Kamis, 19 Mei 2016

BERSAKSI AKAN KARYA KESELAMATAN ALLAH

Minggu Trinitas 2016

Dalam mitologi Yunani, dewa Hermes digambarkan sebagai dewa multi talenta, serba bisa dengan tugas yang begitu banyak, antara lain pelindung daerah perbatasan, pelindung bagi pengembara, gembala, sastrawan, orator, atlit, peneliti dan orang-orang yang berkecimpung dalam perdagangan. Hermes tidak hanya pelindung bagi orang baik-baik, tetapi juga bagi penipu dan pencuri. Tidak hanya urusan duniawi, Hermes dipercaya juga untuk membantu para roh menemukan jalan menuju “dunia bawah” karena dia salah satu dewa yang bisa keluar masuk “dunia bawah” itu dengan mudah. “Dunia bawah” dalam mitologi Yunani merupakan tempat berdiamnya roh-roh orang yang telah meninggal. Disebut juga Hades. Nama Hades diambil dari nama dewa penguasa “dunia bawah”, dunia kematian.

Dari sekian banyak tugas Dewa Hermes, sebenarnya tugas utamanya adalah menyampaikan pesan dari para dewa Olympus kepada manusia agar manusia memahami apa yang dikehendaki oleh para dewa dan dengan demikian manusia akan melakukan apa yang menjadi kehendak dewa sehingga terjadi kebahagiaan di semesta alam. Hermes dianggap mempunyai kecerdasan lebih dibanding para dewa lainnya. Ia mampu membahasakan bahasa dewa tingkat langit menjadi bahasa manusia jelata tingkat bumi. Hermeslah “jembatan” penghubung antara para dewa dan manusia.

Dalam perkembangan ilmu moderen, khususnya filsafat, Hermes sering dirujuk sebagai cikal-bakal dari ilmu hermeneutika, yakni suatu kajian ilmu yang ditujukan untuk sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi yang sulit dimengerti hingga dapat dipahami dengan baik (Richard E Palmer). Umumnya dalam proses kajian hermeneutika terdapat tiga unsur penting, yakni: mengungkapkan, menjelaskan dan menerjemahkan.

Manusia dikaruniai Tuhan dengan nalar atau akal budi. Ia menjadi makhluk linuwih dibanding dengan ciptaan lain. “Namun Engkau telah membuatnya hamper sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya;…” (Mazmur 8: 6-7). Meskipun disebutkan “hampir sama seperti Allah”, tetap saja manusia memiliki keterbatasan. Manusia tidak selamanya mengerti, memahami apalagi melakukan apa yang dikehendaki Allah. Dalam hal inilah manusia memerlukan “Penolong” yang tidak saja dapat mengungkapkan, menjelaskan dan menerjemahkan pesan Ilahi, melainkan juga memberi keberanian, kekuatan dan pertolongan agar apa yang sudah diterima itu dapat dilakukan seutuhnya dalam kehidupan kini dan di sini. Sebelum manusia memintanya, Yesus telah menjanjikannya kepada para murid sebelum Ia kembali kepada Bapa-Nya yang di sorga. Penolong itu bukan Hermes. Ialah Roh Kudus!

Sekalipun Yesus telah berusaha sedemikian rupa, Ia menjadikan Firman itu hidup dalam diri-Nya (“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,…”(Yoh.1:14). Namun, tetap saja para murid belum mengerti sepenuhnya. Sekalipun berulang kali Yesus menjelaskan dengan begitu terbuka bahwa diri-Nya harus mengerjakan pekerjaan Bapa sampai tuntasakan tetap saja mereka tidak memahaminya. Keterbatasan para murid ini terungkap dalam ucapan menjelang penyaliban Yesus, “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum sanggup menanggungnya.” (Yoh. 16:12). Yesus mengatakan bahwa mereka “belum sanggup menanggungnya.” Apa sebenarnya yang belum sanggup ditanggung oleh para murid itu? Apakah akan ada lagi pewahyuan-pewahyuan lain sesudah kematian Yesus? Bukankah Yesus sendiri sudah sempurna menghadirkan gambaran Bapa di dunia ini?

Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa para murid belum dapat menanggung kenyataan ucapan Yesus berkaitan dengan penderitaan keji dalam rangakian penyaliban yang sebentar lagi akan di alami-Nya. Matius, Markus, Lukas jelas mengatakan itu. Tetapi dalam Injil Yohanes, yang paling banyak dikatakan Yesus menjelang perpisahan-Nya bukan soal derita nestapa mengerikan namun bahwa Anak Manusia harus ditinggikan dan dimuliakan kembali kepada Bapa. Kalau para murid di dalam Injil sinoptik gagal untuk menangkap bahwa Yesus harus melalui via dolorosa; penderitaan yang mengerikan sebagai bentuk ketaatan kepada Bapa-Nya. Sangat mungkin, dalam Injil Yohanes mereka kesulitan memahami kepergian-Nya melalui peristiwa salib itu adalah jalan menuju kemuliaan. Aneh, salib koq mulia! Akan tiba saatnya semua yang diberitahukan Yesus itu terjadi. Kematian dan kebangkitan Yesus akan menyatakan kebenaran ucapan Yesus. Pada saat itu mereka akan terguncang (di sinilah yang dimaksud bahwa mereka belum sanggup menerimanya) namun pada waktu yang sama, Roh Kebenaran itu akan memimpin para murid kepada semua kebenaran yang pernah diucapkan Yesus. Roh itu tidak akan menyampaikan kata-kata baru melainkan menegaskan kembali akan apa yang sudah disampaikan Yesus. Sebab Roh itu tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, melainkan dari Yesus sendiri (Yoh.16:13).

Roh Kudus membimbing para murid pada kebenaran. Tentu yang dimaksudkan bukan hanya sekedar bimbingan nalar intelektual untuk mengerti dan memahami apa yang telah dikatakan Yesus. Bimbingan Roh Kudus juga kelak akan nyata melalui cara hidup yang sesuai dengan apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus. Cara hidup yang seperti apa? Tidak lain, cara hidup seperti yang dilakukan oleh Roh Kudus. Yang bagaimana? Roh Kudus itu memberi kesaksian pembenaran terhadap karya Yesus. Maka cara hidup seperti yang ditempuh oleh Roh Kudus adalah bahwa setiap orang percaya harus harus memberi kesaksian tentang Yesus sendiri. Sebagaimana Yesus telah bersaksi tentang Allah, Bapa-Nya. Ia menyaksikan Sang Bapa dengan begitu sempurna, sehingga setiap orang yang melihat-Nya akan melihat Bapa (Yoh.14:9b). Sedangkan Roh Kudus memberikan kesaksian terhadap Yesus bahwa apa yang dilakukan Yesus itu adalah Kebenaran. Di sinilah terjadi hubungan yang unik dari Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Yesus menyatakan bahwa segala sesuatu yang dipunyai Bapa adalah kepunyaan-Nya. Apa yang dipunyai oleh Anak disampaikan-Nya kepada Roh Kudus. Roh Kudus pun menyatakannya kepada para murid tentang apa yang diterima-Nya dari Anak. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran yang membimbing para murid untuk mengerti kebenaran perkataan dan tindakan Yesus yang diutus Sang Bapa. Ketiganya: Bapa, Anak dan Roh Kudus menyatakan kemuliaan, kebenaran, mengasihi, mengenalkan dirinya kepada manusia.

Atas peran kuasa Roh Kudus para murid melanjutkan tugas kesaksian tentang Yesus Kristus. Kini, kita yang menjadi percaya atas kesaksian para murid itu mestinya mempunyai keprihatinan yang sama. Kita terhisab menjadi persekutuan yang utuh, apabila bersama-sama dengan para murid dan juga semua orang percaya di sepanjang abad dan di segala tempat dapat meneruskan tugas kesaksian ini. Iman percaya dan kesaksian para murid – dan tentunya kita pada saat ini – bukan hanya perkara intelektual. Bahwa kita dapat menguraikan pemahaman iman Kristiani dalam tataran nalar intelektual, jelas itu penting. Namun, tidak berhenti di sini. Sebab, iman itu menjadi nyata justeru dalam kesaksian hidup. Dan kesaksian yang benar bukanlah sekedar ucapan argumentasi doktrinal saja. Meskipun tidak disangkal bahwa hal itu penting, namun kesaksian yang berdasarkan pada kebenaran fakta dari prilaku yang berpusat pada ajaran dan cara hidup Yesus merupakan kesaksian yang tidak terbantahkan!

Ketika kita melihat hubungan Ketritunggalan Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang saling menyaksikan kemuliaan-Nya masing-masing maka kita dapat melihat keberadaan kita saat ini. Apakah berada dan terhisab di dalam persekutuan Tritunggal itu ataukah kita masih ada di luarnya? Bagaimana mengetahuinya? Sederhana! Seperti Yesus, Sang Anak memuliakan Bapa-Nya dengan mengerjakan ketaatan sampai mati dan Roh Kudus yang menyaksikan, menyatakan kebenaran dan memuliakan Yesus, dan Sang Bapa yang memuliakan Yesus, apakah hidup kita juga memuliakan, menyatakan kebenaran melalui ajaran dan teladan Yesus sehingga menjadi kesaksian bagi dunia ini? Jika itu yang telah dan sedang kita lakukan maka kita hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal itu. Namun, jika hidup kita tidak berpadanan dengan sebutan sebagai anak-anak Tuhan atau murid-murid Yesus seperti yang dicontohkan oleh para murid dahulu, maka sesungguhnya kita masih berada di luar persekutuan dengan Allah Tritunggal itu.


