Jumat, 16 September 2016

MEMAKAI UANG SECARA BERTANGGUNGJAWAB


Kemarin saya menyaksikan acara diskusi di salah satu saluran televisi swasta bertajuk kebijakan pemerintah dalam mengangkat direktur utama Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadirkan seorang pengamat kebijakan pemerintah, anggota DPR dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Diskusi dimulai dari temuan pengamat kebijakan pemerintah. Ia mengungkapkan keheranannya tentang masih banyaknya para direktur BUMN yang melakukan tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini prilaku korup, “Bayangkan, rata-rata gaji mereka itu 600 juta per bulan, belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya. Sepuluh kali lipat dari gaji seorang presiden! Namun, mengapa mereka masih juga melakukan korupsi, apakah gaji tersebut tidak cukup menanggung kebutuhannya?”


Seorang panelis mengungkapkan argumennya, “Masalah cukup atau tidak itu relatif! Menjadi sangat cukup, bahkan berlebih jika saja gaya hidup dan penggunaan uang itu dapat dilakukan dengan efektif, efisien dan bertanggungjawab. Tapi kan sebagaimana kita tahu, untuk memuluskan seseorang menduduki jawaban strategis perlu uang yang tidak sedikit! Demikian juga untuk memelihara posisinya dalam jabatan itu agar tidak “diganggu”, maka seseorang perlu anggaran banyak. Belum lagi gaya hidup yang berubah, ditambah prilaku buruk yang menjurus kepada hedonisme, jadi teranglah bahwa gaji berapa pun tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Akibatnya, ia akan “bermain” memanifulasi dan ujung-ujungnya melakukan tindakan korup!”  

Ketika seseorang dirasuki keserakahan, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan uang dan kekayaan – dalam kenyataannya, benar uang dapat memberikan banyak hal. Ia akan menjadi orang yang sama sekali tidak peduli dengan rasa kemanusiaan. Kitab Amos banyak memberi gambaran tentang kebengisan, kekejaman, tipu daya orang kaya dan para penguasa yang memeras rakyat miskin jelata, “…supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?” (Amos 8:6). Sepanjang peradaban manusia, si miskin dan si lemah memainkan peran “obyek penderita”, dimanfaatkan dan ditindas demi ketamakan dan rasa aman semu penguasa dan orang kaya.

Ketika seseorang menempatkan uang dan kekayaan sebagai sumber rasa aman, kekuasaan, dan kebahagiaan, saat itulah uang dan kekayaan telah menjadi Mamon dengan huruf “M” besar. Di sinilah Mamon sudah dijadikan dewa dan menggeser posisi Allah dalam hidup seseorang. Bisa saja seseorang tampak beribadah, berkata-kata banyak tentang TUHAN, namuan ketika segala seuatu dinilainya dengan uang dan uang serta kemakmuran yang menjadi tujuan hidupnya, maka di hatinya tidak ada lagi tempat paling mulia yang disediakan buat Allah. Sebab, apa lagi peran Allah dalam hidupnya kalau dengan uang yang banyak, dan harta yang melimpah, ia sudah merasa aman, nyaman dan tentram? Oleh karena itu, Yesus mengingatkan dengan tegas,”…Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13)

Apa sebenarnya Mamon itu? Ini serapan dari kata Aram mamona, yang secara harafiah berarti “kekayaan” atau “keuntungan”. Memiliki kekayaan atau punya keuntungan mestinya bukan hal buruk. Namun, karena sifatnya begitu menggoda sehingga membuat orang mencarinya dengan menghalalkan segala cara bahkan melupakan Tuhan, di situlah kekayaan telah menjadi Mamon dengan “M” besar.

Sebelum Yesus mengingatkan “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”, terlebih dulu Ia memberikan sebuah perumpamaan tentang Bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-9) Inti pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa dalam waktu yang singkat, manusia harus segera memutuskan sikapnya; menerima Kabar Baik atau tidak. 
Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur ini sering menimbulkan kontroversi dan kesulitan; mengapa dalam cerita ini, seorang bendahara, yang nyata-nyata korup, memboroskan harta milik majikannya mendapatkan pujian? Benarkah sang majikan memuji ketidakjujuran bendaharanya itu? Kisah perumpamaan ini adalah kisah contoh. Contoh yang bisa saja terjadi dalam masyarakat Yahudi tentang bagaimana seorang bendahara yang karena tindakan korupnya harus menghadapi ancaman, dipecat. Jadi, ia hanya punya sedikit saja waktu bertindak untuk mengamankan masa depannya. Ia menyadari, “Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.” (Lukas 16:3). Dalam posisi terjepit itulah ia segera menggunakan sisa jabatannya untuk “berbuat baik”. Ia memanggil orang-orang yang berhutang terhadap tuannya dan meminta si penghutang itu mengubah surat-surat hutang mereka sehingga mengalami pemotongan hutang yang signifikan. Tentu hal ini membuat hati mereka gembira dan memandang bahwa si bendahara ini begitu sangat baik.

