Seorang rekan
dokter mengenang sejawatnya dokter
ahli penyakit lever yang telah tiada. Sebelum meninggal, sahabatnya
itu dideteksi menderita kanker lever. Ketika hasil diagnosa itu hendak disampaikan
kepadanya, tim medis mengalami kesulitan, pasalnya yang akan disampaikan itu
merupakan bidang kompetensi dari si pasien yang tidak lain ahli lever. Dan sebagian dari tim
medis itu pernah menjadi mahasiswa sang dokter itu. Melihat gelagat itu, dengan
tegar, sang dokter yang terbaring itu berkata, “Apa yang terjadi dengan
leverku, ceritakan saja apa adanya!” Kemudian mereka bergantian menjelaskan
kondisi lever dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi serta terapi atau
tindakan yang memungkinkan untuk menyelamatkan sang ahli lever ini. Di luar
dugaan, sang ahli lever ini merespon, “O, sperti itu kondisi leverku. Kalau
begitu, tolong panggil anak dan istriku. Aku harus memersiapkan mereka untuk menghadapi
masa depan tanpa aku lagi. Kini, kalian tidak usah terlalu repot menyiapkan
kemoteraphi atau radiasi. Biarkan aku menjalaninya secara alami. Jangan juga
merasa bersalah kalau tidak bisa memulihkan aku. Aku tahu sepenuhnya jenis
kanker yang bersarang dalam leverku. Dan menurut sepengetahuanku tidak ada obat
atau teraphi yang mampu menghentikan menjalarnya kanker ini. Aku ingin memakai
waktu yang sisa ini dalam kebersamaan dengan keluargaku!”
Saya dapat
membayangkan bagaimana bergejolaknya hati seseorang, seperti cerita dokter di
atas, ketika ia tahu percis apa yang akan terjadi di akhir hidupnya. Ia dapat
membayangkan bagaimana sakitnya penyakit itu perlahan tapi pasti menggerogoti
tubuhnya. Pergumulannya mungkin sangat berbeda kalau ia tidak tahu sama sekali
tentang kondisi penyakit dirinya. Dokter dalam cerita kita – berdasarkan kepakarannya – tahu apa
yang akan dialaminya. Ia menyadari tidak lagi ada obat atau teraphi yang bisa
menyembuhkannya dan ia memilih memanfaatkan waktu tersisa menyiapkan keluarga
terdekatnya untuk hidup tanpa dirinya. Pilihannya itu oleh karena
keterbatasannya dan keterbatasan upaya medis. Namun, bagaimana kalau ia
berkuasa menghadirkan mujizat? Pasti ceritanya menjadi lain!
“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala
sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” (Yoh.13:3). Berbeda dengan Injil sinoptis, Yohanes melihat akhir
kehidupan Yesus yang berujung pada kematian-Nya di kayu salib bukanlah sebuah
peristiwa mengerikan dan tragis, melainkan itulah jalan kembali-Nya Dia kepada
Bapa-Nya. Salib adalah jalan kemuliaan dalam menuntaskan pekerjaan Bapa! Yesus
tahu percis detil yang segera Ia alami. Ia menyadari bahwa Bapa telah
menyerahkan segala sesuatunya kepada Yesus. Artinya, Yesus sebenarnya dapat
memilih, apakah Ia akan terus taat pada misi Bapa-Nya atau berpaling dari-Nya
dan dengan demikian Ia bebas dari penderitaan yang akan mendera-Nya.
Pada umumnya,
manusia akan memilih untuk menghindar dari kesulitan, penderitaan dan kematian.
Mekanisme tubuh kita secara otomatis akan membuat proteksi manakala ada ancaman
terhadap penderitaan dan kematian. Banyak orang rela meninggalkan keyakinan
akan kebenaran manakala harus berhadapan dengan resiko tinggi yang mengancam
jiwanya. Namun, secara tegas Yesus menyatakan keteguhan hati-Nya, “…dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa,
selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam
saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!”
