Gao Xingjian
adalah orang China pertama penerima Nobel Sastra pada tahun 2000. Di balik
penghargaannya ada pergumulan berat. Namun, prestasinya justeru merupakan aib
bagi negaranya. Itulah sebabnya penguasa China memboikot karya-karya sastra
Gao. Novelnya, The Other Shore, dilarang beredar. Ia harus mendekam di
kamp pendidikan, tidak boleh menulis apalagi menerbitkan karyanya. Tragisnya
justeru sang isteri sendiri yang memata-matai
Gao dan melaporkan karya-karya kritis Gau kepada pemerintah. Ketika terjadi
pembantaian Tiananmen 1989, Gao menulis Fugitive
yang ditulis di kota perantauannya, Paris. Akibat tulisannya, ia dinyatakan persona non grata oleh Beijing.
Perlakuan sama
dialami oleh penerima Nobel Sastra 1970 asal Rusia, Alexander Solzhenitsyn.
Gara-gara ketahuan mengirim surat kepada kawannnya yang berisi kritikan
terhadap rezim Stalin, ia dibuang ke kamp kerja paksa di Kazakhtan selama
delapan tahun. Pada 1962 Solzhenitsyn menulis Odin den iz zhizni Ivana Denisovicha (One Day in the Life of Ivan
Dnisovich), yang lahir dari pengalaman pahitnya di kamp itu. Setelah keluar
dari kamp Kazakhtan, Solzhenitsyn kedapatan menyelundupkan naskah novelnya, The Gulag Archipelago, yang mengupas
habis borok penjara Soviet. Kewarganegaraan Solzhenitsyn pun akhirnya dicopot
dan bersama dengan keluarganya ia diusir dari Soviet.
Diusir,
diasingkan, tidak boleh lagi bersentuhan dengan teman atau saudara sebangsa
tentu menimbulkan bekas mendalam. Bagi Gao Xingjian dan Alexander Solzhenitsyn
tentunya mereka sangat menyadari konsekuensi dari perjuangan mereka.
Keterasingan merupakan harga yang harus dibayar untuk mengungkap kebenaran.
Kita dapat membanyangkan jika seseorang mengalami keterasingan, ia dikucilkan
dan dianggap nazis padahal hal itu bukan karena kemauannya sendiri. Sudah pasti
beban yang harus dipikulnya berkali lipat!
Menderita kusta
pada zaman Perjanjian Lama sampai pada zaman Yesus di sekitar komunitas Yahudi
merupakan petaka! Mengapa? Siapa pun yang terkena kusta harus dikucilkan.
Jangankan masuk kota Yerusalem, kota-kota atau dusun-dusun kecil pun tidak
boleh. Mereka tidak boleh bersentuhan dengan sesamanya yang tidak kusta. Jika
ada bangunan tersentuh oleh orang kusta, maka seluruh bangunan itu menjadi
nazis. Menyapa atau memberi salam kepada si kusta di tempat umum dianggap
melanggar hukum. Kalau ada angin yang bertiup dari arah si penderrita kusta,
maka semua orang harus menyingkir sejauh 50 meter. Ketika ada orang lain
mendekati si kusta karena ketidak tahuannya, maka wajib bagi si kusta untuk
berteriak bagi dirinya sendiri, “nazis, nazis, nazis!” Mereka harus tinggal
terasing, jauh dari pemukiman penduduk. Tidak kurang dari 116 ayat dalam Imamat
13 dan 14 berbicara tentang perlakuan terhadap si kusta. Kusta menjadi momok
mengerikan, ia bukan sekedar penyakit biasa melainkan “kutukan” sosial bagi si
penderitanya.
Di perbatasan
Samaria dan Galilea ada sekumpulan orang kusta. Di tengah peradaban umat Allah
yang mengucilkan para kusta ke pinggiran perbatasan ini, rupanya mereka dapat
bersatu. Perasaan senasib-sepenanggungan memaksa mereka hidup bersama. Bukankah
hal ini juga terjadi di mana-mana; solideritas atas penderitaan membuat tidak
ada lagi sekat di antara manusia yang merasa senasib. Lihatlah, si Samaria dan
orang-orang Yahudi tidak lagi ada pembatas. Jangan harap hal ini bisa terjadi
pada kondisi normal.
Ketika Yesus
memasuki suatu desa, datanglah sekumpulan orang kusta itu (Lukas 19 :11-19). Dari
jauh mereka berteriak, “Yesus, Guru,
kasihanilah kami!” Apa artinya ini? Mereka tahu diri, makanya tidak mau
mendekat apalagi menyentuh Yesus. Hukum telah membatasi mereka untuk
bersentuhan dengan manusia sehat. Namun, penderitaan yang amat sangat memaksa
mereka mengabaikan hukum yang ada.
