Ketika renungan ini ditulis,
ada peristiwa yang sangat menyita perhatian publik. Digelarnya Sidang Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) yang menghadirkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Sudirman Said yang mengadukan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua DPR,
Setya Novanto. Sudirman mempunyai bukti rekaman yang berisi percakapan Setya
Novanto, Maroef Sjamsuddin (Presdir PT Freeport Indonesia), dan Muhammad Reza
Chalid (Pengusaha/ raja minyak). Isi rekaman itu, oleh Presiden Joko Widodo
dipopulerkan dengan “Papa minta saham”. Meskipun berkali-kali Sudirman Said
menyatakan bahwa pengungkapan skandal papa
minta saham tidak berbau politik, rasanya permainan politik itu terendus
juga. Sebagian masyarakat yang kristis mempertanyakan, mengapa kasus yang
terjadi beberapa bulan lalu baru diungkap ke publik sekarang ini, justeru di
tengah-tengah tersudutnya Sudirman lantaran berbeda pendapat dengan Rizal
Ramli, Menko Kemaritiman. Belum lagi MKD yang gencar menyecar Sudirman tentang
kewenangannya merekam dan mengadukan skandal tersebut kepada MKD.
Tampaknya desakan publik yang
muak dengan prilaku kongkalikong pejabat tidak dapat dibendung. Akhirnya, awal
Desember sidang MKD itu digelar, salah satu agenda persidangan adalah
memperdengarkan bukti rekaman. Dari sinilah mata dan telinga kita terbuka
bagaimana kebusukan-kebusukan itu nyata. Selama ini mereka membungkus
rapat-rapat dengan kedok ideologi partai yang begitu keren, bahasa-bahasa agama yang santun dan masih banyak lagi
propoganda tentang nasinalisme. Kenyataannya, sulit terbantahkan bahwa
kebusukan itu telah lama mengerogoti bangsa ini. Inilah mungkin penyebabnya
negara yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa tetap menjadi negara miskin
dan bahkan mengemis untuk mendapatkan utang dari luar negeri! Bagaimana
mungkin, yang kata Presiden Jokowi, hanya dengan satu kabupaten saja di Papua
sudah dapat membiayai seluruh negeri. Nyatanya tetap miskin dan banyak hutang!
Rupanya, tabiat manusia yang
menyembunyikan kebusukan dengan prilaku saleh, santun dan terlihat agamis
bukanlah barang baru. Lima ratus tahun sebelum kelahiran Yesus, atau dua ribu
lima ratus tahun yang lalu Nabi Maleakhi mengungkap skandal kebobrokan bangsanya,
Israel ang nota bene umat pilihan
Allah. Sang nabi mengeluhkan kehidupan umat Allah yang jahat dan mereka
menyangka bahwa kejahatan yang dilakukan itu berkenan di hadapan TUHAN. Ia
berkata, “Kamu menyusahi TUHAN dengan
perkataanmu. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Dia?’
Dengan cara kamu menyangka: ‘Setiap orang yang berbuat jahat adalah baik di
mata TUHAN; kepada orang-orang yang demikian Ia berkenan –atau jika tidak, di
manakah Allah yang menghukum?’.”(Maleakhi 2:17). Nyaris sama dan sebangun,
sebagian besar penjahat kemanusiaan juga mengatakan begitu? Setya Novanto, dan
para kroninya mengatakan begitu bahwa yang sedang mereka diskusikan adalah demi
kepentingan rakyat! Para penegak syareat yang memberangus, melukai bahkan
membunuh minoritas yang berbeda aliran juga berteriak bahwa mereka melakukan
itu atas nama Tuhan!
Apakah TUHAN, yang namanya
sering dicatut lantas berdiam diri saja dan melihat dari singgasana-Nya
keadilan diinjak-injak? Marah! Ya, Jokowi dan JK saja ketika namanya dicatut
mereka geram. Perilaku dan pemahaman buruk Israel itu kemudian dijawab secara
tegas dalam Maleakhi 3:5, “Aku akan
mendekati kamu untuk menghakimi dan akan segera menjadi saksi terhadap
tukang-tukan sihir, orang-orang berzinah dan orang-orang yang bersumpah dusta
dan terhadap orang-orang yang menindas orang upahan, janda dan anak piatu, dan
yang mendesak ke samping orang asing, dengan tidak takut kepada-Ku, firman
TUHAN semesta alam.” (Maleakhi 3:5). Jadi, sangat jelas, TUHAN bukanlah
Allah yang membiarkan kebenaran dikelabuhi, keadilan diinjak-injak, dilecehkan
lalu dibungkus dengan pelbagai kesalehan! Sang nabi dengan berani dan tegas
menunjukkan borok-borok Israel dan mengingatkan mereka bahwa hukuman TUHAN itu
tidak main-main.
