Kemarin saya menyaksikan acara diskusi di salah satu
saluran televisi swasta bertajuk kebijakan pemerintah dalam mengangkat direktur
utama Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) menghadirkan seorang pengamat kebijakan
pemerintah, anggota DPR dan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Diskusi
dimulai dari temuan pengamat kebijakan pemerintah. Ia mengungkapkan
keheranannya tentang masih banyaknya para direktur BUMN yang melakukan
tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang, dalam hal ini prilaku korup, “Bayangkan,
rata-rata gaji mereka itu 600 juta per bulan, belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya. Sepuluh kali lipat dari gaji
seorang presiden! Namun, mengapa mereka masih juga melakukan korupsi, apakah
gaji tersebut tidak cukup menanggung kebutuhannya?”
Seorang panelis mengungkapkan argumennya, “Masalah
cukup atau tidak itu relatif! Menjadi sangat cukup, bahkan berlebih jika saja
gaya hidup dan penggunaan uang itu dapat dilakukan dengan efektif, efisien dan
bertanggungjawab. Tapi kan
sebagaimana kita tahu, untuk memuluskan seseorang menduduki jawaban strategis
perlu uang yang tidak sedikit! Demikian juga untuk memelihara posisinya dalam jabatan itu agar tidak “diganggu”, maka
seseorang perlu anggaran banyak. Belum lagi gaya hidup yang berubah, ditambah
prilaku buruk yang menjurus kepada hedonisme, jadi teranglah bahwa gaji berapa
pun tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Akibatnya, ia akan “bermain”
memanifulasi dan ujung-ujungnya melakukan tindakan korup!”
Ketika seseorang dirasuki keserakahan, ia akan
melakukan apa pun untuk mendapatkan uang dan kekayaan – dalam kenyataannya,
benar uang dapat memberikan banyak hal. Ia akan menjadi orang yang sama sekali
tidak peduli dengan rasa kemanusiaan. Kitab Amos banyak memberi gambaran
tentang kebengisan, kekejaman, tipu daya orang kaya dan para penguasa yang
memeras rakyat miskin jelata, “…supaya
kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang
kasut; dan menjual terigu rosokan?” (Amos 8:6). Sepanjang peradaban
manusia, si miskin dan si lemah memainkan peran “obyek penderita”, dimanfaatkan
dan ditindas demi ketamakan dan rasa aman semu penguasa dan orang kaya.
Ketika seseorang menempatkan uang dan kekayaan sebagai
sumber rasa aman, kekuasaan, dan kebahagiaan, saat itulah uang dan kekayaan
telah menjadi Mamon dengan huruf “M”
besar. Di sinilah Mamon sudah dijadikan dewa dan menggeser posisi Allah dalam
hidup seseorang. Bisa saja seseorang tampak beribadah, berkata-kata banyak
tentang TUHAN, namuan ketika segala seuatu dinilainya dengan uang dan uang
serta kemakmuran yang menjadi tujuan hidupnya, maka di hatinya tidak ada lagi
tempat paling mulia yang disediakan buat Allah. Sebab, apa lagi peran Allah
dalam hidupnya kalau dengan uang yang banyak, dan harta yang melimpah, ia sudah
merasa aman, nyaman dan tentram? Oleh karena itu, Yesus mengingatkan dengan
tegas,”…Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Allah dan kepada Mamon.” (Lukas 16:13)
Apa sebenarnya Mamon
itu? Ini serapan dari kata Aram mamona,
yang secara harafiah berarti “kekayaan” atau “keuntungan”. Memiliki kekayaan
atau punya keuntungan mestinya bukan hal buruk. Namun, karena sifatnya begitu
menggoda sehingga membuat orang mencarinya dengan menghalalkan segala cara
bahkan melupakan Tuhan, di situlah kekayaan telah menjadi Mamon dengan “M” besar.
Sebelum Yesus mengingatkan “Kamu tidak dapat mengabdi
kepada Allah dan kepada Mamon”, terlebih dulu Ia memberikan sebuah perumpamaan
tentang Bendahara yang tidak jujur
(Lukas 16:1-9) Inti pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa dalam waktu yang
singkat, manusia harus segera memutuskan sikapnya; menerima Kabar Baik atau
tidak.
Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur ini
sering menimbulkan kontroversi dan kesulitan; mengapa dalam cerita ini, seorang
bendahara, yang nyata-nyata korup, memboroskan harta milik majikannya
mendapatkan pujian? Benarkah sang majikan memuji ketidakjujuran bendaharanya
itu? Kisah perumpamaan ini adalah kisah contoh. Contoh yang bisa saja terjadi
dalam masyarakat Yahudi tentang bagaimana seorang bendahara yang karena
tindakan korupnya harus menghadapi ancaman, dipecat. Jadi, ia hanya punya
sedikit saja waktu bertindak untuk mengamankan masa depannya. Ia menyadari, “Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku
malu.” (Lukas 16:3). Dalam posisi terjepit itulah ia segera menggunakan
sisa jabatannya untuk “berbuat baik”. Ia memanggil orang-orang yang berhutang
terhadap tuannya dan meminta si penghutang itu mengubah surat-surat hutang mereka
sehingga mengalami pemotongan hutang yang signifikan. Tentu hal ini membuat
hati mereka gembira dan memandang bahwa si bendahara ini begitu sangat baik.
Apa yang dilakukan si bendahara merupakan semacam
investasi buat masa depannya, “…supaya
apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan
menampung aku di rumah mereka.” (Luk. 16:4) pikirnya. Tentu tindakannya
mempunyai resiko ketika diketahui oleh tuannya. Bisa saja sang tuan memanggil
para penghutang yang telah memanifulasi surat hutang mereka dan kemudian
meniadakan potongan lalu melaporkan mereka untuk dijebloskan ke penjara. Namun,
bisa jadi sang tuan tidak berkata apa-apa karena ia sendiri sering membebani
mereka dengan bunga yang berlipat ganda untuk pembayaran hutang-hutang itu.
Rupanya sang tuan dalam cerita ini memilih sikap mendiamkan. Ia tidak menuntut
apalagi memerkarakan manifulasi itu. Sebagai orang yang terbiasa hidup dalam
dunia bisnis, sang tuan tidak mau membantu bendahara lagi, tatapi ia menyatakan
rasa kagumnya terhadap pegawainya itu. Ia tahu bahwa si bendahara itu
memanfaatkan kebaikannya, dan nyatanya berhasil. Bendahara itu berlaku cerdik, artinya menuruti
nalurinya untuk mengamankan mas depannya.
Yesus menyimpulkan begitulah kecerdikan anak-anak dunia
ini (ay.8). Mengapa Yesus tidak mencela kecerdikan bendahara nakal itu? Sebab,
bukan kisah moral dalam hal ini yang hendak Yesus ajarkan. Ini sama halnya
dengan tragedi yang dialami orang-orang Galilea yang darahnya dicampur Pilatus
dengan darah hewan korban (Luk.13:1), Yesus tidak mencela kebrutalan Pilatus.
Namun, laporan ini dijadikannya pelajaran agar para murid hidup dalam
pertobatan.
Orang yang berada dalam keadaan kritis – dalam hal ini
bendahara nakal itu – akan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya.
Tidak jarang orang dalam keadaan kritis akan panik dan melakukan tindakan brunder. Namun, si bendahara itu
bertindak cekatan, kritis dibuatnya menjadi peluang agar ia dipandang baik dan
diterima apabila ia sudah di-PHK. Kecekatan inilah yang menjadi pesan dalam
perumpamaan ini. Mestinya, para pengikut Yesus lebih cekatan lagi dalam
memikirkan dan berjuang agar dalam waktu yang singkat dapat menyiapkan
kehidupan di masa depan, yakni kehidupan kekal.
Dengan cara apa kita menyiapkan kehidupan kekal itu?
Dalam konteks perumpamaan bendahara yang tidak jujur dan ajaran Yesus tentang
peringatan untuk tidak mengabdi kepada Mamon, maka kita dapat merenungkannya
bagaimana sikap kita terhadap uang dan kekayaan. Dalam tradisi Yahudi, seorang
bendahara yang setia adalah adalah orang yang secara teratur membagikan jatah sedekah
kepada para teman-temannya, sedangkan orang yang tidak setia mengumpulkan dan
menggenggam untuk dirinya sendiri. Kekayaan yang dimiliki seseorang haruslah
dipergunakan juga untuk mereka yang membutuhkan. Kekayaan itu tidak boleh
digunakan hanya untuk pamer dan kesenangan sendiri. Cara jujur seseorang dalam
mempertanggungjawabkan harta kekayaannya adalah dengan membuat orang-orang
miskin di sekitar kehidupannya dapat menikmatinya. Sebab Allah memberikan –
atau lebih tepatnya menitipkan – harta kepada setiap orang di dalamnya juga terkandnung pemahaman agar
dengan harta itu orang-orang miskin dapat menikmatinya. Bukan sebaliknya,
menindas si miskin demi memerkaya diri sendiri.
Ingatlah, tujuan hidup orang percaya bukan harta benda
itu melainkan Kerajaan Allah. Jadi perlakukanlah harta benda itu dengan semestinya:
mereka adalah alat, bukan tujuan. Alat yang juga berfungsi untuk mewujudkan
kerajaan Allah kini dan di sini.