Apa yang dilakukan si bendahara merupakan semacam investasi buat masa depannya, “…supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka.” (Luk. 16:4) pikirnya. Tentu tindakannya mempunyai resiko ketika diketahui oleh tuannya. Bisa saja sang tuan memanggil para penghutang yang telah memanifulasi surat hutang mereka dan kemudian meniadakan potongan lalu melaporkan mereka untuk dijebloskan ke penjara. Namun, bisa jadi sang tuan tidak berkata apa-apa karena ia sendiri sering membebani mereka dengan bunga yang berlipat ganda untuk pembayaran hutang-hutang itu. Rupanya sang tuan dalam cerita ini memilih sikap mendiamkan. Ia tidak menuntut apalagi memerkarakan manifulasi itu. Sebagai orang yang terbiasa hidup dalam dunia bisnis, sang tuan tidak mau membantu bendahara lagi, tatapi ia menyatakan rasa kagumnya terhadap pegawainya itu. Ia tahu bahwa si bendahara itu memanfaatkan kebaikannya, dan nyatanya berhasil.  Bendahara itu berlaku cerdik, artinya menuruti nalurinya untuk mengamankan mas depannya.

Yesus menyimpulkan begitulah kecerdikan anak-anak dunia ini (ay.8). Mengapa Yesus tidak mencela kecerdikan bendahara nakal itu? Sebab, bukan kisah moral dalam hal ini yang hendak Yesus ajarkan. Ini sama halnya dengan tragedi yang dialami orang-orang Galilea yang darahnya dicampur Pilatus dengan darah hewan korban (Luk.13:1), Yesus tidak mencela kebrutalan Pilatus. Namun, laporan ini dijadikannya pelajaran agar para murid hidup dalam pertobatan.

Orang yang berada dalam keadaan kritis – dalam hal ini bendahara nakal itu – akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya. Tidak jarang orang dalam keadaan kritis akan panik dan melakukan tindakan brunder. Namun, si bendahara itu bertindak cekatan, kritis dibuatnya menjadi peluang agar ia dipandang baik dan diterima apabila ia sudah di-PHK. Kecekatan inilah yang menjadi pesan dalam perumpamaan ini. Mestinya, para pengikut Yesus lebih cekatan lagi dalam memikirkan dan berjuang agar dalam waktu yang singkat dapat menyiapkan kehidupan di masa depan, yakni kehidupan kekal.

Dengan cara apa kita menyiapkan kehidupan kekal itu? Dalam konteks perumpamaan bendahara yang tidak jujur dan ajaran Yesus tentang peringatan untuk tidak mengabdi kepada Mamon, maka kita dapat merenungkannya bagaimana sikap kita terhadap uang dan kekayaan. Dalam tradisi Yahudi, seorang bendahara yang setia adalah adalah orang yang secara teratur membagikan jatah sedekah kepada para teman-temannya, sedangkan orang yang tidak setia mengumpulkan dan menggenggam untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang dimiliki seseorang haruslah dipergunakan juga untuk mereka yang membutuhkan. Kekayaan itu tidak boleh digunakan hanya untuk pamer dan kesenangan sendiri. Cara jujur seseorang dalam mempertanggungjawabkan harta kekayaannya adalah dengan membuat orang-orang miskin di sekitar kehidupannya dapat menikmatinya. Sebab Allah memberikan – atau lebih tepatnya menitipkan – harta kepada setiap orang  di dalamnya juga terkandnung pemahaman agar dengan harta itu orang-orang miskin dapat menikmatinya. Bukan sebaliknya, menindas si miskin demi memerkaya diri sendiri.
Ingatlah, tujuan hidup orang percaya bukan harta benda itu melainkan Kerajaan Allah. Jadi perlakukanlah harta benda itu dengan semestinya: mereka adalah alat, bukan tujuan. Alat yang juga berfungsi untuk mewujudkan kerajaan Allah kini dan di sini.

