Kamis, 14 Juli 2016

BERJUMPA DENGAN ALLAH YANG HIDUP

Sebelum meninggal, seorang petani tua mewariskan tanahnya untuk tiga orang putranya. Tanah itu dibagi rata menjadi tiga bagian. Setiap anak mendapat satu petak tanah dengan ukuran yang sama. Tampaknya, si sulung tidak gembira dengan warisan yang diterimanya. Sebab tradisi di daerah itu mengharuskan warisan itu sepenuhnya diberikan kepada anak sulung. Akibatnya, hubungan si sulung dengan kedua adiknya menjadi tidak baik. Mereka bekerja menggarap tanahnya masing-masing tanpa mau peduli dengan nasib saudaranya.

Ketika si bungsu sedang menabur benih di petak tanahnya, lewatlah seorang pengembara tua. “Anda tampak kehausan dan kelaparan,” kata si bungsu. Kemudian ia pergi ke sumur dan mengambil air untuk pengembara asing itu. Tidak hanya itu, ia juga membuka bekal makanannya dan memberikan isinya kepada pengembara itu. Sebelum melanjutkan perjalanannya, orang asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya, “Apa yang sedang engkau tanam?”
“Gandum, Tuan.” Kata pemuda itu dengan sopan.
“Maka,” kata orang asing tersebut, “gandumlah yang akan engkau panen.”

Belum lama melanjutkan perjalanannya, pengembara itu berjumpa dengan putra kedua yang juga sedang menyebarkan benih di ladangnya. “Anda kelihatan lelah dan capai,” kata anak nomor dua ini. “Singgahlah di rumah saya malam ini. Anda perlu beristirahat.” Pemuda tersebut memperlakukan tamunya dengan penuh perhatian di gubuk sederhananya yang dia bangun di atas petak tanahnya. Pengembara tua itu dijamu dengan makanan hangat dan dipersilahkan tidur di tempat tidurnya. Pada pagi harinya, orang asing itu mengucapkan terima kasih dan bertanya kepada anak nomor dua ini, “Apa yang engkau tanam?”

“Gandum, Tuan,” jawab pemuda tersebut.
“Maka,” kata orang asing tersebut, “Gandumlah yang akan engkau panen!”

Pengembara tua itu segera pergi. Ketika melewati ladang putra tertua, tidak ada sapa yang menyambutnya. Si Sulung ini sedang sibuk mencangkuli tanah sambil marah-marah hingga dia tidak sadar ada orang asing yang sedang lewat. Meskipun begitu, penggembara tua itu bertanya dengan sopan, “Apa yang engkau tanam, anak muda?”

“Tidakkah kau lihat, orang tua bodoh,” teriak pemuda yang mudah marah dan ketus ini, “Aku sedang menabur batu!”
“Maka,” kata orang asing tersebut dengan pelan dan tenang, “batulah yang akan kaupanen.”

Mudah ditebak, karena ini sebuah dongeng, akhirnya terjadilah apa yang diucapkan masing-masing anak petani itu. Si Sulung tidak mendapatkan hasil apa-apa karena ia selalu kecewa, tidak puas dan mengerjakan segala-sesuatu dengan marah-marah. Semua yang dikerjakannya gagal total. Sebaliknya, kedua adiknya mengolah tanah, menabur benih dan merawat tanaman gandumnya dengan sukacita, maka hasilnya melimpah.