(Yoh. 12:27-28a). Pada bagian ini sangat jelas bahwa Yesus benar-benar
tahu apa yang akan terjadi dengan hidup-Nya. Dia diberi kesempatan oleh
Bapa-Nya untuk memilih; bahkan Dia punya kuasa untuk menghindar bahkan
mengenyahkan semua lawan-Nya. Kini saatnya, Yesus sendiri harus membuat sebuah
keputusan sesuatu yang paling penting: ini soal hidup dan mati! Saya kira Yesus
pun, sebelum menyatakan
kesediaan-Nya pasti mengalami pergumulan batin yang sangat
berat. Namun, Dia memutuskan untuk setia
kepada Bapa-Nya. Konsekuensinya jalan terjal via dolorosa itu harus di tempuh
supaya dengan itu nama Bapa dimuliakan!
Tidak banyak
manusia yang mempunyai kebebasan dan kuasa, kemudian tahu bahwa di depannya
menghadang penderitaan bahkan kematian yang kemudian terus, luruh menempuh
jalan itu. Hanya manusia yang mempunyai keteguhan, memahami panggilan hidupnya
dan kecintaan luar biasa pada panggilan hidupnya itu yang mampu menempuh jalan
seperti itu! Cintanya kepada Bapa, pemahaman-Nya yang benar terhadap misi dan
kehendak Bapa membuat Yesus rela mengesampingkan kenyamanan diri sendiri dan
ketakutan-Nya.
Sementara waktu
berjalan terus. Tidak banyak kesempatan lagi buat Dia berlama-lama dengan para
murid-Nya. Kini, dalam waktu yang teramat sempit itu, Ia harus menyiapkan para
murid. Ia harus mengajarkan bukan saja tentang ketabahan ketika Ia sudah tidak
ada lagi bersama-sama para murid secara fisik. Tetapi jauh dari itu, agar para
murid dapat dengan sungguh-sungguh mengenal, memahami, merasakan cinta kasih
Allah agar dapat terus dilanjutkan. Lalu, apa yang dilakukan Yesus dalam waktu
singkat itu? Tidak cukup hanya dengan kata-kata, di tengah-tengah perjamuan
malam itu, Yesus memperagakan sebuah pwengajaran tentang pelayanan. Yesus “meninggalkan
tempat” Tuhan dan Guru. Dia menempatkan diri sebagai hamba atau lebih tepatnya
budak atau kacung. Ia bangun, menanggalkan jubah, mengambil sehelai kain lenan
dan mengikatnya pada pinggang-Nya. Ia menuangkan air dalam basi dan mulai
membasuh kaki para murid dan menyekannya dengan kain lenan itu. Satu demi satu
kaki para murid itu dibasuh dan diseka oleh Guru dan Tuhan mereka sendiri.
Andaikan, saya
menjadi salah seorang murid yang dibasuh itu. Barangkali saya juga tidak mengerti
apa yang dilakukan Yesus ini. Namun, kemudian Yesus memberi penegasan akan apa
yang dilakukan-Nya itu. “Jadi jikalau AKu
membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling
membasuh kakimu. Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya
kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh.
13:14-15). Jadi Yesus sedang memberikan teladan dan teladan itu harus dilakukan
oleh siapa pun yang mengaku menjadi murid Yesus. Untuk dapat membasuh kaki (lambing
pelayanan dan merendahkan diri) tentu tidak mudah. Orang yang dapat
melakukannya pastilah mereka yang telah dapat merasakan cintakasih Tuhan dan
yang berani menyangkal diri.
Pembasuhan kaki
sering menjadi symbol seseorang merendahkan diri dan mau melayani. Banyak
gereja meneruskan tradisi ini. Mungkin kita juga pernah melakukannya: membasuh
dan dibasuh. Tentu tidak ada salahnya. Namun, renungkanlah: banyak di antara
kita yang dapat melakukan liturgy simbolik ini. Namun, dapatkah kita membawanya
dalam kehidupan nyata: di “luar gedung gereja”! Bukan lagi simbolik melainkan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu,
yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu
demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan
tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi”
(Yoh.13:34-35).
Dalam waktu yang singkat sebelum peristiwa salib
terjadi, Yesus mengajarkan dan memberikan contoh tentang kasih yang harus atau
wajib dilakukan oleh setiap murid-murid-Nya. Bagaimana dengan kita? Apakah orang lain dapat
menilai kita ini pantas disebut murid Yesus karena mereka melihat cinta kasih
dalam diri kita yang tidak pura-pura?