Inilah yang disebut suara kenabian. Memperdengarkan suara
TUHAN di tengah-tengah ketidakbenar yang sedang terjadi walau beresiko. Kita
beruntung, di tengah-tengah ketidakbenaran, kedegilan, kerakusan dan pelbagai
tindak kejahatan yang begitu masif, masih ada orang-orang yang berani
menyuarakan kebenaran dan keadilan. Kita beruntung punya orang seperti Munir
dan Yap Thiam Hien. Namun, sangat disayangkan sering kita memilah-milah dengan
tolok ukur: apakah yang menyampaikan dan menyuarakan itu adalah orang yang satu
aliran atau satu agama? TUHAN bisa memakai siapa saja dan dari kalangan mana
pun untuk menyuarakan suara-Nya. Terbukti dalam kehidupan umat Allah sekali pun
banyak sekali dari kalangan mereka sendiri yang tampil menjadi nabi-nabi palsu.
Yang setuju saja dengan kelaliman yang sedang terjadi. Mereka seakan menina-bobokan
bangsa itu. Bukankah hal serupa bermunculan di negeri kita. Para ustazd, pendeta,
kyai, apa pun namanya yang memilih bungkam atau setuju saja bahkan terus
mendoakan para pemimpin yang lalim?
Mengapa kejahatan terus
bergulir? Anis Baswedan dalam kampanye pemilihan presiden 2009 yang lalu pernah
menjawabnya, “karena orang benar memilih diam!” Negeri ini sebenarnya tidak
kurang dengan orang yang baik, orang benar. Namun, mengapa seolah kejahatan
yang terus merajai? Mengapa satu orang melakukan pelecehan seksual di bus kota
atau kereta api yang begitu ramai, pelakunya tidak diketahui? Jawabannya karena
orang-orang baik dan benar tidak mau mengambil resiko. Mereka, mungkin termasuk
kita memilih bungkam dengan pemikiran jangan-jangan usaha dan kepentingan kita
diganggu. Dalam Minggu Advent kedua ini kita diingatkan bahwa TUHAN tidak
menginginkan umat-Nya diam ketika menyaksikan kelaliman terjadi, kejahatan
merajalela dan kebenaran ditunggangbalikan. Apa jadinya ketika pembiaran itu
terus terjadi dan dibiarkan. Kita sudah dapat menduganya; selesailah peradaban
manusia yang dulu dikatakan sebagai makhluk mulia nan bermoral. Ketika itu
selesai, bencana besar terjadi, selesai pula seluruh peradaban. Kalaupun TUHAN
tidak menghumnya, maka hukuman itu terjadi, manusia memangsa sesamanya!
Pembiaran mempunyai konsekuensi
berakhirnya peradaban damai sejahtera. Apakah kita puas hanyut dalam arus ini?
Ataukah kita adalah kelompok orang-orang yang masih mempunyai pengharapan bahwa
masa depan akan indah, damai sejahtera dan keadilan akan bergulung-gulung
seperti air di samudera? Hal ini tentu tidak akan menjadi harapan utopia. Janji
TUHAN seperti itu akan terjadi ketika manusia mengupayakannya. Hari ini saya
membaca surat Zuckerberg untuk Max, bunyinya, “Max, kami mencintaimu dan merasakan sebuah tanggung jawab besar untuk
meninggalkan dunia sebuah tempat yang lebih baik bagimu dan semua anak-anak.
Kami mengharapkan bagimu sebuah hidup yang penuh dengan cinta, harapan dan
sukacita yang sama yang kau berikan kepada kami. Kami tak sabar menanti untuk
melihat apa yang kau berikan kepada dunia ini.” (Kompas 3/12)
Zuckerberg akan “menghadiahkan
atau menunjukkan” hampir semua saham Facebook-nya, atau hasil penjualan
sahamnya setelah pajak, untuk melanjutkan sebuah misi “memajukan potensi
manusia dan mempromosikan kesetaraan”. Hari Rabu (2/12) ayah baru ini
mengumumkan bahwa dirinya akan menghibahkan 99% yang diperkirakan senilai 45
miliar dollar AS (585 triliun rupiah) dari saham Facebook-nya untuk membuat
dunia “sebuah tempat yang lebih baik” bagi puterinya, Max dan bagi anak-anak
yang lain. Sebuah nilai uang fantastis, yang sedang dinegosiasikan oleh Setya
Novanto dan para pejabat lainnya!