Jakarta, 16 September 2016

Kamis, 08 September 2016

ALLAH MENCARI YANG HILANG

Muhammad ed-Dib, namanya menjadi begitu terkenal setelah pada Maret 1947 ia mendapatkan apa yang kemudian disebut “penemuan terbesar dalam abad ini.” Apa yang ditemukannya? Sejumlah guci yang berisi “naskah-naskah Qumran”, di antaranya salinan Kitab Yesaya. Naskah-naskah itu berusia sekitar dua ribu tahun (125 SM – 68 M)! Melalui naskah-naskah Qumran kita dapat ditelusuri situasi kehidupan iman masyarakat Yahudi pada zaman Alkitab ditulis.

Muhammad ed-Dib, sampai ke gua-gua di Khirbet Qumran bukanlah untuk mencari “harta karun” gulungan naskah-naskah yang terhubung dengan Alkitab. Ia sampai di gua itu dengan maksud untuk mencari satu ekor kambing gembalaannya yang terpisah dan hilang! Mohammad ed-Dib selalu mengembara dengan 55 ekor kawanan kambing hitamnya di daerah sekitar Laut Mati, kira-kira 12 Km dari Yerikho. Kawasan itu ialah padang gurun yang dengan kontur gunung-gunung batu dan banyak terdapat gua. Suatu hari, ia menghitung kawanan kambingnya kira-kira pukul 11 pagi. Mestinya, ia melakukan penghitungan itu pada sore menjelang malam sebelum istirahat. Namun, malam itu rupanya ia terlampau kelelahan. Ketika selesai menghitungnya, ternyata kawanan kambing itu kurang satu. Kemudian dengan segera ia meminta teman-temannya yang lain untuk mengawasi kawanan kambingnya dan ia segera pergi untuk mencarinya.

Tanpa membuang waktu, Muhammad segera pergi mencari kambingnya yang hilang. Ia menelusuri jalan dan tempat-tempat di mana ia pernah melewatinya bersama dengan kawanan kambingnya itu. Maka sampailah ia di sebuah gua di mana ia tidak menemukan kambingnya, melainkan mendapatkan “penemuan yang paling berharga abad ini”.

Dari kisah “penemuan yang paling berharga abad ini”, kita dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Yesus dalam kisah “Perumpamaan tentang domba yang hilang” (Lukas 15:1-7) merupakan kisah keseharian para gembala di kawasan Palestina – bahkan sampai pada zaman moderen ini. Di daerah-daerah gersang para gembala masih mengembara bersama kawanan kambing atau domba mereka. Menjelang sore, kawanan itu dihitung. Jika seekor hilang, tentulah si gembala akan segera mencarinya.

Gembala yang diceritakan dalam perumpaan oleh Yesus ini bertanggung jawab atas 100 ekor domba. Jika seekor dari kawanan itu hilang, maka ia harus mencarinya, Para gembala itu adalah orang-orang yang ahli dalam mencari jejak dan mereka dapat mengikuti jejak domba yang hilang tadi  berkilo-kilometer melintasi bukit-bukit. Para gembala dengan sekuat tenaga mengerahkan dayanya untuk mendapatkan kembali dombanya yang hilang. Usaha mencari domba seperti itu, bagi seorang gembala yang baik sudah menjadi adat yang berurat-berakar dalam hatinya. Sebab itu, si gembala meninggalkan domba-domba yang lain – memang di bawah pengawasan seorang teman atau dikumpulkan dalam sebuah gua – untuk mencari seekor yang hilang itu.

Seorang gembala yang baik akan terus mencari dombanya yang hilang sampai ia dapat menemukannya,  gembala itu harus membawa pulang ke rumah paling tidak bulunya untuk memperlihatkan – sebagai bukti – bagaimana domba itu mati. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan si gembala ketika ia berhasil menemukan dombanya yang hilang. Tentulah kegembiraan yang amat sangat memenuhi dirinya. Ia pasti memeluk, membelai dan melilitkan domba itu pada tengkuknya serta membawanya pulang. Pastilah ia juga akan berteriak, berseru kepada teman-temannya bahwa dombanya yang hilang kini sudah ditemukan!

