Kamis, 16 Juni 2016

TUHAN YESUS SANG PEMBEBAS

“Marilah kita bertolak ke seberang danau.” (Luk. 8:22) Demikian ajakan Yesus kepada para murid-Nya. Mengapa Yesus mengajak mereka pergi ke “seberang”? Apakah hanya sekedar untuk bertamasya dan menghindari diri dari keletihan setelah berhari-hari memberitakan Injil dan terus-menerus digandrungi orang banyak sehingga ibu dan saudara-saudara-Nya saja sulit untuk menjangkau-Nya? (Luk.8:19). Dalam kisah selanjutnya, kita akan segera tahu untuk apa Yesus mengajak para murid menyeberang danau itu.

Seberang yang dimaksud oleh penulis Injil Lukas adalah “tanah orang Gerasa yang terletak di seberang Galilea” (Luk.8: 26). Rupa-rupanya, kata “seberang” bukan hanya sekedar menunjuk pada kondisi wilayah secara geografis yang memang letaknya di seberang danau Galilea atau tepatnya seberang komunitas Yahudi. Lukas memberi makna lebih dari itu. Orang Gerasa, jelas bukan ras Yahudi, strata sosial Yahudi menegaskan bahwa orang-orang di luar mereka adalah “orang seberang”, yang sering dianggap bukan sesama atau tidak setara. Ada hukum-hukum yang membatasi mereka untuk bersentuhan dengan “orang seberang” itu. Apalagi pada waktu itu Gerasa jelas-jelas penduduknya menyembah dewa-dewa yang disembah oleh penjajah Romawi maka tidaklah mengherankan kalau di sana ada banyak kuil-kuil dewa Artemis dan Zeus. Di samping itu, makanan yang dikonsumsi mereka pastilah bukan makanan halal menurut tradisi Taurat. Di Gerasa banyak orang mengonsumsi daging babi. Jadi tidaklah heran kalau di sana juga banyak peternak babi untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat Gerasa.

Melihat sepintas wilayah Gerasa, maka sebenarnya kita bisa menduga bahwa maksud Yesus mengunjungi Gerasa jelaslah bukan untuk bertamasya. Yesus benar-benar “menyeberang”, yakni keluar dari zona nyaman Yahudi dan memasuki kehidupan orang-orang yang tidak termasuk dalam kerangka keselamatan Yahudi. Yesus, yang dalam bagian sebelumnya (tema 5 Juni 2016) digambarkan sebagai personifikasi Allah yang melawat umat-Nya, kini Ia episkeptomai (mengunjungi : melawat) juga orang-orang “seberang”, orang-orang yang jauh dari keselamatan. Tujuan ke Gerasa adalah dalam rangka lawatan pemberitaan Injil. Tidaklah mengherankan, apabila kedatangan-Nya diwarnai dengan penolakkan. Angin ribut dan gelora danau yang sebelumnya menghadang Yesus dan para murid menjadi relevan ketika dibaca dalam wacana penolakan dari kuasa-kuasa jahat yang tidak menghendaki lawatan Yesus di daerah seberang itu.

Apa yang terjadi ketika Yesus menginjak “tanah seberang” itu? Sambutan pertama adalah seorang laki-laki yang menemui-Nya. Orang itu disebut sebagai “…orang yang dirasuki oleh setan-setan dan sudah lama ia tidak berpakaian dan tidak tinggal dalam rumah, tetapi dalam pekuburan.”(ay.27). Orang yang menyambut Yesus ini adalah seorang yang sedang dirasuki setan;  unclean spirit (akathartos pneuma) atau roh yang najis dan tempat tinggalnya pun najis (kuburan). Selama ini tidak ada yang bisa mengendalikan orang yang kerasukan itu. Rantai dan belenggu selalu dapat diputuskan. Roh-roh najis itu telah membuat laki-laki ini begitu menderita dan terasing.