Ada pelbagai sikap orang menyambut tamu. Ada yang ramah, sebaliknya ada juga yang kurang bersahabat. Abraham dan Sara berbeda dalam menyambut tamu. Tamu itu sebenarnya TUHAN sendiri (Kejadian 18:1-10). Abraham begitu antusias, ia berlari menyongsong mereka, lalu sujud menyembah. Tidak hanya itu, ia mengadakan perjamuan untuk para tamunya itu. Jamuan istimewa, anak lembu yang empuk, roti bundar, dadih dan susu! Kepada Abraham Sang Tamu itu kembali mengulangi janji Allah bahwa tahun depan ia dan Sara akan mempunyai anak! Apa reaksi Sara? Sara tertawa! Tawa bahagiakah? Bukan! Melainkan tawa hambar, mungkin juga kecewa karena Abraham dan Sara sudah tua. “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” demikian gumam Sara. Atas tindakan Sara, TUHAN menegur bahwa di hadapan TUHAN tidak ada yang mustahil! Kita pun bisa dan sangat mungkin seperti Sara, bila merasa janji tak kunjung terwujud dan usia semakin renta kemudian melupakan bahkan menertawakan janji TUHAN.

Marta dan Maria juga berbeda dalam menyambut tamu. Yesus, yang pada waktu itu dalam perjalanan menuju ke Yerusalem singgah di sebuah desa. Seorang perempuan bernama Marta menerima Dia di rumahnya (Lukas 10:38). Marta sibuk menyediakan pelbagai hidangan untuk tamu agungnya. Sedangkan Maria duduk di kaki Yesus mendengarkan ajaran Yesus. Marta menjadi jengkel dengan sikap adiknya yang tidak membantu dirinya dalam menyediakan hidangan. Lalu dengan kemarahannya, Marta meminta Yesus untuk menyuruh Maria membantunya. Di luar dugaan, Yesus mengapresiasi tindakan Maria dan sebaliknya menyebut Marta sebagai orang yang menyusahkan diri dengan banyak hal.

Di sepanjang masa kisah ini kisah ini diartikan dengan berbagai cara. Di antaranya, ada dua tipe manusia Kristen. Pertama, manusia yang aktif, sibuk ke sana – ke mari dengan mengatasnamakan pelayanan. Kedua, manusia yang menyibukkan diri dengan kontemplatif yang sibuk dengan sabda dan doa. Ada juga sejumlah ahli yang berpendapat bahwa Yesus menegur Marta. Sebab, sebagai tamu Ia tidak mengharapkan dari Marta bermacam-macam hidangan. Cukuplah bila Marta hanya menyediakan satu hidangan saja. Dengan begitu, Marta masih punya banyak waktu untuk mendengar ajaran-Nya.

Jika saja Marta tidak protes dengan cara Maria “melayani” Yesus, maka sudah tentu tidak akan terjadi polemik mengenai bagaimana seharusnya melayani Yesus. Tidak ada pertentangan dari pilihan Marta dan Maria dalam melayani Yesus, sebab keduanya saling melengkapi. Namun, perlu kita melihat dalam konteks kehidupan pada masa itu. Pelaku-pelaku utama dalam kisah ini adalah perempuan. Jadi, masalahnya bukan antara laki-laki dan perempuan. Kedua perempuan ini memilih tindakkannya sendiri untuk menyambut dan berhadapan dengan Yesus, Sang Tamu itu. Marta memilih melayani dalam bentuk yang pastinya tidak pernah dipersoalkan oleh kaum Hawa pada umumnya, yakni “menyambut dan melayani Yesus di meja makan”. Setiap perempuan Yahudi tahu diri dan pasti akan melakukan itu manakala ada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Namun, Maria justeru memilih apa yang tidak lazim dilakukan oleh kaumnya, yaitu mendengarkan sabda Yesus. Ini adalah tindakan seorang murid. Agama Yahudi tidak melarang perempuan mempelajari Kitab Suci. Namun, rasanya tidak ada seorang rabi pun yang mau mengajari dan menjadikan perempuan sebagai murid. Yesus dianggap biasa “menerobos” adat istiadat Yahudi. Ia makan bersama dengan para pendosa dan menyembuhkan banyak orang yang sama sekati tidak dipedulikan oleh masyarakat, banyak di antaranya penyembuhan itu dilakukan pada Hari Sabat. Rombongan Yesus juga terdiri dari sejumlah perempuan, dan beberapa di antaranya juga pasti bukan perempuan terhormat (Luk.8:1-3). Menurut catatan Lukas, tugas utama seorang murid Yesus adalah mendengarkan sabda (Luk. 6:47; 8:13, 15, 21). Maria menunjukkan sikap seorang murid!

