-angan itu sedikit terobati ketika mereka melihat sosok Yesus. Betapa tidak, Yesus telah banyak membuat mukjizat. Ia begitu mencengangkan banyak orang. Banyangkan, ucapan-Nya penuh kuasa: taufan dan badai takluk kepada-Nya, begitu pula setan-setan. Ah, apalah artinya kaisar Roma dibanding dengan kuasa-kuasa yang telah ditaklukan Yesus. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak orang mengira Yesus akan tampil memenuhi pengharapan mesias mereka. Bahkan pengharapan seperti ini berkembang dalam diri murid-murid Yesus.

Masalahnya, Emaus yang dibicarakan dalam Kitab Makabe itu letaknya 30 kilometer sebelah barat laut Yerusalem. Terlalu jauh bagi perjalanan pulang balik dalam satu sore dan malam. Tampaknya Lukas bukan mau bercerita tentang letak geografis dari Emaus, namun lebih ke arah semangat dan pengharapan Emaus, ya pengharapan mesias politik! Dengan demikian kita bisa memahami perjalanan dua orang murid menuju Emaus sebagai perjalanan batin para murid yang penuh pengharapan terhadap Yesus. Namun, pengharapan Mesias yang terdistorsi dalam benak masing-masing mengenai siapa Yesus.

Yesus tidak membiarkan mereka dengan angan dan harapan mereka sendiri. Yesus yang telah bangkit itu menjumpai mereka. Yesus menyertai mereka berdua menuju Emaus. Siapa mereka? Hanya satu dari kedua orang murid itu yang disebut namanya, yakni Kleopas (Lukas 24:18). Mengapa? Bisa jadi Lukas tidak cukup informasi tentang nama dari teman Kleopas itu. Namun mungkin saja inilah cara Lukas untuk membuat pembacanya – termasuk kita – untuk ikut serta dalam kisah ini. Dengan begitu kita merasa ikut disapa oleh Sang Musafir yang tiba-tiba menyertai perjalanan dua murid menuju Emaus itu (Luk.24:17), “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Tanya Sang Musafir itu. Kedua murid itu terhenyak. Inilah pertanyaan yang menusuk angan dan jantung pengharapan mereka, sekaligus juga kekecewaan mereka. Dan mereka pun menjadi muram, baper! Kleopas balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari belakangan ini?” Sang Musafir seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Ia terus bertanya, Apakah itu?”  Mulailah mereka bercerita tentang Yesus dari Nazaret itu.

Sang Musafir seolah membiarkan dua murid itu berbicara tentang diri-Nya. Jika murid anonim itu adalah kita, maka kita pun akan bercerita tentang siapa Yesus bukan Yesus yang sebenarnya. Tetapi Yesus yang telah bias menurut versi, harapan dan angan kita. Yesus tidak jemu, Ia terus menemani perjalanan dan mendengar cerita kita. Ia terus mendengar keluh-kesah dan macam-macam kekecewaan batin yang sebenarnya berasal dari gambaran keliru kita mengenai apa dan siapa tumpuan harapan hidup kita. Ia terus mendengar cerita kurang percaya dan kecurigaan kita terhadap kesaksian para perempuan mengenai diri-Nya (Luk.24:22-24).

Setelah puas dengan cerita tentang Yesus dari Nazaret menurut versi dan harapan dua murid ini – termasuk kita di dalamnya – kini giliran Sang Musafir memberi tanggapan, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi.” (Luk.24:25). Seringkali para murid dan kita tidak bisa memahami; tidak dapat mencerna mengapa Sang Mesias harus menderita dan bahkan dibunuh. 

Perjalanan dari Yerusalem ke Emaus sepertinya ditampilkan sebagai penjernihan gagasan para murid dan juga gagasan kita masing-masing mengenai Yesus. Caranya sederhana, Ia meminta kedua murid itu mengingat-ingat kembali semua yang sudah pernah didengar tentang diri-Nya. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang tidak dikuasai oleh agenda mereka yang tersembunyi, oleh harapan dan ambisi penaklukan. Kini, Sang Musafir itu memperhadapkan mereka kepada sumber-sumber kepercayaan sejati (ay.27: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi”). Seolah Sang Musafir itu mengajak mereka meninggalkan harapan dan ambisi mereka menuju kepada apa yang hakiki. Seperti itulah, kita juga diajak-Nya untuk bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri kita diperkaya oleh-Nya. Sabda-Nya membungkam suara kedagingan kita.

