Jumat, 03 Juni 2016

KETIKA ALLAH MELAWAT UMAT-NYA

Siapa pun kita, ketika dirundung masalah dan kesedihan pastinya membutuhkan tidak sekedar kata-kata penghiburan, tetapi jauh dari itu, yakni teman yang memahami masalah yang dapat menopangnya agar mampu menghadapi persoalan hidup bahkan memenangkannya. Sering yang terjadi, baik yang sedang bergelut dengan kesulitan dan yang bersedia menolong tidak pada sudut pandang yang sama. Alih-alih merasa ditolong, orang yang bermasalah sering merasa digurui dan dihakimi. Padahal, bisa saja bahwa orang yang datang untuk menolong benar-benar datang dengan niat yang baik. Pengalaman Damien yang datang ke komunitas orang kusta di Molokai, Hawaii untuk memberdayakan dan mengenalkan mereka pada Injil menjadi contoh betapa tidak mudahnya niat baik dipahami dan diterima.
  
Damien adalah seorang padri Katolik asal Belgia. Pada tahun 1873 ia mengunjungi Molokai, sebuah pulau kecil di kawasan Hawaii. Ia begitu semangat datang ke pemukiman penderita lepra di Molokai, membayangkan akan mendapat sambutan antusias. Sesampainya di Molokai, ternyata tak seorang pun yang peduli. Tidak ada seorang pun penderita kusta datang memasuki kapel untuk mendengarkan khotbahnya.

Setahun berlalu dalam kesia-siaan hingga tak terasa waktu menyentuh tahun kedua belas. Damien menyerah! Ia dinafikkan oleh kaum lepra yang begitu tidak peduli dengan kehadirannya, tak acuh pada misi pelayanannya. Ia pun berkemas untuk segera meninggalkan Molokai.

Saat Damien menunggu kapal yang akan membawanya meninggalkan Molokai, di dermaga ia memandangi kedua tangannya. Samar-samar dilihatnya beberapa noda putih lekat di kedua lengan tangan, ia menyentuhnya. “Oh, Tuhan, tanganku mati rasa. Aku kusta…kusta telah menjangkitiku!” Damien meratap, segera ia memutuskan untuk kembali ke pemukiman Molokai sebagai penderita kusta. Keesokan harinya, kebaktian Minggu pagi membuat Damien terkejut. Kapel dipadati jemaat, kaum lepra Molokai. Ia berkhotbah dengan penuh kasih. Kini, ia berhasil menjangkau kaum lepra Molokai, misi yang selama dua belas tahun dirintisnya. Lepra telah menjadi tanda kasih pengorbanan Damien untuk jemaat Molokai. Setelah dua belas tahun, setelah Damien dijangkiti lepra, jemaat Molokai baru terbuka hati mereka. (Agus Santoso, dlm: “A Beautiful Heart”)

Lepra ternyata merupakan pintu masuk Damien untuk diterima bukan lagi sebagai seorang asing, seorang yang datang dari kasta lebih tinggi dan lebih sempurna yang akan mengajar dan menuntun para kusta mengenal kebenaran dalam Kristus. Namun, Damien kini benar-benar diterima sebagai bagian dari komunitas lepra kepulauan Molokai. Ia bukan lagi orang asing, kini ia telah menjadi “gue banget” bagi orang Molokai! Kondisi ini membuatnya mengerti benar kedalaman perasaan dan jiwa si kusta.

Allah mengerti pergumulan yang dihadapi manusia. Namun, seringkali manusia sulit memahami bahasa kasih Allah. Kehadiran Yesus Kristus di bumi ini adalah bagian dari cara Allah menyapa manusia. Dalam bahasa Lukas “Allah yang melawat umat-Nya.” Yesus memeragakan bagaimana cinta kasih Allah itu dapat dimengerti dalam “bahasa” manusia. Ia mengajar, memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia juga mempraktikan apa yang diucapkan-Nya itu melalui segenap hidup-Nya sehingga konsep-konsep yang abstrak tentang Allah seperti kasih, kebaikan, kepedulian dan belarasa serta pendamaian dan pengampunan terlihat jelas dalam sosok Yesus. Tidak hanya berhenti di situ, Ia pun mengerti bahasa air mata dan keputusasaan manusia dan menyediakan jalan keluarnya! Ya, di dalam Dialah manusia melihat pemenuhan dari pengharapan hadirnya Sang Mesias! Yesus telah menjawab – bukan sekedar teori dan dogmatika konseptual – dengan segenap hidup dan karya-Nya sebelum Yohanes dan murid-muridnya mempertanyakan tentang kemesiasan-Nya (Lukas 7:18-35).
Bila orang-orang pada zaman itu menjadikan Elia  sebagai standar kualifikasi seorang Mesias, Yesus telah memenuhinya. Elia pernah berjumpa dengan seorang janda di Sarfat yang kemudian anak pengharapan satu-satunya dari janda itu meninggal dan, atas kuasa Allah, Elia dapat membangkitkan anak janda di Sarfat itu. Kini, di gerbang kota Nain, Yesus berjumpa dengan bahasa air mata dan keputusasaan yang sama dari seorang janda yang anaknya telah menjadi mayat dan kini sedang diusung menuju kuburan. Yesus mengerti “bahasa” ibu janda ini; dalam hal ini tidak hanya anaknya yang mati tetapi si janda ini pun telah “mati” dalam pengharapan. Anak laki-laki satu-satunya sebagai tumpuan hidupnya, kini telah tiada. Ia dapat membayangkan bagaimana status “janda” pada masa itu. Tidak aka nada yang peduli dan menanggung beban hidupnya. Sesungguhnya ia telah mati ketika masih hidup; kematian pengharapan!

