Kamis, 24 Maret 2016

TETAP TEGUH DAN SETIA

Banyak tokoh yang berperan di seputar penyaliban Yesus. Peran atau sepak terjang mereka kelak terus dikenang orang. Sebut saja si Penghianat, orang akan segera menghubungkannya dengan Yudas. Peran antagonis, dalam kalbu kita akan segera membayangkan ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala dan orang Farisi. Lalu Petrus selalu dikenang sebagai orang yang pernah menyangkal Yesus, namanya dikaitkan juga dengan ayam. Pilatus, identik dengan tokoh yang suka cari aman sendiri, sehingga terkesan ambigu dalam mengambil keputusan. Sedangkan Yesus sendiri adalah figure hamba TUHAN yang setia menjalani penderitaan sampai kematian-Nya di gantung pada kayu salib di bukit Tengkorak.

Setelah penangkapan-Nya, Yesus diadili. Pelbagai upaya dikerahkan oleh para pejabat agama yang sekongkol dengan serdadu Romawi untuk dapat melenyapkan Yesus. Kesaksian palsu dan pelbagai tuduhan rekayasa dikaitkan dengan kiprah Yesus selama ini. Injil sinoptis (Matius, Markus, Lukas) menggambarkan Yesus seperti “anak domba yang dibawa ke pembantaian”, Ia diam saja dan sesekali mengiyakan apa yang dikatakan imam besar bahwa Ia adalah Mesias, “engkau telah mengatakannya.” (Matius 26:64). Hal yang sama terjadi ketika Pilatus menginterogasi-Nya, Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.” (Mat. 17:11). Selanjutnya Yesus diam seribu basa! Hal ini berbeda ketika kita membaca narasi penyaliban ini versi Yohanes. Yesus tidak bungkam, Ia menjawab tuduhan-tuduhan itu.

Yohanes mencatat ada dialog antara Yesus dan Hanas yang isinya menjelaskan bahwa Ia mengajar tidak dengan sembunyi-sembunyi, jika ingin mengetahui ajaran-Nya, Yesus menyuruh imam besar itu menanyakannya kepada orang banyak yang telah mendengarnya. Jawaban ini membuat marah seorang pengawal yang kemudian menampar muka Yesus. Yesus tidak diam! Ia membalas dengan mengatakan, “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh.18: 23). Tampak sekali bedanya dibanding narasi Injil sinoptik. Yesus begitu tegar dan percaya diri. Ia yang mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa kalau ditampar pipi kiri, berilah juga pipi kananmu. Kini, Ia tidak memberikan bagian muka yang lainnya, malah memprotes perlakuan tidak menyenangkan itu!

Yesus tidak diam juga ketika Ia berhadapan dengan Pilatus. Ketika Pilatus bertanya kepada-Nya mengenai tuduhan orang banyak bahwa Dia adalah orang Yahudi, Yesus kemudian menjelaskannya. Di situlah terjadi dialog yang berakhir dengan pernyataan bahwa diri-Nya datang ke dunia ini supaya memberi kesaksian tentang kebenaran. Dan Ia menegaskan bahwa setaiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan diri-Nya (Yoh. 18:37), perikop ini ditutup ngambang dengan pertanyaan Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” (Yoh.18:38).

Namun, pada saat itu sebenarnya Pilatus mulai menyadari bahwa Yesus sama sekali tidak bersalah. Ia mulai mengerti tentang kebenaran yang diajarkan Yesus walaupun dalam waktu yang begitu singkat. Hal ini terbukti ketika Pilatus menyatakan di depan umum bahwa ia tidak mendapati kesalahan dalam diri Yesus dan sebenarnya sejak saat itu pula Pilatus berupaya untuk membebaskan Yesus dari tuntutan hukuman mati. “Sejak saat itu Pilatus berusaha untuk membebaskan Dia, tetapi orang-orang Yahudi berteriak, ‘Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya seorang raja, ia melawan kaisar.” (Yoh.19:12). Dalam kegamangannya itu, Pilatus berusaha mengorek Yesus lagi dengan mengatakan jaminan bahwa dirinya berkuasa untuk membebaskan Yesus. Namun kembali Yesus menyanggah bahwa Pilatus tidak mempunyai kuasa apa pun jika kuasa itu tidak diberikan  dari atas.  