Begitulah Allah memperlakukan manusia yang telah “hilang” atau menyeleweng dari hadapan-Nya dan mengembara ke mana ia menuruti hawa nafsunya serta kemudian terjebak dalam jurang kelam lumpur dosa yang akhirnya akan binasa dalam kesukarannya. Begitulah Allah bertindak terhadap orang-orang berdosa. Allah tidak saja digambarkan sebagai Allah yang Mahamurka terhadap manusia berdosa. Musa pernah kerepotan dengan umat Israel yang menyeleweng dari hadapan Allah dengan membuat berhala anak lembu emas. Mereka sujud menyembahnya. Mereka bagaikan domba yang sesat. Atas dasar itu, Allah menjadi murka dan berniat membinasakan umat itu (Keluaran 32:10). Namun, beruntunglah Musa dapat melunakkan hati Allah. Di sisi lain, Dia juga bukanlah Allah yang pasif menunggu manusia sadar diri dan kembali kepada-Nya. Allah tetap memerhatikan manusia itu, sementara manusia itu sedang dalam keadaan tersesat. Allah tetap mengasihinya, bahkan Allah sendiri mengambil inisiatif untuk mencari manusia yang sesat itu dan menyelamatkannya. Dan, sudah tentu Allah akan bergirang hati atas satu orang yang berdosa yang bertobat.

Di sinilah kita bisa memahami bahwa menemukan dan menyelamatkan yang hilang itu akan lebih banyak memberikan kegembiraan ketimbang memiliki apa yang tidak pernah hilang. Pesan ini bukan sama sekali meniadakan, apalagi menganggap tidak berarti dengan mereka yang sudah dalam keadaan “aman” yakni orang-orang benar itu. Tetapi yang mau disampaikan di sini adalah bahwa “yang hilang” atau yang “tidak aman” itu juga penting! Mendapatkannya kembali dengan susah payah, jelas-jelas akan membuat sukacita luar biasa. Inilah yang tidak dilihat oleh orang-orang Farisi yang saat itu menggugat Yesus lantaran Ia bergaul dan menerima para pemungut cukai dan orang-orang yang disebut mereka sebagai kelompok orang berdosa.

Dalam kisah-kisah perumpamaan tentang yang hilang, jelas yang dimaksudkan Yesus tentang “yang hilang” ini adalah mereka yang dikelompokkan sebagai orang-orang berdosa. Dan bukan orang-orang yang merasa  benar. Mengapa Yesus ada bersama dan menerima mereka? Di sinilah Yesus menjalankan misi sebagai Gembala yang sedang mencari doamba yang hilang itu.

Jika dari pihak Gembala, dalam hal ini Allah menemukan kembali yang hilang itu menimbulkan sukacita yang luar biasa, “Demikian juga akan ada sukacita karena di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat,…”(Luk.15:7). Lalu, kalau sorga begitu rupa bersukacita, bagaimana dengan “yang hilang” yang sudah kembali itu? Paulus, barangkali bisa mewakili “domba yang sesat” yang kemudian ditemukan dan dibawa kembali pulang. Paulus mengatakan, “- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas. Tetapi aku telah dikasihi-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” (1 Timotius 1:13). Paulus menyadari bahwa sebelumnya ia hidup di luar iman, bahkan ia seorang penganiaya dan penumpas pengikut Kristus. Ia sangat sadar bahwa dirinya adalah orang yang paling berdosa. Namun, pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa Tuhanlah yang mencari dan menyapanya. Yesuslah yang menangkap dan meraihnya dalam dekapan kasih. “Sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal. Itulah sebabnya Paulus sangat menyukuri kasih Tuhan itu (1 Tim1:12).

Tidak ada seorang pun bersih tanpa dosa. Kita bagai domba yang tersesat mestinya ketika Tuhan mencari kita, tidaklah mengeraskan hati melainkan menyambut kasih Tuhan itu. Setelah kita menyambut kasih Tuhan, maka kita dibenarkan dan disucikan oleh darah Sang Gembala. Masalahnya, kita sering lupa ketika kita sudah dibenarkan kemudian merasa hidup paling benar dan merendahkan orang lain serta melecehkannya. Mengapa kita sering mengambil peran seperti Farisi dan Ahli Taurat bukan seperti Paulus? Bukanlah Yesus menghendaki kita selalu rendah hati, menghargai dan menjadi berkat bagi mereka yang belum merasakan jamahan kasih Tuhan?

Jakarta 8 September 2016