Kamis, 12 Mei 2016

ROH KUDUS PENDUKUNG PARA PEKERJA PELAYANAN KRISTUS

Ada saatnya Yesus tidak lagi bersama dengan para murid. Ia telah menyelesaikan mandate Bapa dan kini, harus kembali kepada Sang Bapa. Namun, para murid harus melanjutkan apa yang sudah Yesus kerjakan bersama-sama dengan mereka. Yesus tahu pekerjaan itu tidak mudah malah cenderung sulit dan mustahil. Oleh karenanya, Ia meminta kepada Bapa seorang Penolong lain yang akan menolong para murid dalam perjalanan mereka di dunia setelah perpisahan itu. Penolong itu akan datang sebagai utusan Bapa dengan peran utmanya: Mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu kepada para murid akan apa yang telah mereka terima dari Yesus dan menolong mereka untuk berani menjadi saksi iman. Peran yang dilakukan oleh Sang Penolong ini adalah kesinambungan dari peran yang selama ini dikerjakan oleh Yesus sendiri. Roh Kudus menjadi cara kehadiran yang baru dari Yesus bagi para murid. Penolong itu adalah Sang Penghibur yang tidak lain dari Roh Kebenaran atau Roh Kudus. Ialah yang meneguhkan para murid untuk menghadapi pelbagai tantangan dan kesulitan iman agar mereka berjalan dalam kebenaran, bertahan dalam kesaksian mereka tentang Yesus Kristus walau menyakitkan, bertahan dalam pertentangan mereka dengan dunia ini. Roh itu jugalah yang melengkapi mereka kelak dengan pelbagai karnuia untuk tugas kesaksian.

Janji Yesus segera digenapi tidak lama setelah kenaikan-Nya ke sorga. Tepat ketika perayaan Pentakosta di mana setiap orang Yahudi dalam radius 20 mil wajib berkumpul dan merayakan pemberian Taurat kepada Musa di Gunung Sinai dan sekaligus juga perayaan pengucapan syukur atas berkat Tuhan melalui hujan dan kesuburan tanah sehingga mereka dapat memetik hasil panen.  Roh Kudus turun ke atas para murid. Dampaknya, mereka mampu berbicara dalam pelbagai bahasa kepada orang-orang yang datang dari pelbagai penjuru untuk menghadiri perayaan itu (Kisah Para Rasul 2 :1-21). Sehingga bahasa tidak lagi menjadi hambatan untuk mereka mendengar Injil. Selanjutnya, sejarah gereja mulai bergulir. Roh Kudus memimpin para murid dan juga orang-orang yang telah menjadi percaya karena kesaksian para murid itu untuk terus menyaksikan Injil Tuhan. Benar, ada banyak kesaksian mujizat yang menyertai pelayanan para murid. Namun, ada banyak juga kesaksian sederhana tentang hidup keseharian mereka yang mau membuka diri, peduli pada penderitaan sesamanya. Kesaksian para murid ini begitu efektif dan pertumbuhan orang percaya begitu pesati. Kuncinya sederhana, selain Roh Kudus yang mendukung pelayanan mereka, yang tidak kalah penting adalah bahwa mereka mau dipimpin oleh Roh Kudus.

“Semua orang yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” Begitu kata Paulus dalam Roma 8:14.

“Dipimpin Roh Allah” apa maksudnya? Apakah itu berarti, Roh Allah itu menguasai manusia sepenuhnya sehingga manusia itu bagaikan “robot” (pasif) yang menuruti saja apa yang dimaui oleh Roh itu? Atau, apakah manusia yang aktif dan seolah-olah mengatur agar Roh Allah itu mau bekerja di dalam dirinya dengan memberikan pelbagai karunia agar mampu melakukan tugas kesaksian? Atau adakah pemahamnan lain di antara peran manusia yang “pasif” dan “aktif” itu?