Mereka berteriak; mereka menjerit
meminta dikasihani. Mereka telah mendengar tentang kuasa Yesus Sang
Penyembuh dan mereka sangat yakin bahwa Sang Guru itu pasti berlimpah dengan
bela rasa. Benar, jeritan dan keyakinan mereka tidak sia-sia. Yesus menanggapi
mereka, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu
kepada imam-imam.” Apa pula maksud Yesus ini?
Hanya orang yang
mengerti risalah tentang kustalah akan mengerti apa yang dimaksud Yesus ini.
Berdasarkan Imamat 14:2-4, hanya para imamlah yang berhak menyatakan seseorang
tahir dari kustanya atau tidak. Perhatikan kata kunci “imam” dan “tahir”.
Jelaslah bahwa kusta bukan penyakit biasa. Perjanjian Lama selalu menghubungkan
kusta dengan dosa dan penghukuman maka peran imam mutlak dibutuhkan. Dengan
perintah Yesus supaya mereka pergi dan memperlihatkan kondisi tubuh mereka
kepada imam, hal ini menjadi jaminan bahwa mereka akan mengalami pemulihan. Dan
benar saja, di tengah perjalanan mereka menjadi tahir!
Apa yang terjadi
ketika kesepuluh orang kusta itu telah tahir? Satu orang kembali kepada Yesus.
Ia tersungkur dengan suara nyaring ia memuliakan Tuhan! Dan Lukas mencatat
bahwa orang itu adalah orang Samaria! Padahal komunitas Yahudi selalu mencibir
bahwa orang Samaria hampir sama dengan orang kafir. Mereka tidak memelihara
kekudusan dan kemurinian sebagai umat Allah. Namun, ternyata orang ini
mempunyai iman kepada Tuhan. Ketika ia memohon kesembuhan kepada Yesus,
tentunya mempunyai keyakinan bahwa Yesus punya kuasa untuk memulihkannya. Orang
Samaria ini pun yakin bahwa kesembuhan yang kini dirasakannya merupakan karya
Allah, maka sepantasnyalah ia kembali dan bersyukur dan memuliakan Allah.
Pada saat yang
sama Yesus bertanya tentang Sembilan orang kusta lainnya. Pertanyaan Yesus
terasa menggelitik. Seolah sembilan orang kusta yang sudah pulih itu tidak tahu
berterimakasih. Mereka hanyut dengan euphoria kesembuhan sehingga lupa untuk
memuliakan Tuhan. Bukankah banyak di antara kita yang seperti itu; ketika kita
dirundung masalah, kita memohon dan memelas kepada Tuhan. Setelah reda badai
topan kehidupan itu, kita segera melupakan tangan kasih Tuhan yang menopang
kita.
Namun, bisa juga
kita menduga bahwa kesembilan orang kusta yang telah tahir itu sedang mencari
imam untuk sebuah legalitas. Mereka ingin para imam memberikan rekomendasi
tentang pemulihan itu. Sedangkan si Samaria, tidak harus pergi kepada imam.
Bukankah sebagai orang Samaria, ia pasti juga akan ditolak ketika ia memasuki
Yerusalem, apalagi masuk dalam Bait Allah untuk bertemu para imam? Legalitas
pasti ada gunanya, namun ketika hal itu menjadi tujuan, maka kita bisa
melupakan syukur dan terima kasih kepada Tuhan.
”Imanmu telah menyelamatkan engkau!” Iman
orang Samaria ini sebelum dan sesudah disembuhkan berbeda. Kesembilan orang
lain disembuhkan oleh Yesus, tetapi orang Samaria ini disembuhkan sekaligus
diselamatkan pula. Sesudah disembuhkan, ia tidak memandang kesembuhan sebagai
hal penting sebab di mata para imam di Bait Allah, kesembuhan tidak memulihkan
harkat kemanusiaannya sebagai orang Samaria di mata orang Yahudi. Dalam
statusnya sebagai orang Samaria dengan sakit kusta yang disandangnya justeru
kini ia dapat bersentuhan dengan Sang Juruselamat.
Kondisi pelik,
dikucilkan dan dianggap sebagai orang berdosa bukanlah alasan untuk meratapi
nasib dan mengutuki diri. Bisa jadi hal ini merupakan pintu masuk kita
bersentuhan dan merasakan kasih sayang Sang Mesias. Syaratnya sederhana;
memiliki iman! Benar, iman yang kita punya adalah pemberian dari Allah. Namun,
Allah juga menghendaki iman yang ditaburkan – walaupun itu sebiji sesawi –
haruslah bertumbuh. Jadi, iman yang bagaimana? Iman yang berharap dan
mengandalkan Tuhan dan iman yang berterimakasih, bersyukur dan memuliakan
Allah. Adakah iman yang demikian tumbuh di hati kita? Jika, “Ya” berbahagialah
karena Yesus sendiri menjamin, “Imanmu
telah menyelamatkan engkau!”