Kini secercah kebenaran yang mulai menerangi hati Pilatus harus berhadapan dengan tuntutan orang banyak yang menghendaki kematian Yesus. Pilatus tidak berdaya mempertahankan kebenaran itu! Ia memilih menyerahkan Yesus kepada orang banyak untuk disalibkan. Namun, pada bagian akhir upayanya, Pilatus meminta para prajuritnya untuk menuliskan kalimat di atas kayu salib yang berbunyi, “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” dalam tiga bahasa (Ibrani, Latin dan Yunani). Sangat mungkin, Pilatus menempatkan tulisan itu sebagai sindirian untuk membuat hati orang-orang Yahudi menjadi marah dan tersinggung. Bukankah baru saja mereka meneriakan bahwa mereka tidak mempunyai raja kecuali Kaisar. Mereka dengan tegas dan penuh kebencian menolak Yesus sebagai Raja (padahal belum sepekan mereka menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem sebagai Raja, mereka mengelu-elukan Yesus dengan Hosana, diberkatilah Engkau yang datang sebagai Raja..!).

Rupanya sindiran Pilatus begitu mengena, sehingga para pemimpin Yahudi berkali-kali meminta kepadanya untuk menyingkirkan atau mengubah tulisan itu. Tetapi Pilatus menolaknya, “Apa yang kutulis tetap tertulis,” katanya. Di sini Pilatus bersikap keras dan tidak mau mundur padahal sebelumnya ia menyerah terhadap keinginan orang banyak untuk menyalibkan Yesus. Salah satu paradox dalam kehidupan manusia, termasuk kita adalah bersih keras terhadap perkara-perkara yang tidak penting, namun lemah terhadap hal-hal prinsip yang sangat penting. Kalau saja Pilatus teguh pada pendirian terhadap kebenaran yang disampaikan Yesus maka bisa jadi dia akan menang terhadap taktik intimidasi orang-orang Yahudi itu dan menolak untuk dipaksa menuruti keinginan mereka. Selanjutnya, mungkin saja dalam sejarah ia akan dikenal sebagai orang besar yang teguh pada pendiriannya yang kuat. Tetapi sayangnya, ia dikenal sebagai orang yang menyerah dalam hal penting tetapi teguh dalam hal yang tidak penting.

Yohanes mengisahkan perjalanan Yesus menuju salib Golgota adalah perjalanan Anak Manusia yang begitu tegar tidak sedikit pun gentar. Dia tidak memakai kesempatan yang ada, termasuk kuasa Pilatus yang memberikan tawaran untuk membebaskan-Nya. Tidak ada kesan Ia ketakutan dan berseru, “Eli, Eli lama sabaktani!” Ia mengerti, bahwa Sang Bapa menghendaki-Nya terus sampai di Golgota! Yesus dalam pandangan Yohanes bukanlah sosok yang dikorbankan bagi penebusan.  Melainkan, dengan penyerahan total terhadap kehendak Bapa, Ia mengorbankan diri-Nya sendiri. Ia tidak dibunuh, melainkan Ia menyerahkan diri-Nya! “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia – supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci-: ‘Aku haus!” (Yoh.19:28).  

Yesus telah memberikan teladan tentang kesetiaan kepada Bapa. Jalan salib yang terjal dan menyakitkan bukan sebuah rintangan sehingga harus dihindari. Justeru melalui itu Yesus memuliakan Bapa-Nya dan dengan itu pula Bapa memuliakan diri-Nya. Di dunia yang segala kemungkinan bisa terjadi, kita diajar untuk setia kepada panggilan Bapa.  