Lengkap sudah gambaran status “daerah seberang” untuk Gerasa. Kisah ini mau menyajikan bahwa Yesus menyeberang memasuki wilayah orang najis, Ia berjumpa dengan orang yang dirasuki oleh roh yang najis, di tengah-tengah orang yang mengerjakan pekerjaan najis (beternak babi). Ia tidak hanya melewati batas wilayah, kultur, dan keyakinan yang berbeda dari Yudaisme, melainkan menghadirkan karya keselamatan Allah di tempat itu. Belajar dari sini, setiap orang yang mau memberitakan karya pembebasan Allah mestinya harus siap untuk meninggalkan zona nyaman. Zona nyaman itu bukan hanya masalah wilayah, tetapi juga psikologis, kultur budaya dan tentunya iman.

Dalam kisah penyeberangan Yesus karya keselamatan itu adalah dengan membebaskan pria yang dikuasai oleh “Legion”, istilah untuk sebuah pasukan yang sangat besar jumlahnya, sekitar 5600 prajurit! Ada yang unik dari peristiwa ini. Kalau di daerah orang-orang Yahudi, Yesus menghardikdan mengusir setan-setan. Kini, di “daerah seberang”, daerah kafir dan tempat berkuasanya setan, setan sendiri yang datang kepada-Nya. Dan ternyata, kedatangan-Nya mengusik  mereka. Kalau sebelumnya, pria yang kerasukan ini berusaha dibelenggu dan diikat dengan rantai, kini ia sendiri datang menghadap Yesus dan memohon agar Yesus tidak mengusik keberadaan roh-roh jahat itu, “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi? Aku memohon kepada-Mu supaya Engkau jangan menyiksa Aku.” (ay.29). Yesus tidak perlu rantai dan belenggu untuk menguasai orang yang kerasukan ini. Bahkan, Ia tidak juga “menguasainya”. Tetapi Ia membebaskannya! Yesus memulihkan kembali orang ini sebagai manusia seutuhnya! Sayang, peristiwa ini tidak membawa sukacita bagi masyarakat Gerasa. Beberapa penjaga kawanan babi menjadi marah sebab, legion itu masuk ke babi-babi mereka dan kemudian binasa tercebur ke danau. Bagi mereka, babi-bai itu lebih berharga ketimbang satu jiwa manusia yang kerasukan ini.

Para gembala babi kemudian melaporkan kejadian ini ke kota mereka. Tanpa menunggu waktu lama, orang banyak datang untuk menyaksikan peristiwa itu. Tentu mereka tercengan menyaksikan orang yang kerasukan itu kini sudah dibebaskan dari kuasa setan-setan yang merasukinya. Ia sudah berpakaian dan duduk dengan baik. Bukankah selama ini mereka sudah berusaha dengan pelbagai cara namun tidak berhasil. Namun, reaksi selanjutnya mereka berusaha mengusir Yesus dari wilayah mereka mengingat kerugian besar telah terjadi dengan babi-babi yang tenggelam di danau. Mereka tidak ingin Yesus membawa kerugian yang lebih besar lagi.

Yesus ditolak dan harus segera meninggalkan daerah itu. Lalu bagaimana dengan orang yang telah dibebaskan dari kuasa roh jahat itu? Lukas mencatat, “Dan orang yang sudah ditinggalkan setan-setan itu meminta supaya ia diperkenankan menyertai-Nya.” (ay.38) Permohonan ini sama artinya dengan memohon menjadi murid Yesus. Pria yang telah mengalami pembebasan ini tahu diri. Ia ingin mengucapkan terima kasihnya dengan cara menjadi pengikut Yesus. Dengan kata lain, ia ingin menyerahkan seluruh hidupnya untuk ada bersama-sama dengan Yesus. Bagaimana reaksi Yesus? “Pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu,” katanya. Sepintas kita melihat, Yesus menolak permintaan pria ini. Ia tidak mengijinkan orang ini pergi bersama-Nya. Walau bagaimana pun, orang-orang Yahudi yang akan dijumpai-Nya lagi tentu akan mengalami kesulitan untuk menerima si orang dari “daerah seberang” ini.