Yesus mengerti bahasa air mata dan keputusasaan janda itu, hal ini ditunjukkan-Nya melalui belaskasihan (lebih tepat: belarasa) sehingga Ia berkata, “Jangan menangis!” (Luk.7:13). Cukupkah hanya kata-kata penghiburan? Oh, ternyata tidak! Belarasa-Nya ditunjukkan dengan mengabaikan peraturan larangan menyentuh mayat (Bil.19:16). Yesus rela menjadi nazis selama tujuh hari demi berbelarasa pada si janda ini. Apakah hanya sampai di sini? Tidak! Yesus memberi kehidupan. Ia membangkitkan anak muda itu. Kebangkitan itu tidak hanya terjadi pada diri anak yang sudah meninggal, tetapi juga berdampak pada kembalinya pengharapan dari si janda di Nain ini.

Ketika orang menyaksikan peristiwa ini, mau tidak mau ingatan mereka mengembara pada Elia, sang nabi besar itu. Dulu janda di Sarfat berkata, “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kau ucapkan itu benar” (! Raj. 17:24) dan sekarang, orang banyak yang menyaksikan Yesus membangkitkan anak seorang janda di Nain berkata, “Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,” dan “Allah telah melawat umat-Nya” (Lukas 7:16). Jadi sekali lagi, sebelum Yohanes Pembaptis dan para muridnya mempertanyakan kemesiasan Yesus, Yesus telah lebih dahulu membuktikannya.

Dalam narasi Lukas, kehadiran Sang Mesias itu dihubungkan dengan “Allah melawat umat-Nya”. Kata Yunani untuk melawat “episkeptomai” mengandung arti tidak hanya sebuah perkunjungan biasa. Dalam Perjanjian Baru, kata ini muncul 11 kali yang mempunyai makna perkunjungan untuk menunjukkan kepedulian dan memberika kelegaan. Menjadi jelas kalau kata ini dikaitkan dengan Yesus sebagai Mesias. Ia datang sebagai bentuk kepedulian Allah kepada umat-Nya untuk memberikan kepada mereka kelegaan, pengharapan dan kehidupan. 

Janda di Sarfat dan Janda di Nain dan kemudian Paulus serta murid-murid yang lain telah mengalami lawatan Allah. Mereka mengalami cinta kasih dan kehidupan yang dipulihkan, pengharapan bukan sekedar pepesan kosong. Bagaimana dengan kita sekarang? Apakah lawatan Allah itu juga terjadi dalam pengalaman hidup kita dan itu sungguh-sungguh nyata bukan sekedar teori atau pepesan kosong? Jika belum, telisik kembali kehidupan kita. Jangan-jangan kitalah yang terus menutup diri, mengunci pintu hati kita dan tidak membukanya bagi Sang Pelawat Agung yang terus-menerus mengetuk pintu itu. Ketika kita bersedia membuka pintu hati kita, maka akan terlihat jelas, ada begitu banyak rancangan agung yang dirancang-Nya untuk kehidupan kita. Andaikan, kita telah mengalami lawatan TUHAN, mestinya kita sama seperti dua janda itu. Menyatakan dan menyaksikan kebenaran dari Sang Pelawat itu agar orang lain pun mengalami perjumpaan juga dengan Sang Pelawat Agung itu.