“Dipimpin” (agontai), bentuk kata kerja pasif ini ini dapat berarti diartikan secara medial, jadi manusia itu bukan benar-benar pasif seperti robot yang digerakan oleh program dan sumber energy. Atau manusia itu yang aktif mengatur Roh Allah supaya memberikan pelbagai mujizat. Bukan begitu! Kata kerja medial ini berada di tengah-tengah antara pasif dan aktif. Oleh karenanya dapat diartikan “membiarkan diri untuk dipimpin” (bnd. 1 Kor.11:6; Gal.5:12). Maka, yang diutamakan di sini bukan karunia-karunia sesaat  spektakuler yang membuat banyak orang terheran-heran, melainkan bimbingan Roh dalam kehidupan sehari-hari agar manusia yang dipimpin-Nya mampu hidup seperti yang dicontohkan Kristus. Roh itu memimpin manusia agar dapat “mematikan perbuatan-perbuatan tubuh atau nafsu kedagingan”. Perhatikan, bukan Roh itu yang mematikan nafsu kedagingan sehingga manusia hanya menjadi penonton. Pasif! Melainkan manusialah yang menghadapinya dengan kekuatan dari Roh yang memimpin itu.

Kalau seseorang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah, maka Roh itulah yang merupakan pusat kegiatan di dalam diri orang itu. Peran Roh tidak meniadakan atau menggantikan kegiatan manusia melainkan mencetuskan dan memotivasi kegiatan kita. Itulah yang disebut “membiarkan diri dipimpin oleh Roh Allah.

Pimpinan Roh Allah itu membuat manusia menjadi “anak Allah”. Ya, sudah barang tentu “anak” yang dimaksudkan di sini bukanlah anak biologis. Dalam Alkitab hakikat hubungan anak-ayah ialah bahwa sifat dan tabiat anak ditentukan, dibentuk oleh sifat dan tabiat ayahnya. Menjadi anak seseorang itu berarti: menjadi serupa, memakai ciri-ciri yang sama. Selain itu, antara anak dengan bapaknya terdapat hubungan yang sangat akrab, khusus dan pastinya berbeda dengan hubungan yang lain. Mereka sehati-sepikir, seiya-sekata. Seperti apa yang Yesus katakana dalam Yohanes 14:10, “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa yang Kukatakan kepadamu tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.”.

Selanjutnya, tradisi Yudaisme memahami bahwa anak itu bekerja sama dengan bapaknya, kehendak bapak merupakan pedoman bagi kegiatannya. Seorang anak yang baik, pasti mempunyai dorongan batin yang menyebabkan dia tidak bisa tidak bertindak sesuai dengan kemauan bapaknya. Di pihak lain, bapak mengasihi anaknya, membuka pikiran serta rencananyya kepada anak itu, berusaha memenuhi keinginan wajar dari sang anak, dan menjadikannya anak itu sebagai ahli waris dari segala yang ia punya. Manusia yang membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh Allah adalah anak Allah, artinya kedudukan mereka sebagai anak Allah menyebabkan mereka hidup dekat dengan Allah dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.

Penerimaan hidup yang dipimpin oleh Roh Allah menurut keyakinan dan pengalaman orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru terjadi bersamaan dengan penerimaan baptisan (lih. Kis 10:47; 19:2; 1 Kor. 6:11; 12:13; 2 Kor. 1:22; 1 Pet. 1:2). Dalam baptisan mereka menerima kedudukan sebagai anak, sekaligus menerima Roh yang membuat mereka sanggup hidup sesuai dengan status tersebut. Roh yang kita terima itu bukanlah Roh perhambaan atau perbudakan. Roh perbudakan membuat hubungan kita seperti tuan dan budaknya. Biasanya dalam hubungan seperti ini hamba selalu berada dalam baying-bayang ketakutan. Tetapi Roh Kudus membuat hubungan kita dengan Allah bagaikan ayah dengan anak. Hubungannya berdasarkan cinta kasih, sehingga setiap saat kita bisa menyapa dan berseru “Ya Abba, ya Bapa!”

Dalam kenyataannya, kita yang suka menyebut diri anak-anak Tuhan sering tidak seideal itu. Manakala kita berseru dan memanggil “Ya Abba, ya Bapa”, nyatanya kita tetap sendiri dalam menghadapi pelbagai masalah, konflik, dan nestapa hidup. Barangkali di sinilah kita perlu tafakur, apakah hidup kita benar-benar telah membuka dan membiarkan diri dipimpin seluas-luas oleh Roh Kudus itu. Ataukah ada kalanya dalam bagian-bagian episode tertentu kitalah yang justeru ingin memegang kendali atas hidup kita sendiri. Jika ini yang terjadi, maka barangkali tidak terlalu pas hubungan mesra “ayah-anak” ini dikenakan dalam kehidupan kita. Kalau kenyataaanya demikian, maka kita harus berani mengoreksi diri sendiri!