Stefan Leks menengarai bahwa di masa Lukas menyusun Injilnya,  sudah timbul permasalahan mengenai peran perempuan dalam Jemaat Tuhan. Bagaimanakah situasi perempuan pada masa itu? Mereka tampaknya boleh saja mendengarkan sabda Tuhan tanpa pembatasan. Lidia menyediakan rumahnya bagi kepentingan pekabaran Injil (Kis. 16:14-dst). Keempat putri Filipus ternyata berkarya sebagai nabiah (Kis.21:9). Priskila bersama suaminya menimba pengetahuan teologis pada Apollo (Kis.18:26). Febe melayani Jemaat di Kengkrea (Roma 16:1). Gereja pada masa awal ternyata terbuka terhadap keterlibatan perempuan dalam karya kerasulan.

Namun, tetap ada perdebatan, sejauh manakah perempuan boleh dibiarkan menjadi pemberita sabda Tuhan juga. Mereka cukup hanya diberi peran sebagai daikon saja, sehingga Lukas merasa wajib mengemukakan pendapatnya, bahwa menurut Yesus, mereka harus diberi peran lebih besar. Yang diungkapkan oleh Lukas bukanlah tentang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, melainkan kebebasan untuk memilih cara melayani Jemaat Tuhan. Peranan-peranan dalam Gereja jangan dilihat dari sudut jenis kelamin atau rasa tau status sosial. Yang dikehendaki Yesus: Jadilah pelayan (Luk. 22:24-27).

Allah dapat menjumpai kita melalui pelbagai cara. Banyak di antara kita mengabaikan begitu saja perjumpaan itu. Mengapa? Karena kita tidak menyadarinya. Dengan mengasah kepekaan diri kita dapat merasakan perjumpaan itu. Perjumpaan-Nya akan selalu mengajak dan menggugah kita untuk terlibat dalam karya-Nya. Bagaimanakah kita menanggapinya? Menyambutnya dengan antusias atau mengabaikan dan menolaknya?

14 Juli 2016

Kamis, 07 Juli 2016

PERGILAH DAN PERBUATLAH DEMIKIAN


Pergilah dan perbuatlah demikian!” (Lukas 10:37) Inilah jawaban pamungkas sekaligus perintah Yesus setelah panjang lebar bersoal-jawab dengan seorang ahli Taurat tentang perbuatan apa yang menghantarkan seseorang untuk memeroleh kehidupan kekal. Apakah ahli Taurat itu benar-benar tidak tahu dan meminta Yesus menunjukkan bagaimana memeroleh hidup kekal itu?  Ternyata tidak! Ia bertanya hanya ingin mencobai Yesus (Luk. 10:25). Sebagai seorang ahli, tentunya ia sangat menguasai resep seseorang untuk menggapai hidup kekal itu. Namun, kepakarannya dalam telaah hukum Taurat tidak otomatis membuatnya ahli menerjemahkan dalam kehidupannya. Rupanya, ada jurang terbentang cukup jauh antara ahli dalam menelaah literatur Taurat dengan ahli atau tepatnya cakap melakukannya. Jawaban Yesus menyajikan jembatan yang menghubungkan jurang itu.