Apa yang terjadi ketika kita diajak-Nya bertamasya ke kedalaman sabda-Nya? Seperti disebutkan nanti dalam ayat 32, mereka berkata satu dengan yang lainnya, “hati kita berkobar-kobar”. Yang berkobar-kobar biasanya api. Api punya daya menerangi dan memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati) mereka yang tadinya gelap kini, setelah berjumpa dengan Sabda menjadi terang menyala-nyala dan yang tadinya bercampur-baur dengan ambisi dan idealisme mereka, kini dimurnikan. Kedua murid itu “terbuka matanya” dan sekarang mengerti tentang Yesus dari Nazaret itu. Di Emaus “ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah kedua murid itu mengenali sesungguhnya orang yang menyertai mereka tadi. Baru pada saat itulah mereka menyadari sepenuhnya bahwa orang itu sama dengan Dia yang dalam Perjamuan Malam (Lukas 22:16, 18) mengatakan tidak akan makan dan minum lagi sampai Kerajaan Allah betul-betul datang. Kini, mereka berdua mengalami bahwa yang Ilahi itu benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Dan kehadiran-Nya inilah yang memberi harapan baru dan wajah baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari mereka dan kita ialah membiarkan kehadiran-Nya makin tampak dan makin biasa dirasakan orang banyak, serta makin memberi pengharapan. Ia tidak meminta kita melakukan hal-hal spektakuler luar biasa. Ia mengharapkan kita mempunyai pengharapan; wajah ceria yang mengenyahkan kekecewaan pertanda kebangkitan itu bukan hanya kepercayaan doktrinal, melainkan eksis dalam kehidupan kita. Ia ingin kita menyaksikan kebangkitan-Nya melalui tindakan nyata: melayani dan mengasihi seperti yang pernah Dia ajarkan dan contohkan dengan sepenuh hati dengan begitu dunia percaya sampai saat ini Yesus Hidup, Ia  tidak mati! Buktinya pekerjaan-pekerjaan dan karya-karya-Nya terus ada sampai saat ini!

Pada saat kedua murid tadi menyadari siapa orang yang mereka ajak datang ke rumah mereka di Emaus – ke dalam keseharian hidup mereka – pada saat itu juga Yesus lenyap. Kehadiran-Nya bukan milik mereka sendiri. Namun demikian, ada yang tinggal, yakni kebijaksanaan serta kekuatan baru untuk meniti jalan kembali ke Yerusalem. Perjumpaan itu kini membuat mereka segera berangkat kembali ke Yerusalem dan membagikan pengalaman mereka kepada murid-murid yang lain yang belum mengalami kebangkitan. Yerusalem yang sebelumnya merupakan sumber kekecewaan dan trauma hebat mereka, kini setelah perjumpaan itu, menjadi sebuah tantangan dan pengharapan!

Kisah ini cerminan relasi kita dengan Yesus Kristus, ada banyak cerita, angan dan harapan yang selalu ingin didengarkan. Namun, sebaliknya kita sulit untuk mendengar dan menyimak Yesus yang menyatakan diri-Nya. Dalam doa-doa, selalu kata-kata kita yang tak henti-hentinya memohon ini dan itu bahkan tidak segan mengatur dan menyuruh Tuhan bertindak sesuai dengan keinginan kita. Saatnya, kita mencoba beridam, biarkan Dia yang menyatakan diri berbicara dan mengoreksi semua keinginan kita yang tidak pada tempatnya sampai kita mengalami sendiri apa yang disebut kebangkitan itu. Itulah relasi yang baik antara kita dengan Tuhan Yesus Kristus,


Paskah III 2017

Kamis, 20 April 2017

KEBANGKITAN-NYA MENGOBARKAN KEBERANIAN DAN PENGHARAPAN

Ilmu manajemen Total Quality Control dari Jepang, dikenal suatu azas  speak with data”. Azas ini menuntut keshahihan data di lapangan melalui fakta-fakta riil yang kemudian menjadi data valid. Hal ini diperlukan untuk keperluan pengambilan keputusan. Speak with data menghendaki adanya suatu kebenaran yang mutlak. Ini dapat dipahami, karena tanpa suatu kebenaran yang nyata, akan membuahkan potensi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Bahkan, bisa saja terjadi, tanpa niat manipulasi atau kebohongan, adanya kesalahan atau kelalaian (human error) yang membuat data tidak sama dengan fakta yang ada.

Tomas bisa jadi termasuk orang yang menganut “speak with data”, tidak mudah menerima begitu saja kabar kebangkitan Sang Guru. Kebangkitan bisa saja tidak sesuai dengan fakta sesungguhnya. Sangat mungkin Tomas beranggapan bahwa teman-temannya memanipulasi fakta penampakan Yesus. Atau bisa saja ia berpikir memang memang benar, teman-temannya melihat penampakan Yesus yang bangkit dan mereka tidak berniat memanipulasi data namun, bisa saja terjadi kesalahan dan kelalaian pada diri mereka. Bukankah bisa saja terjadi penglihatan mereka tidak akurat? Atau bisa saja kejiawaan mereka – karena kesedihan berlebihan yang disebabkan kematian Sang Guru – terguncang hebat sehingga pengalaman kebangkitan itu menjadi sangat subyektif dan tidak valid untuk sebuah fakta. Tidak mengherankan Thomas berkata, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yohanes 20:25). Bisa saja kita mencibir Tomas sebagai orang murid yang peragu, kasar, berperangai muram, penyendiri dan cenderung pesimis serta berbicar ketus. Namun, dilihat dari sisi speak with data justeru sikap ini sangat positif. Tomas tidak mau berbicara atau percaya  tanpa fakta dan data yang akurat!

