Alkitab memperkenalkan Allah sebagai Pencipta dan Pemilik kehidupan,
Allah yang perkasa, berdaulat, rahmani dan rahimi. Meskipun demikian, Dia
bukalah sosok otoriter dan pemaksa. Sejak awal pencitaan Adam dan Hawa, mereka
diberi kebebasan untuk menaati perintah-Nya atau abai. Tentu masing-masing
pilihan mempunyai konsekuensinya sendiri.
Menjelang akhir hidupnya, sebelum tampuk kepemimpinan diserahkan kepada
Yosua dan bangsa itu setahap lagi akan memasuki negeri perjanjian, Musa
memperhadapkan umat Israel kepada pilihan yang akan menentukan masa depan
mereka, “Ingatlah, aku menghadapkan
kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan,..”
(Ulangan 30:15). Rupanya pengalaman empat puluh tahun di padang gurun
mengajarkan kepada Musa bahwa kehidupan dan keberuntungan bukanlah sebuah
pemberian kodrati dengan alasan bahwa mereka adalah umat pilihan. Sebaliknya,
kematian dan kecelakaan bukan pula takdir garis tangan yang sudah ditentukan
dari sananya. Ada peran dan tanggungjawab umat yang tidak bisa dikesampingkan:
pilihan!
Pilihan bukan sekedar jawaban “ya”
atau “tidak”. Memilih kehidupan dan
keberuntungan berarti memilih taat, setia dan mengasihi Allah. Berlawanan
dengan itu berati kematian dan kecelakaan. Pengalaman padang gurun merupakan
modal bagi mereka untuk menapaki kehidupan selanjutnya. Menaati dan melakukan
perintah-Nya sebagai wujud dari cinta kasih umat kepada Allah mestinya bukan
perkara yang sulit dan mustahil. “Sebab
perintah ini…tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Tidak
di langit tempatnya...juga tidak di seberang laut..Tetapi firman ini sangat
dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu,…” (Ulangan
30:11-14). Dengan demikian, Musa mau menegaskan bahwa mengasihi Allah itu
sangat mungkin dan mudah, tidak perlu mencari-cari alasan: Ini tergantung pada
pilihan hati mau atau tidak!
Apakah untungnya hidup taat dan setia kepada Allah? Tidak kurang dari seratus
tujuh puluh enam ayat (Mazmur 119), pemazmur menggubah syair untuk
mengungkapkan kehidupan yang penuh bahagia ketika seseorang memilih taat, setia
dan mengasihi Allah dengan melakukan perintah-Nya. Benar, kehidupan bahagia
bukan berarti bebas dari pergumulan dan kesulitan. Namun, pada saat-saat itulah
kehadiran Tuhan bukanlah sebuah ilusi atau harapan kosong.
Namun, rupanya perkembangan selanjutnya hukum-hukum TUHAN itu dipahami
sebatas legal-formal yang dipakai
sebagai penanda sebuah ciri atau identitas umat Allah. Alih-alih mereka
menggunakan Hukum sebagai sarana mengungkapan kecintaan kepada Allah, yang
terjadi justeru sebagai alat untuk pemuasan kebanggaan diri atau pencitraan dan
cambuk untuk menghukum orang yang melanggarnya. Jelas jauh dari maksud semula
ketika hukum itu diberikan.
Yesus tampil berhadapan dengan hukum yang selama ini telah begitu baku dan
kaku diberlakukan dalam tatanan sosial Yahudi. Terang saja ada kelompok-kelompok yang merasa terusik
bahkan terancam dengan apa yang diajarkan Yesus, maka Yesus perlu menegaskan, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk
meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Secara
prinsip, Yesus bersikap positif terhadap warisan keagamaan Yahudi. Namun,
benarkah Yesus seolah mempersulit syarat untuk menjalankan Hukum TUHAN? Apakah
Yesus melampaui Musa?
“Aku datang…untuk menggenapinya.”
Dalam bahasa Yunani kata menggenapi
mengandung pengertian “mengisi”. Serupa dengan mengisi tempayan air atau alat
takaran gandum agar menjadi penuh. Hal ini menandakan bahwa ada “kekosongan”
ketika umat melakukan hukum TUHAN. Kata menggenapi
yang dipergunakan Yesus mengandung kiasan: yang belum lengkap. L. Deiss
menjelaskan bahwa ketika Yesus mengatakan untuk dirinya sendiri, itu berarti
bahwa kedatangan-Nya membawa kepenuhan takaran yang dikehendaki oleh Allah,
sedangkan kepenuhan itu adalah “kasih”. Kasih adalah puncak dari segala hukum.
Maka, hukum menjadi genap, bila puncaknya ditempati oleh kasih. Tetapi karena
kasih bercokol dalam hati dan tidak selalu tampil terlihat jelas dalam tindakan
nyata, maka hal-hal lahiriah (apalagi sekedar formalitas) bukanlah yang paling
menentukan di hadapan Allah.
Yesus sangat mengerti isi hati manusia – inilah yang menjadi perhatian
serius dari Yesus: isi hati manusia! Hati yang penuh dengan kemarahan, penuh
kebencian, adalah hati yang tidak jauh dari keinginan untuk melenyapkan,
membunuh dan membinasakan. Pembunuhan hanyalah akibat atau buah dari dendam
kesumat kebencian yang tidak dapat diatasi oleh pelakunya. Seorang yang marah
akan menyakiti orang lain jika ada kesempatan baginya. Ketika Yesus
memerintahkan agar para murid-Nya tidak dipenuhi oleh kemarahan, Yesus sedang
menunjukkan kepada kita jalan untuk menuju kepada kehidupan yang baik dan indah.
