Berbulan-bulan
kita disuguhi drama pengadilan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Bak
sinetron, episode-episode mulai dari penyelidikan, penyidikan,
persidangan-persidangan terus ditayangkan di pelbagai media. Bahkan ada saluran
televis swasta nasional yang tidak putus-putusnya menyiarkan acara persidangan
secara langsung ditambah mengundang pengamat dan praktisi pengadilan untuk
beradu argumen. Mau tak mau emosi para penonton pun terbawa hanyut. Tahap pertama
persidangan menghadirkan saksi-saksi, di dalamnya termasuk saksi ahli
psikologi, medis, telmatika, kriminolog dan sebagainya yang dihadirkan oleh
jaksa penuntut umum. Tentunya kehadiran mereka diharapkan agar dapat meyakinkan
hakim untuk dapat menghukum Jessica Kumala Wongso seberat-beratnya. Emosi
penonton pun terbawa, mereka mulai yakin bahwa Jessicalah yang bersalah dalam
kasus ini.
Bak roda
bergulir, ketika pihak terdakwa diberi kesempatan menghadirkan saksi-saksi yang
meringankan ditambah saksi-saksi ahli yang seolah menggugat pernyataan
ahli-ahli sebelumnya. Kini, publik mulai bertanya, “Apa iya, dia pembunuhnya?”
Mulailah masyarakat melihat sisi dan kemungkinan-kemungkinan lain dari kasus ini. Kesimpulannya,
masyarakat dan kita mudah terbawa emosi dan kemudian turut andil untuk memvonis
orang yang sedang diadili dengan mengabaikan azas praduga tak bersalah padahal
persidangan belum selesai.
Seorang terdakwa
pasti akan berusaha mencari jalan agar ada orang yang membela perkaranya. Dalam
peradilan yang korup, uang sangat menentukan menang-tidaknya seseorang dalam
sebuah perkara. Uang dapat memutarbalikan kebenaran; yang salah bisa benar dan
yang benar bisa disalahkan. Oleh karena itu kita sering mendengar uangkapan
sinis, “Hukum bagaikan pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas.” Artinya,
untuk orang-orang lemah yang tidak mempunyai uang untuk membayar pengacara
ternama jangan harap dapat menang dalam sebuah perkara. Sebaliknya, orang kaya,
apalagi berkuasa dapat membeli perkara sekehendak hatinya. Banyak contoh
mengenai hal ini.
Seorang janda di
sebuah kota sedang berperkara. Sangat mungkin janda ini miskin, karena pada
zaman itu janda sudah pasti tidak ada yang memberi nafkah sedangkan untuk
kebutuhan sehari-hari ia harus mengerjakan pekerjaan kasar dengan bayaran paling
banter satu dinar sehari. Hanya cukup untuk dua kali makan. Pastinya ia tidak
bakalan mampu membayar pengacara yang dapat membelanya di pengadilan. Mungkin
sudah banyak usaha yang dia lakukan. Namun akhirnya ia pergi ke hakim yang akan
memutus perkarnya. Ia tahu bahwa keputusan akhir itu ada di tangan hakim. Eh,
ternyata sang hakim adalah seorang yang lalim. Ia tidak takut akan Allah dan
tidak menghormati seorang pun. Maka percuma bagi si janda ini untuk mengetuk
pintu hati hakim agar dapat berbela rasa. Nuraninya telah terkunci rapat untuk
belaskasihan!
Apakah perempuan
janda ini menyerah? Oh, tidak! Ia terus-menerus datang kepada hakim itu
sehingga sang hakim merasa terganggu dengan ulah si janda tersebut, “Janda ini menyusahkan aku, baiklah aku
membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.”
Tampaknya usaha si janda ini berhasil. Hakim itu membelanya bukan karena ia
tergerak oleh belas kasihan akan penderitaan si janda yang punya perkara ini
melainkan karena ia tidak mau diganggu dan kemudian menjadi stress. Dan ia juga
tidak mau dipermalukan di hadapan umum. Kisah ini dipakai Yesus untuk
mengajarkan tentang ketekunan dalam berdoa (Lukas 18:1-8). Namun, sayangnya
banyak orang menangkap hanya bahwa dengan merengek-rengek akhirnya si hakim
berpihak dan membela si janda itu. Jadi kemudian orang menafsirkannya bahwa
kita juga harus terus-menerus merengek kepada Tuhan supaya Dia memberikan apa
yang kita inginkan. Apakah begitu? Apakah Tuhan Yesus mengajarkan supaya kita
pandai merengek? Rasanya bukan begitu!