Kita mampir dulu ke sebuah pusat pelatihan berenang. Di sana ada kelas teori tentang cara dan metode berenang. Instruktur mengajarkan tahap demi tahap untuk dapat menguasai suatu gaya dalam berenang. Mulai dari pemanasan, melakukan gerakan kaki, tangan, badan dan bagaimana caranya mengambil nafas ketika berenang. Semua detil dipelajari bahkan tidak ketinggalan video dari atlet-atlet yang pernah menorehkan tinta emas diputar. Tujuannya jelas, peserta pelatihan tidak hanya sekedar bisa berenang tetapi mereka mahir bahkan diharapkan menjadi juara! Teori-teori itu diujikan kepada para peserta. Luar biasa, mereka mendapat nilai di atas rata-rata, bahkan nyaris sempurna! Tibalah saatnya sang pelatih membawa mereka ke kolam renang. Sang pelatih mengingatkan bahwa semua teori yang sudah mereka pelajari harus sungguh-sungguh diterapkan di kolam renang. Apa yang terjadi ketika mereka nyebur ke kolam? Ya, sudah dapat ditebak: nyaris semuanya tenggelam! Teori yang mereka pelajari selama ini, jangankan untuk meluncurkan badan di dalam kolam, untuk bertahan mengambang saja tidaklah cukup!

Teori memang baik dan berguna kalau disertai dengan latihan untuk melakukannya. Rupanya, para ahli Taurat di zaman Yesus sebagian besarnya – ini berarti tidak semua – hanya pandai menelaah, menghafal, berdebat, pendeknya berteori tentang Taurat dan turunan hukumnya ketimbang terbiasa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bisa jadi gambaran ini pun terus berlangsung di sepanjang zaman, yakni bahwa orang beragama lebih suka memisahkan antara teori dan praktek; memisahkan syareat dan hakekat serta makrifat. Ingat bukan orang Yahudi saja, kita juga bisa begitu loh!

Sekali lagi perkara yang dibicarakan Yesus dengan ahli Taurat ini adalah tentang hidup kekal. Ahli Taurat bertanya, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus menjawabnya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawaban ini menandakan bawa Yesus mengetahui bahwa ahli Taurat ini menguasai Taurat. Benar, orang itu menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus membenarkan jawaban itu dan meminta ahli Taurat itu untuk melakukannya. Namun, lagi-lagi karena tujuan dari pertanyaannya bukan untuk meminta jawaban yang sesungguhnya, maka ia ngeles lagi dan bertanya tentang siapa sesama manusia itu. Mengherankan memang, mengapa ahli Taurat ini mempertanyakan siapa sesama manusia itu? Sebab mereka memahami bahwa sesama itu adalah warga sebangsa dan paling banter orang asing yang sudah lama menetap di kawasan Yahudi. Lain dari itu tidak disebut sesama, melainkan orang kafir yang kepada mereka tidak perlu diperlakukan sebagai sasama manusia. Penulis Lukas merasa perlu menampilkan tentang pertanyaan sesama manusia ini, mengingat pertama-tama tulisannya ditujukan kepada Teofilus seorang non Yahudi yang tentunya tidak termasuk sesama manusia menurut ukuran orang Yahudi.

Yesus menggunakan kisah seorang Samaria yang murah hati dalam membangun jembatan kesenjangan antara teori dan sikap yang harus dilakukan sehari-hari. Seorang Samaria dan seorang ahli Taurat, bagaikan bumi dan langit. Begitu kontras!

Yesus memulai ceritanya. Ada seorang yang sedang mengadakan perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Nahas menimpa orang itu. Ia dirampok habis-habisan dan tubuhnya dilukai. Nyaris mati! Ada seorang imam dan kemudian seorang Lewi melihat korban itu, namun mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap si korban. Bisa jadi mereka mengira bahwa orang yang tergeletak ini tidak lagi bernyawa, menyentuhnya berarti menaziskan mereka. Atau mungkin juga mereka sedang bergegas terburu-buru untuk melayankan ibadah. Kemungkinan lain, mereka tidak mau ambil resiko; buang waktu, tenaga atau uang.