Rabu, 23 Maret 2016

TELADAN KASIH HINGGA DI SAAT TERAKHIR

Seorang rekan dokter mengenang sejawatnya dokter ahli penyakit lever yang telah tiada. Sebelum meninggal, sahabatnya itu dideteksi menderita kanker lever. Ketika hasil diagnosa itu hendak disampaikan kepadanya, tim medis mengalami kesulitan, pasalnya yang akan disampaikan itu merupakan bidang kompetensi dari si pasien yang tidak lain ahli lever. Dan sebagian dari tim medis itu pernah menjadi mahasiswa sang dokter itu. Melihat gelagat itu, dengan tegar, sang dokter yang terbaring itu berkata, “Apa yang terjadi dengan leverku, ceritakan saja apa adanya!” Kemudian mereka bergantian menjelaskan kondisi lever dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi serta terapi atau tindakan yang memungkinkan untuk menyelamatkan sang ahli lever ini. Di luar dugaan, sang ahli lever ini merespon, “O, sperti itu kondisi leverku. Kalau begitu, tolong panggil anak dan istriku. Aku harus memersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan tanpa aku lagi. Kini, kalian tidak usah terlalu repot menyiapkan kemoteraphi atau radiasi. Biarkan aku menjalaninya secara alami. Jangan juga merasa bersalah kalau tidak bisa memulihkan aku. Aku tahu sepenuhnya jenis kanker yang bersarang dalam leverku. Dan menurut sepengetahuanku tidak ada obat atau teraphi yang mampu menghentikan menjalarnya kanker ini. Aku ingin memakai waktu yang sisa ini dalam kebersamaan dengan keluargaku!”

Saya dapat membayangkan bagaimana bergejolaknya hati seseorang, seperti cerita dokter di atas, ketika ia tahu percis apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Ia dapat membayangkan bagaimana sakitnya penyakit itu perlahan tapi pasti menggerogoti tubuhnya. Pergumulannya mungkin sangat berbeda kalau ia tidak tahu sama sekali tentang kondisi penyakit dirinya. Dokter dalam cerita kita – berdasarkan kepakarannya – tahu apa yang akan dialaminya. Ia menyadari tidak lagi ada obat atau teraphi yang bisa menyembuhkannya dan ia memilih memanfaatkan waktu tersisa menyiapkan keluarga terdekatnya untuk hidup tanpa dirinya. Pilihannya itu oleh karena keterbatasannya dan keterbatasan upaya medis. Namun, bagaimana kalau ia berkuasa menghadirkan mujizat? Pasti ceritanya menjadi lain!

“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” (Yoh.13:3). Berbeda dengan Injil sinoptis, Yohanes melihat akhir kehidupan Yesus yang berujung pada kematian-Nya di kayu salib bukanlah sebuah peristiwa mengerikan dan tragis, melainkan itulah jalan kembali-Nya Dia kepada Bapa-Nya. Salib adalah jalan kemuliaan dalam menuntaskan pekerjaan Bapa! Yesus tahu percis detil yang segera Ia alami. Ia menyadari bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Yesus. Artinya, Yesus sebenarnya dapat memilih, apakah Ia akan terus taat pada misi Bapa-Nya atau berpaling dari-Nya dan dengan demikian Ia bebas dari penderitaan yang akan mendera-Nya.

Pada umumnya, manusia akan memilih untuk menghindar dari kesulitan, penderitaan dan kematian. Mekanisme tubuh kita secara otomatis akan membuat proteksi manakala ada ancaman terhadap penderitaan dan kematian. Banyak orang rela meninggalkan keyakinan akan kebenaran manakala harus berhadapan dengan resiko tinggi yang mengancam jiwanya. Namun, secara tegas Yesus menyatakan keteguhan hati-Nya, “…dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!”  (Yoh. 12:27-28a). Pada bagian ini sangat jelas bahwa Yesus benar-benar tahu apa yang akan terjadi dengan hidup-Nya. Dia diberi kesempatan oleh Bapa-Nya untuk memilih; bahkan Dia punya kuasa untuk menghindar bahkan mengenyahkan semua lawan-Nya. Kini saatnya, Yesus sendiri harus membuat sebuah keputusan sesuatu yang paling penting: ini soal hidup dan mati! Saya kira Yesus pun, sebelum menyatakan kesediaan-Nya pasti mengalami pergumulan batin yang sangat berat.  Namun, Dia memutuskan untuk setia kepada Bapa-Nya. Konsekuensinya jalan terjal via dolorosa itu harus di tempuh supaya dengan itu nama Bapa dimuliakan!