Yesus menjawab Tomas. Ia hadir kembali dalam di tengah-tengah para murid yang kali ini dihadiri oleh Tomas. Di sinilah Yesus menyajikan apa yang diminta dari “speak with data”. Yesus menyajikan data yang diminta oleh Tomas. Ia berkata kepada Tomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” (Yoh.20:27). Yesus menunjukkan luka-luka-Nya dan mengizinkan Tomas untuk menyentuhnya. Luka dan kelemahan yang biasanya ditutup orang kini diperlihatkan sebagai sebuah fakta. Meskipun kematian-Nya itu sungguh hina dan memalukan , sampai orang mungkin berpikir, sebaiknya dilupakan saja dan jangan diungkit-ungkit lagi. Namun, karena kematian-Nya itu adalah bukti kasih-Nya, Ia mau memerlihatkan-Nya dan meneguhkan Tomas. Inilah fakta yang tak terbantahkan. Fakta itu disajikan dan keraguan itu ditepis. Dampaknya Tomas mengaku, “Ya Tuhanku dan Allahku!” Tomas membuat pernyataan terbuka di hadapan teman-temannya yang sudah menyaksikan sendiri keraguannya. Berangkat dari keraguan kini keluarlah ungkapan atau pernyataan yang tidak pernah keluar dari mulut murid yang lain.

Dengan perkataan yang menyentuh, Kristus menutup perjumpaan-Nya bersama Tomas itu dengan mengatakan ,”Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah!” Di sinilah Yesus menunjukkan  kepedulian-Nya kepada Tomas. Ia tidak mau Tomas hidup dalam ketidakpercayaannya seandainya saja dia tidak dipulihkan pada saat itu. Tomas sekarang sepenuhnya dipulihkan. Ia puas dengan fakta nyata: kebangkitan Yesus itu nyata bahwa Yesus yang disalibkan dan mati itu kini berdiri di hadapannya!

Keraguan Tomas dijadikan Yesus sebagai sarana untuk meyakinkan pada dunia tentang kebangkitan-Nya. Pada bingkai keraguan Tomas yang mewakili dunia yang tidak percaya itu, muncullah pernyataan Yesus, “Karena Engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak meliha,t namun percaya.” (Yoh.20:29). Yesus memahami akan ada lagi “Tomas-Tomas” lain yang terus menuntut fakta dan data. Tomas ini mewakili banyak orang yang menuntut fakta kebangkitan dan Yesus menjawab dengan jaminan: mereka yang tidak pernah secara langsung melihat tubuh kebangkitan-Nya dengan ucapan berbahagialah!

Bagian akhir perkataan Yesus yang diucapkan kepada Tomas ini, ditujukan juga kepada para pembaca Injil Yohanes, termasuk kita di dalamnya. Kita tidak mungkin lagi bersikap kristis seperti Tomas, meminta pada Yesus untuk melihat dan meraba lubang di tangan dan kaki serta lambung-Nya untuk membuktikan kebangkitan-Nya. Namun, penulis Injil Yohanes menyajikan dalam tulisannya banyak tanda yang telah diperbuat Yesus sebagai bukti bahwa Ia adalah Mesias yang bangkit dari maut, Anak Allah yang hidup. Yesus tidak meminta tiap orang beriman tanpa sikap kritis melainkan mendorong setiap orang untuk menguji kebenaran kesaksian para penginjil.

Siapa pun dapat berada pada posisi Tomas dan para murid yang lain. Mereka mengunci diri dalam pesimisme, kemurungan, kekecewaan, dan kesedihan mendalam karena kematian tragis Sang Guru. Mengunci pintu rapat-rapat adalah cermin hati yang menutup diri dan penuh ketakutan! Namun, Yesus tidak membiarkan mereka larut dalam suasana itu. Ia hadir di tengah-tengah mereka dan memberikan Syalom, damai sejahtera! Satu per satu kondisi para murid dipulihkan. Sekarang, kebangkitan itu menjadi pengalaman eksistensial mereka. Semangat mereka dipulihkan kembali. Kisah selanjutnya, mereka membuka pintu, membuka diri! Yerusalem yang dulu dihindari, kini mereka datangi. Penganiayaan dan penderitaan bukan lagi penghalang yang menakutkan bagi mereka untuk menyampaikan kesaksian Yesus yang bangkit itu sebab di dalam kebangkitan-Nya terkandung pengharapan kehidupan yang kekal.

Bisa jadi kondisi kita saat ini dalam keadaan terpuruk: harapan tidak tepenuhi, sakit penyakit mendera, masalah bertubi-tubi menghunjab, cita-cita dan pengharapan membangun peradaban kandas karena orang yang diharapkan membawa peradaban yang lebih baik harus dikalahkan. Ada banyak alasan untuk kita menjadi murung, kecewa, sedih, marah, frustasi dan akhirnya menutup diri! Lalu, adakah kuasa kebangkitan-Nya membawa diri kita bangkit kembali dari keterpurukan itu. Mengobarkan kembali api semangat dengan keyakinan bahwa di dalam Yesus selalu ada kebangkitan dan pengharapan baru? Mestinya, iman kepada kebangkitan Yesus akan mampu menopang semangat yang pudar, jiwa yang resah dan putus asa!

Paskah II 2017