Dilihat dari
sudut perumpamaannya sendiri, yang menjadi pusat perhatian dalam perumpamaan
ini adalah si hakim yang lalim itu. Dia digambarkan sebagai seorang yang tidak
takut akan Allah dan tidak menghormati manusia. Dia menolong perkara si janda
semata-mata karena tidak mau diganggu. Maka ajaran perumpamaan ini harus
ditarik dari sikap hakim itu: Jika dia (hakim itu) yang lalim dan tidak punya
hati nurani akhirnya mengabulkan permohonan si janda, maka betapa lebihnya
Allah! Di lihat dari sudut pandang ini, boleh disimpulkan juga bahwa tujuan
perkataan Yesus yang ada dalam Lukas 17:1 dikoreksi dalam ayat-ayat
selanjutnya. Intinya adalah bahwa setiap pengikut Yesus hendaklah tetap berdoa,
sebab Allah adalah Bapa yang baik (paradox dari hakim yang lalim) pasti akan
memberikan apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya yang setia dan tekun dalam
berdoa.
Yesus tidak
bicara tentang doa “non stop” tetapi tentang “selalu/tetap berdoa”, dalam
keadaan baik maupun buruk tanpa peduli apakah ada rasa senang atau tidak.
Berdoa seharusnya menjadi salah satu ciri pengikut Yesus sampai hari kedatangan
Anak Manusia dinyatakan. Jadi doa mestinya lahir dari iman yang murni, bukan oleh perasaan (mood) atau gejolak hati. Namun, faktanya
kita berdoa lebih terdorong oleh gejolak hati kita.
Dalam
perumpamaan tentang hakim yang lalim tidak disebutkan apa yang seharusnya
dijadikan sebagai pokok doa. Tetapi dari konteks perumpamaan ini mudah diterka
bahwa yang harus didoakan ialah apa yang diajarkan Yesus sebelumnya, kedatangan
Anak Manusia dan Kerajaan Allah ( Luk.11:2). Ungkapan Yunani me egkakein diterjemahkan dalam pelbagai
cara. Terjemahan Baru :tanpa jemu-jemu;
BIS :jangan berputus asa; Injil Ende: tanpa melesu. Dari keseluruhan konteks
dapat disimpulkan bahwa yang dituju dalam ayat ini ialah mereka yang sudah
yakin akan perlunya berdoa, tetapi menderita aniaya atau sengsara yang
berkepanjangan, sehingga semangat mereka mulai melemah. Mereka ini seharusnya
bersikap seperti si janda itu. Kalau janda itu berhasil, apalagi para pengikut
Yesus! Mereka tidak berurusan dengan hakim yang tidak peduli, tetapi dengan
Allah yang penuh kasih.
Tema kita ada
yang aneh, kalau tidak mau dibilang ganjil “Beriman dalam konsep VS beriman
dalam fakta”. Seharusnya baik dalam konsep, maupun fakta sehari-hari, iman tetap
sama. Apa yang kita pikirkan (konsep), yang kita ucapkan (wacana) itulah juga
yang kita lakukan. Ini namanya integritas iman. Namun, kenyataannya tidak
selalu begitu. Hal yang sama seperti cerita perumpamaan Yesus tentang hakim
yang lalim itu. Sering kita menangkapnya bahwa yang diajarkan Yesus itu adalah
supaya kita merengek.
Konsep yang
benar tentang iman akan menolong kita terbuka melihat realita atau fakta yang
ada sehingga konsep iman itu akan menjawab fakta realita pelik dalam kehidupan
ini. Konsep iman yang diajarkan Yesus lewat perumpamaan ini adalah bahwa
realita atau fakta yang sedang dan akan dialami oleh para murid bukanlah
kenyataan yang menyenangkan. Sebaliknya, mereka akan berhadapan dengan pelbagai
aniaya kesengsaraan dari orang-orang yang membenci Yesus sampai kedatangan
Yesus kembali. Untuk menjawab itu, mereka harus senantiasa bergantung kepada
Allah. Pemazmur pernah bertanya dan bergumul ketika menghadapi banyak musuh
yang menyulitkan hidupnya, “Dari manakah
akan datang pertolonganku?....Pertolongnku ialah dari TUHAN, yang menjadikan
langit dan bumi!” (Mazmur 121). Hanya orang yang memiliki persekutuan indah
bersama dengan TUHAN akan merasakan pertolongan-Nya. “Hanya dekat Allah saja
aku tenang, dari padanyalah keselamatanku.” Begitu kata pemazmur. Dengan jalan
apa kita merasakan persekutuan indah bersama TUHAN? Berdoa dengan tanpa
jemu-jemu!
Jakarta, 7 Oktober 2017