Seorang Samaria, dalam pemahaman Yahudi, mereka adalah kelompok orang berdosa yang tidak memelihara hukum Tuhan. Namun, di luar dugaan justeru orang inilah yang kemudian menolong, membalut luka-luka, menaikan ke keledai tunggangannya sendiri – dengan begitu ia berjalan menuntun keledainya. Sesampainya di sebuah penginapan ia masih memberikan perawatan dan kemudian menitipkan kepada si pemilik penginapan untuk mengurusnya, “Rawatlah dia, dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” Katanya.

Di akhir cerita, Yesus bertanya, “Di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Saya dapat membayangkan bagaimana reaksi dan mimik wajah si ahli Taurat ini. Tidak bisa tidak dan tidak ada jawaban lain, kecuali ia menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Meski ia tidak mau menjawab “orang Samaria”, namun jawabannya itu tetap menunjuk pada orang Samaria itu.

James Brian Smith pernah menulis, “Hidup dalam kerajaan Allah berarti mengasihi orang lain, karena Sang Raja adalah Allah yang mengasihi. Hidup dalam Kerajaan Allah berarti mengampuni orang lain, karena Sang Raja adalah Allah yang mengampuni. Itu berarti, hidup dalam Kerajaan Allah melibatkan keramahan – mengundang dan mengajak orang lain – karena Sang Raja adalah Allah yang ramah.”

Menjadi ramah dan mengasihi orang lain akan membuat kita rentan, dan inilah sebabnya mengapa kita enggan membuka diri melainkan cenderung membatasi sesama itu hanya “kalangan sendiri”. Sejauh saya bersama-sama dengan orang yang saya kenal, yakni mereka yang sama seperti saya, maka saya akan aman. Namun, jika saya memberi diri atau membuka pintu rumah saya bagi orang asing, maka saya akan bertemu dengan hal-hal yang tidak saya sukai. Bagaimana ketika saya menolong orang lain, lalu tindakan kasih saya itu dimanfaatkan? Bagaimana kalau saya menolong orang yang kerampokan dan si perampok masih ada di situ, bukankah saya juga akan dirampok dan disakiti? Mungkin ada benarnya kekuatiran-kekuatiran itu. Namun, sekali lagi kasih itu bukan teori dan bukan untuk diperdebatkan, melainkan: dilatih dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Yuk kembali ke kolam renang. Sama seperti intruktur berenang. Ia mengajari teori tetapi juga mewajibkan para siswanya masuk dalam kolam renang. Pertama belajar berenang, saya pun mengalami apa itu tenggelam, minum air. Namun itu tidak menyurutkan untuk terus belajar. Lama-lama tangan, kaki, semua anggota tubuh dapat terlatih dengan baik untuk bisa berenang. Setiap tarikan nafas bisa disesuaikan dengan gerak tubuh hingga bisa meluncur dengan baik. Selanjutnya, pelbagai gaya bisa dipelajari bahkan saya bisa menikmati berenang di laut sambil menikmati keindahan aneka ragam terumbu karang dengan ikan-ikan yang menawan. Bayangkan, kalau dulu saya memilih berhenti berlatih lantaran pernah tenggelam, semua pengalaman keindahan kehidupan air tidak bisa dinikmati.

Berlatih dan berusaha bersungguh-sungguh mengasihi orang lain tentu ada resiko; Anda bisa dimanfaat orang lain atas kebaikan Anda, bisa juga terluka, tersakiti. Namun, jangan berhenti! Lama-lama Anda akan terampil, terbiasa mengasihi dan yang tidak pernah Anda duga akan terlihat: Keindahan cinta kasih yang Anda tebar itu akan berbuahkan hal manis. Dan ini biasanya akan terus berantai, sehingga dunia ini diwarnai oleh cinta kasih, bukan membatasi diri dan hidup dalam kebencian. Sudah ah, saya harus mengakhiri tulisan ini, sebab kalau tidak saya pun terus berteori lagi. Sekarang, “Pergilah dan perbuatlah demikian!”

Jakarta 7 Juli 2017