Namun, di balik penolakan Yesus, tersedia tugas yang luhur bagi si pria yang sudah dipulihkan ini. Yesus memintanya untuk memberitakan apa yang telah diperbuat Allah atas dirinya di dalam komunitasnya. Artinya, Yesus mengutusnya pergi memberitakan Injil kepada sesama orang-orang yang disebut “kafir” itu. Kini, si “kafir” menjadi utusan untuk orang-orang kafir! Di lain pihak, kita dapat melihat tugas perutusan terhadap orang yang dipulihkan ini adalah tugas istimewa. Mengapa? Ya, karena sebelumnya Yesus telah ditolak oleh orang-orang Gerasa. Dengan cerdik, Yesus mengutus orang Gerasa yang sudah dipulihkan ini kepada mereka agar Injil diberitakan di sana. Artinya, Injil tetap terdengar di Gerasa, walau Yesus telah meninggalkan daerah itu.

Selanjutnya, apa yang terjadi? “Orang itu pun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas diri-Nya.” (ay 39b). Orang itu melakukan tugas kesaksian dengan baik. Banyak orang yang telah mengalami perjumpaan dengan Yesus, berkomitmen untuk menjadi murid-Nya. Namun, sering kali terjebak dan mereduksi arti  menjadi murid dan mau melayani itu. Banyak orang memandang bahwa mengikut Yesus dan melayani-Nya hanya sebatas mengikuti ibadah dan pelayanan-pelayanan yang dikelola oleh gereja. Andai kita meminjam narasi orang Gerasa yang sudah dipulihkan, maka Tuhan juga berkenan mengutus kita dalam lingkungan di mana kita berada. Tuhan ingin kisah perjumpaan dengan-Nya yang membebaskan itu menjadi cerita yang hidup dalam konteks kita berada. Nah, apakah kisah kesaksian itu juga terjadi dalam segenap hidup kita?

16 Juni 2016

Kamis, 09 Juni 2016

KOMUNITAS CINTA KASIH


James Bryan Smith, pengarang The Good and Beautiful Community memulai tulisannya dengan cerita pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan dalam gerejanya. Ketika ia masih kecil, keluarganya adalah anggota gereja “main stream” yang dingin, kaku dan tertib. Pendeta seniornya telah melayani selama dua puluh lima tahun, dan gereja ini lama-lama mencerminkan kepribadiannya. Pendeta itu adalah seorang akademisi dengan kemampuan retorika yang kuat namun selera humor yang kering. Beliau sangat menyukai segala sesuatu yang elegan dan tertata. Selama bertahun-tahun James kecil bertanya-tanya, mengapa ada sebuah telepon berwarna hijau zaitun di sebelah kursi kayu besar tempat di mana sang pendeta duduk setiap kali kebaktian. Suatu ketika ada seorang anak kecil sedang menangis ketika ibadah doa sedang berlangsung, lalu ia melihat sang pendeta mengangkat telepon tersebut. Dalam hitungan detik, sang penerima tamu datang dan mengarahkan si anak beserta orang tuanya untuk berjalan keluar dari ruangan ibadah.

James meneruskan ceritanya, “Saya belajar sesuatu: anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Rupanya, kejadian itu memberi kesan mendalam baginya. Konsep yang tertanam dalam pikiran James adalah gereja merupakan sebuah tempat yang penuh dengan kesunyian. Tidak ada seorang pun yang boleh bicara satu sama lain ketika ibadah sedang berlangsung. Ia selalu mengingat itu karena kerap kali ia ditegur oleh petugas gereja. Jemes tumbuh dengan tidak menyukai segala bentuk ibadah dan kegiatan di gerejanya. Ia semakin jarang ke gereja bahkan sama untuk sepanjang tahun, kecuali Natal dan Paskah itu pun karena sang ibu memaksanya untuk datang ke gereja. Pengakuannya mengatakan, “Pengalaman-pengalaman masa kecil saya telah membentuk konsep saya mengenai Allah. Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya yang rapi dan tertib, berwajah muram, kaku dan sedih. Saya ingin segera pulang ke rumah, melepas dasi dan lari ke lapangan untuk bermain baseball bersama teman-teman. Minggu berikutnya, saya berdoa (ironi sekali) agar ada urusan mendadak supaya ada alasan untuk kami tidak usah pergi ke gereja!”

“Anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Kalimat ini yang menarik buat saya. Bukankah semestinya gereja, meminjam istilah Agustinus adalah “ibu dan guru” (Mater et Magistra) “Keselamatan hanya datang dari Allah, tetapi kita menerima kehidupan iman dari gereja, maka ia adalah ibu kita. Sebagai ibu kita, maka ia juga adalah pendidik dalam iman…sebagai seorang ibu yang mengajarkan anak-anak berbicara,…gereja ibu kita, mengajarkan bahasa iman kepada kita.” Tampaknya, sejajar dengan itu tidak terlalu salah juga kalau meneruskan bahwa gereja sebagai ibu juga mendekap dan mengajarkan cinta kasih. Bukankah gereja juga seharusnya mengajarkan dan mengenalkan itu! Mana ada ibu yang tega memisahkan anak kecil lantaran ia merengek dan mengeluarkan suara bisik. Ibu yang baik akan mendekapnya dengan penuh cinta!

Sebuah anomali nyata terjadi di mana-mana, manusia sering menyebut bahwa TUHAN adalah Allah yang merangkul semua ciptaan-Nya dengan dekapan kasih sayang. Namun, yang terjadi justeru manusia menciptakan sekat dan batas.

“Anak-anak boleh terlihat tetapi tidak boleh terdengar!” Bukankah kalimat ini sejajar dengan “Orang berdosa boleh terlihat, tetapi jangan sekali-kali ia masuk dan terlibat dalam komunitas saya!” Ia boleh hadir hanya sebagai obyek. Ya, kehadirannya hanya berguna untuk menyatakan bahwa diri saya lebih baik, saleh, suci dari pada si pendosa. Kehadirannya ada untuk dijadikan obyek dan sasaran doa kita, supaya mereka bertobat dan menerima Yesus, tidak untuk kita sentuh! Kehadiran si pendosa dibutuhkan agar keyakinan diri tetap kuat bahwa mereka layak dihukum, masuk neraka dan saya mendapat bagian sorga. Mereka ada bukan untuk diterima, apalagi dirangkul! Mungkin itu pandangan orang Farisi, bisa juga kita!

Hanya Injil Lukas yang bercerita bahwa ada seorang Farisi mengundang Yesus untuk makan bersama-sama dengan mereka dalam perjamuan. Namun, entah mengapa seorang perempuan yang tenar sebagai  seorang berdosa (barangkali perempuan sundal) masuk ruangan perjamuan itu, lalu tanpa malu-malu mengurai rambutnya dan dengan rambutnya yang terurai itu, ia menyeka kaki Yesus, menciumnya dan kemudian meminyakinya (Lukas 7:37-38). 

Bau semerbak minyak wangi tercium bagai bau busuk dalam pandangan Farisi! Mengapa perjamuan orang-orang saleh ini harus dinodai dengan kedatangan si sundal pendosa ini? Mereka terusik dan terganggu. “Jika Ia ini nabi, tentunya Ia tahu siapakah dan orang apakah perempuan yang menyentuh-Nya ini; tentu Ia tahu bahwa perempuan itu seorang berdosa,” gumamnya dalam hati (Lukas 7:39). Meskipun, Farisi itu berguman di dalam hatinya, namun Yesus tahu. Lalu Yesus  menegur Simon, si Farisi itu dengan menyampaikan sebuah perumpamaan. Perumpamaan itu berkisah tentang dua orang yang berhutang kepada seorang rentenir: yang seorang lima ratus dinar dan yang lainnya berhutang lima puluh dinar. Kedua-duanya tidak sanggup membayar. Lalu si rentenir membebaskan hutang kedua orang itu. Di penghujung perumpamaan, Yesus bertanya siapa yang lebih mengasihi orang yang membebaskan hutang mereka. Dengan cepat, Simon menjawab, “Orang yang paling banyak dihapuskan hutangnya.” Dan Yesus membenarkan jawaban itu (Lukas 7:40-43).