Perintah-Nya itu menunjukkan bahwa kita bisa melakukannya. Banyak orang
berpikir bahwa mustahil manusia hidup tanpa kemarahan. Ya, marah adalah bagian
dari emosi. Tuhan menciptakan kita dengan emosi, bayangkan manusia hidup tanpa
emosi? Hambar! Saya kira Yesus bukan melarang kita untuk hidup tanpa kemarahan,
melainkan kendalikanlah kemarahan itu agar tidak membuahkan kebencian.
Perhatikanlah bahwa seringkali penyebab kemarahan kita adalah ketika kita
merasa tidak dihargai dan kenyamanan kita terusik. Berpikirlah bahwa Anda dan
saya begitu berharga di hadapan Tuhan, masakan karena tersinggung dengan
perlakuan yang merendahkan kita kemudian amarah kita terbakar? Atau tidakah
kita berpikir bahwa Yesus Sang Anak Allah rela meninggalkan segala kehormatan
dan kenyamanannya sehingga mengambil rupa sama seperti manusia, menghamba, mati
dan disalibkan; tidakkah ini memotivasi kita untuk tidak marah apalagi dendam
ketika kenyamanan kita terusik?
Begitu pula tentang seksualitas. Apakah Yesus sedang mengatakan bahwa
seorang pria ketika memandang seorang wanita dan timbul keinginan nafsu seksual
itu sama dengan berzinah? Apakah menurut Yesus nafsu seksual itu buruk? Mungkin
kita perlu melihat kata kunci mengingini.
Kata Yunani yang dipakai adalah ephitumia.
Ephitumia dalam konteks ajaran Yesus
ini tidak mengacu kepada ketertarikan seksual secara umum, melainkan sikap yang
dengan sengaja menjadikan orang lain sebagai obyek untuk kesenangan pribadinya.
Yesus sedang menjelaskan ephitumia kepada
para pria yang sebagian besar ada di hadapan-Nya. Ephitumia adalah perzinahan, di situlah gairah seksual mengalahkan
komitmen kecintaan yang tulus karena semua perzinahan selalu, “Memuaskan
nafsuku lebih penting ketimbang memenuhi komitmenku. Aku tidak peduli jika aku
menyakiti orang lain atau tidak; saat ini yang paling kupedulikan adalah diriku
sendiri!” Jadi, siapa pun – termasuk kaum hawa – yang menjadikan sesamanya
sebagai obyek pemuasan diri di situlah ia tidak memilih kehidupan yang benar
dan indah. Ia sedang merancang masa depan suram dan kematian!
Sepintas apa yang diajarkan Yesus begitu ekstrim. Namun, sebenarnya Ia
ingin agar inti dari permasalahan yang selama ini belum tergenapi, belum
tersentuh dan terisi yakni hati manusia dapat digenapi, disentuh dan terisi
penuh! Yesus tidak bermaksud harfiah, tetapi Ia sedang menggunakan teknik
retorika yang disebut reductio ad
absurdum, yakni menelaah sebuah argumen sehingga pijakan logika yang salah
menjadi terlihat (James Bryan Smith). Selama ini orang hanya menilai dari
prilaku atau perbuatan sehingga kedalaman hati tetap tenggelam dan tidak muncul
ke permukaan. Yesus sedang membantah konsep umum dalam kehidupan masyarakat
bahwa dosa itu tinggal diam dalam bagian-bagian tubuh tertentu, misalnya tangan
yang mencuri, alat kelamin yang melakukan perzinahan, mata yang mengingini dan
kaki yang membawa ke dalam pencobaan, jadi bagian tubuh itulah yang paling
bertanggungjawab dalam melakukan dosa. Inilah juga mengapa ada komunitas yang
memberikan penghukuman potong tangan pada si pencuri. Alasannya: potong bagian
yang paling berdosa, maka orang tersebut tidak lagi berdosa! “Jika matamu yang
kanan menyesatkan engkau,” kata Yesus, “cungkilah dan buanglah itu!”
Dallas Willard dalam candaannya berkata, “Yesus tidak sedang mendorong
kita untuk memotong tiap anggota tubuh yang melakukan dosa sehingga kita masuk
sorga seperti puntung penuh darah!” Yesus justeru sedang memutarbalikan logika
umum yang tampaknya benar. Yesus mau mengatakan bahwa masalahnya bukan pada
tangan, kaki, atau mata kita – yang bermasalah adalah hati kita! Tubuh kita
memang terlibat dalam tindakan dosa, tetapi pelaku kejahatan yang sebenarnya
ada adalah di dalam diri dan imajinasi kita, di dalam hati kita. Itulah yang
sedang digenapi oleh Yesus. Dia datang untuk mengisi, membuat penuh hukum TUHAN
dengan cinta kasih yang benar. Pertanyaannya kita, “Apakah hati kita sudah berupaya
dipenuhi oleh cinta kasih kepada-Nya?” Kalau itu sudah terjadi maka, tepatlah
bahwa kita memilih kehidupan dan keberuntungan!