Setiap orang yang telah merasakan dan mengalami pemulihan dari TUHAN ia akan terpanggil untuk meneruskan tugas dari Mesias itu. Kita, semua orang yang percaya dan mengalami perjumpaan dengan Kristus merupakan tubuh Kristus yang hidup pada masa kini. Tubuh Kristus secara fisik, seperti ketika Ia melintasi Nazaret, Galilea, Yerusalem, Kapernaum dan Nain, tidak lagi ada di sini. Kini, Ia memercayakan diri memujud dalam diri orang percaya; gereja! Bagaimanakah sekarang, apakah gereja meneruskan tugas Perlawatan? Apakah kehadiran gereja mau keluar dari zona nyaman, seperti Yesus menanggung sengsara, seperti Damien yang kusta, seperti Ibu Teresa, dan masih banyak lagi yang lain demi meneruskan belarasa Allah bagi manusia yang nir-pengharapan?

Jumat, 27 Mei 2016

CARILAH BUKTINYA DAN YAKINLAH PADA ALLAH?

Dalam pengajaran-Nya, Yesus beberapa kali mengapresiasi sikap iman orang yang mendengar dan berharap kepada-Nya. Salah satunya adalah perwira yang bertugas di Kapernaum. Mengenai perwira ini, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!” (Lukas 7:9b). Tentu ada alasan di balik apresiasi Yesus ini. Perwira itu (bahasa Latin: Centurio) adalah komandan militer di Kapernaum. Keberadaannya di sana sebagai kepala pasukan seratus orang. Perwira ini jelas bukan orang Yahudi dan bukan pula proselit (orang non Yahudi yang menganut keyakinan Yahudi). Namun, ia memiliki kepedulian luar biasa terhadap budaknya sebagai sesama manusia. Ia mengasihi hambanya ini dan demi menolongnya, ia mau melakukan apa saja asalkan hambanya tetap hidup. Padahal dalam hukum Romawi, hamba disejajarkan dengan aset yang hidup. Ia tidak punya hak sama sekali. Seorang tuan dapat memperlakukan para budak dengan semaunya bahkan kapan pun sang tuan menghendaki, para budak dapat dibunuh dengan alasan sudah tidak lagi produktif. Maka sikap perwira ini terhadap hambanya merupakan sikap yang langka dan mau tidak mau kita akan mengatakan: luar biasa!

Bukankah pada saat ini jarang sekali ada seorang atasan atau boss yang sangat peduli dengan nasib anak buahnya. Kebanyakan menyamakannya dengan asset. Mereka dihargai dan diberi imbalan selama mempunyai kinerja dan produktifitas yang tinggi. Namun, ketika para pekerja itu sakit-sakitan, mulai tua dan tidak lagi produktif maka mulailah ada upaya-upaya penyingkiran. Perwira Kapernaum ini menjadi luar biasa oleh karena ia melawan arus. Tidak segan-segan membela dan berusaha agar hambanya kembali sehat, sekalipun harus mempertaruhkan jabatan dan kehormatannya sebagai perwira.

Perwira ini hidup di lingkungan orang-orang Yahudi yang berpedoman pada kultus dan kesucian Bait Allah sehingga dari sanalah sisitem kesalehan dan kesucian ditata. Akibatnya, orang di luar Yahudi ditempatkan berada di luar anugerah TUHAN. Mereka disebut “kafir” dan orang-orang Yahudi yang merasa sebagai bangsa pilihan cenderung meremehkan orang-orang kafir ini. Strata sosial Yahudi membuat peraturan bahwa mereka tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang disebut kafir. Sebaliknya, mereka yang dipandang kafir tentu tidak suka. Orang-orang Romawi bahkan menyebut orang Yahudi sebagai ras yang najis. Tidaklah mengherankan kalau dalam kondisi seperti ini kerap terjadi gesekan, permusuhan bahkan konflik terbuka. Meskipun demikian, perwira yang hambanya sedang sakit ini berbeda. Ia mempunyai sikap yang sangat luar biasa. Bayangkan, bisa saja ia telah menerima banyak perlakuan dan sikap yang tidak menyenangkan dari kalangan orang Yahudi; dengan kuasa serta kedudukannya sangat memungkinkan baginya untuk memperlakukan orang Yahudi dengan kekerasan. Alih-alih melakukan hal itu, perwira ini justeru memperlakukan orang-orang Yahudi dengan tindakan penuh kasih. “…sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami.” (Luk.7:5) sehingga tidak mengherankan kalau ia mempunyai teman dan sahabat dari kalangan orang Yahudi.

Bukankah biasa terjadi ketika kita dilecehkan, dianggap kafir, kita lebih suka memilih untuk membenci orang-orang yang memberi label itu? Kita lebih memilih untuk memusuhinya ketimbang mengupayakan untuk peduli apalagi berteman dan menjadikan mereka sahabat. Bukankah lebih nyaman bersahabat dengan orang-orang dari “kalangan” sendiri dari pada dengan mereka yang telah membangun stigma negative tentang kita?