Tidak banyak manusia yang mempunyai kebebasan dan kuasa, kemudian tahu bahwa di depannya menghadang penderitaan bahkan kematian yang kemudian terus, luruh menempuh jalan itu. Hanya manusia yang mempunyai keteguhan, memahami panggilan hidupnya dan kecintaan luar biasa pada panggilan hidupnya itu yang mampu menempuh jalan seperti itu! Cintanya kepada Bapa, pemahaman-Nya yang benar terhadap misi dan kehendak Bapa membuat Yesus rela mengesampingkan kenyamanan diri sendiri dan ketakutan-Nya.

Sementara waktu berjalan terus. Tidak banyak kesempatan lagi buat Dia berlama-lama dengan para murid-Nya. Kini, dalam waktu yang teramat sempit itu, Ia harus menyiapkan para murid. Ia harus mengajarkan bukan saja tentang ketabahan ketika Ia sudah tidak ada lagi bersama-sama para murid secara fisik. Tetapi jauh dari itu, agar para murid dapat dengan sungguh-sungguh mengenal, memahami, merasakan cinta kasih Allah agar dapat terus dilanjutkan. Lalu, apa yang dilakukan Yesus dalam waktu singkat itu? Tidak cukup hanya dengan kata-kata, di tengah-tengah perjamuan malam itu, Yesus memperagakan sebuah pwengajaran tentang pelayanan. Yesus “meninggalkan tempat” Tuhan dan Guru. Dia menempatkan diri sebagai hamba atau lebih tepatnya budak atau kacung. Ia bangun, menanggalkan jubah, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatnya pada pinggang-Nya. Ia menuangkan air dalam basi dan mulai membasuh kaki para murid dan menyekannya dengan kain lenan itu. Satu demi satu kaki para murid itu dibasuh dan diseka oleh Guru dan Tuhan mereka sendiri.

Andaikan, saya menjadi salah seorang murid yang dibasuh itu. Barangkali saya juga tidak mengerti apa yang dilakukan Yesus ini. Namun, kemudian Yesus memberi penegasan akan apa yang dilakukan-Nya itu. “Jadi jikalau AKu membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu. Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:14-15). Jadi Yesus sedang memberikan teladan dan teladan itu harus dilakukan oleh siapa pun yang mengaku menjadi murid Yesus. Untuk dapat membasuh kaki (lambing pelayanan dan merendahkan diri) tentu tidak mudah. Orang yang dapat melakukannya pastilah mereka yang telah dapat merasakan cintakasih Tuhan dan yang berani menyangkal diri.

Pembasuhan kaki sering menjadi symbol seseorang merendahkan diri dan mau melayani. Banyak gereja meneruskan tradisi ini. Mungkin kita juga pernah melakukannya: membasuh dan dibasuh. Tentu tidak ada salahnya. Namun, renungkanlah: banyak di antara kita yang dapat melakukan liturgy simbolik ini. Namun, dapatkah kita membawanya dalam kehidupan nyata: di “luar gedung gereja”! Bukan lagi simbolik melainkan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh.13:34-35). 

Dalam waktu yang singkat sebelum peristiwa salib terjadi, Yesus mengajarkan dan memberikan contoh tentang kasih yang harus atau wajib dilakukan oleh setiap murid-murid-Nya.  Bagaimana dengan kita? Apakah orang lain dapat menilai kita ini pantas disebut murid Yesus karena mereka melihat cinta kasih dalam diri kita yang tidak pura-pura?