Tujuan utama perumpamaan ini adalah menyadarkan manusia akan dirinya sendiri, maka ucapan Yesus ini harus diartikan secara tajam, “Anda menilai diri Anda secara tepat!” Artinya, Orang yang lebih banyak utangnya dihapus, lebih mengasihi orang yang sedikit saja utangnya dihapus. Berhadapan dengan Allah, manusia tidak bisa tawar-menawar seperti pedagang Allah membebaskan dari utang, dan ini adalah sebuah kasih karunia semata Allah memberi dan hanya orang yang merasakan pemberian-Nya itu dapat menangkapnya sebagai anugerah. Dalam diri orang yang sadar akan kasih Allah, Allah melakukan keajaiaban dan justeru itulah yang harus dikagumi. Dan si perempuan sundal inilah yang betul-betul merasakan kasih karunia yang ajaib itu. Yesus, bagai seorang ibu, merangkulnya. Ia meraih dirinya dari lumpur dosa. Yesus tidak takut menjadi najis dan hina lantaran bersentuhan dengannya. Sebaliknya, Simon, si Farisi itu merasa cukup saleh, akibatnya ia tidak merasakan apa-apa dari kehadiran Yesus. Alih-alih ia bersyukur dan dapat membagikan kasih sayang, ia membatasi diri bersentuhan dengan orang najis ini!

Hanya orang berdosa yang menyadari dosanya lalu mendapatkan pengampuan akan mampu bersyukur kepada Allah. Daud menyesal telah bezinah dengan Bersyeba dan membunuh Uria. Natan dikirim TUHAN untuk mengingatkannya. Allah tidak pernah kompromi dengan dosa. Namun, Ia tetap menunjukkan kasih sayang-Nya. Nabi Natan datang bukan hanya menyampaiakan berita penghukuman. Namun ia juga menyatakan pengampunan Allah berlaku juga untuk Daud (2 Samuel 12:13). Mazmur 32 merupakan nyanyian pujian dari Daud karena dosanya diampuni.

Setiap kita, tanpa kecuali talah melakukan dosa. Masalahnya, apakah kita merasakan anugerah pengampunan pengampunan dari Allah itu atau tidak. Ataukah, kita merasa – dengan amal ibadah – telah cukup membayar dosa-dosa kita?

Hanya orang-orang yang telah merasakan cinta kasih dan pengampunan dari Allahlah yang mampu bersyukur dan berbuat apa saja, seperti perempuan sundal itu, sebagai ungkapan terimakasih. Mereka inilah yang mampu meneruskan cinta kasih Allah kepada sesamanya. Mereka akan membuka dan mendobrak sekat-sekat yang menghalangi rahmat Tuhan untuk menggapai orang berdosa yang disisihkan itu. Mestinya, gereja adalah komunitas yang meneruskan cinta kasih ini, bukan lagi membangun sekat-sekat yang dulu pernah dirobohkan oleh Kristus. Setiap orang yang telah dirangkul Kristus akan membuka dirinya untuk Kristus boleh berkarya dalam hidupnya. Paulus membahasakannya, “namun, aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus sendiri yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. “(Gal.2:20). Bayangkan, kalau gereja terdiri dari orang-orang seperti ini, niscaya gereja benar-benar menjadi “ibu” bagi semua orang. Ia merangkul semua orang dan mengasihi semua orang. Itulah komunitas cinta kasih, tidak aka nada lagi kisah-kisah ketertolakan…semoga!

Jogja, 9 Juni 2016