Kerendahan hati mau tidak mau terpancar dari sikap dan tutur kata perwira ini. Ia sangat memahami bahwa orang Yahudi tidak diperbolehkan memasuki rumah orang kafir, demikian pula sebaliknya mereka tidak mengizinkan seorang kafir masuk ke dalam rumah orang Yahudi atau berkomunikasi dengan mereka. Dengan kenyataan itu, ia menyadari bahwa dirinya tidak layak untuk datang berbicara langsung kepada Yesus maka ia meminta teman-teman Yahudinya untuk menyampaikan permohonannya kepada Yesus. Bayangkan, seorang perwira yang mempunyai kedudukan tinggi di Kapernaum, terbiasa memerintah anak buahnya, begitu disegani dan penuh kuasa, sekarang menjadi seorang pemohon. Dan apa yang dimohonkannya itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk hambanya. Luar biasa!

Sampai di sini, kita memerhatikan beberapa sikap dari perwira Kapernaum ini. Memang berbeda dari kebanyakan orang. Sikap yang luar biasa ini disejajarkan oleh Yesus sebagai “iman yang besar”, yang tidak ada bandingnya sekalipun di kalangan Israel. Jadi, perkara iman bukanlah semata-mata orang mengenal dan melakukan ritual syareat agama. Sebab bisa saja seseorang tahu dan mengerti serta sering melakukan pelbagai pokok-pokok kesalehan hidup, namun ia tidak mempunyai kepekaan belas kasih terhadap sesamanya. Perwira ini sesungguhnya adalah orang yang memahami esensi atau “roh” dari kaidah agama itu, yakni berbelarasa terhadap penderitaan sesama dalam hal ini hambanya.

Hal yang tidak kalah menarik dari perwira Kapernaum ini adalah keyakinannya yang begitu besar kepada Yesus bahwa Dia dapat memenuhi permohonannya. Perwira itu datang dengan keyakinan sempurna dan ia berkata, “…katakana saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Luk.7:7b). Apa yang membuat perwira Kapernaum ini begitu yakin terhadap Yesus? Bisa saja keyakinan sang perwira ini berangkat dari kabar berita  di kalangan orang-orang Yahudi yang pernah menyaksikan Yesus melakukan pelbagai mujizat dan kini ia ingin membuktikannya. Kalau dugaan ini benar, berarti ia sama saja dengan kebanyakan orang lain yang percaya kepada Yesus karena melihat dan merasakan mujizat-Nya. Bukankah orang banyak selama ini berbondong-bondong mengikut Yesus oleh karena Yesus dapat menyembuhkan orang lumpuh, kusta, buta, tuli? Bukankah Ia dapat mengusir setan dan memberi makan beribu-ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan? Tidak ada yang istimewa jika sang perwira percaya kepada Yesus hanya karena ia sudah melihat bukti terlebih dahulu, semua orang begitu. Dan kalau dia seperti itu, maka tidak ada gunanya Yesus menyebutnya sebagai orang yang punya iman besar.

Justeru Yesus menghargai sikap perwira ini karena ia berbeda dari kebanyakan orang. Kebanyakan orang  mencari bukti terlebih dahulu baru kemudian percaya. Namun, perwira ini mengatakan, “katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh!” Bukankah ini merupakan pernyataan iman yang luar biasa. Ia yakin sepenuhnya, tanpa keraguan sedikit pun bahwa Yesus sanggup menyembuhkan hambanya. Dan ternyata benar, apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Tidak hanya hambanya menjadi sembuh bahkan dirinya dipakai sebagai contoh orang yang memiliki iman yang luar biasa.

Bagaimanakah dengan sikap iman kita? Apakah selama ini kita sedang sibuk mencari bukti-bukti tentang kuasa dan mujizat Tuhan, dan baru setelah itu kita percaya? JIka ini yang sedang terjadi maka kita sama dengan kebanyakan orang dan biasanya seberapa banyak pun bukti yang sudah kita kumpulkan tetap tidak akan pernah memuaskan kita. Namun, sebaliknya ketika kita sungguh-sungguh percaya maka bukti-bukti tentang kasih, kuasa, kebesaran Tuhan akan kita lihat bertebaran di mana-mana sehingga kalau kita diminta menghitungnya, tidak akan sanggup menghitung bukti-bukti itu. Bahkan, kita akan dapat merasakan bahwa setiap tarikan nafas kita adalah bukti  akan cinta kasih dan kekuasan-Nya bagi kita. Percayalah dengan segenap hatimu, maka engkau akan melihat buktinya!