Rabu, 19 Agustus 2015

MERAYAKAN RUMAH ALLAH, MERAYAKAN KEHIDUPAN BERSAMA

Telah lama kita dengar, setiap umat beragama meyakini bahwa tempat ibadah mereka adalah “rumah Tuhan” atau “rumah Allah”. Mengapa? setidaknya, mereka meyakini bahwa di rumah-rumah ibadah itu Yang Mahakuasa dapat dijumpai. Yang satu mengatakan, “Di rumah Itu ada keheningan dan kedamaian.” Yang lain mengatakan, “Dalam rumah Itu sabda-Nya yang agung berkumandang.” Dan sebagian lagi mengatakan, “Di sana merupakan kediaman Tuhan.” Tentu penghayatan itu tidak keliru. Namun, ada pertanyaan yang terus menggelitik dalam diri orang yang telah mengenal begitu dekat dengan Allah. Pertanyaan itu – seperti yang diucapkan dalam doa Salomo – “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi?” Atau dalam kontek tema kita, pertanyaan itu menjadi, “Benarkah Allah membutuhkan dan mau tinggal diam dalam rumah?” Padahal, Allah itu sesungguhnya Mahakuasa, tidak terbatas. Dan Salomo menyebutnya dengan kalimat, “Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih rumah yang kudirikan ini.” (1 Raja-raja 8:20). Lantas, kalau begitu mengapa manusia membuatkan rumah untuk Sang Mahakuasa dan Penguasa itu?

Dalam konteks pembangunan Rumah Tuhan (Bait Allah) di Yerusalem, tidak lepas dari ungkapan syukur Daud kepada Allah yang telah menyertai, memberkati dan menolongnya. Maka ia bermaksud mendirikan rumah untuk kediaman TUHAN. “Ketika raja telah menetap di rumahnya dan TUHAN telah mengaruniakan keamanan kepadanya terhadap semua musuhnya di sekeliling, berkatalah raja kepada Nabi Natan: ‘Lihatlah, aku ini diam dalam rumah dari kayu aras, padahal tabut Allah diam di bawah tenda. (2 Samuel 7:1-2). Namun ternyata niat baik ini tidak sepenuhnya diaminkan TUHAN. Melalui Natan, TUHAN menjawab, “…Masakan engkau yang mendirikan rumah bagi-Ku untuk Kudiami?” (2 Sam.7:5). Meskipun demikian Allah mengapresiasi niat baik Daud. Namun, bukan Daud yang akan mendirikan rumah bagi-Nya melainkan, “…Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku…” (2 Sam.12b-13a).

Jadi, singkatnya bukan TUHAN yang mendesak manusia agar membangun atau mendirikan rumah bagi-Nya, melainkan niat manusialah yang mengundang TUHAN agar Ia berkenan hadir di tengah-tengah umat-Nya. Salomo memohon dengan amat sangat ketika telah menyelesaikan pembangunan Rumah TUHAN agar TUHAN berkenan hadir dan “mendiami” Rumah Itu. “Maka berpalinglah kepada doa dan permohonan hamba-Mu ini, ya TUHAN Allahku” kata Salomo dalam seruan doanya, “Kiranya mata-Mu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam, terhadap tempat yang Kaukatakan: nama-Ku akan tinggal di sana;…” (1 Raja-raja 8:29).

Salomo menyadari kemahakuasaan TUHAN. Ia sangat ingin menerima janji-Nya kepada Daud, maka dengan segala kerendahan dan permohonan ia meminta TUHAN mau tinggal dalam rumah yang dibangunnya. Ini berarti Salomo sendiri sadar bahwa Allah yang tidak terbatas itu kini diundang masuk ke dalam rumah itu dan menjadi terbatas. Pada pihak lain, Salomo dalam kesadarannya juga tidak membatasi kuasa Allah hanya untuk kebaikan diri dan bangsanya saja. Atas kesadaran itu, Salomo melanjutkan doanya, “Juga apabila seorang asing, yang tidak termasuk umat-Mu Israel, datang dari negeri jauh oleh karena nama-Mu yang besar dan tentang tangan-Mu yang kuat dan lengan-Mu yang teracung – dan ia datang berdoa di rumah ini, maka Engkau pun kiranya mendengarkannya dari sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau kiranya bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu,…” (1 Raja-raja 8:41-43).

Sekarang menjadi jelas buat kita bahwa ketika Salomo mendirikan rumah TUHAN bukanlah dengan maksud memenjarakan TUHAN dalam sebuah rumah dan kemudian TUHAN hanya boleh berkarya dan mengasihi dirinya serta bangsanya. Bukan begitu! Pendirian rumah TUHAN adalah semata-mata karena ungkapan syukur atas karya TUHAN di masa lampau. Kini, Allah yang tidak terbatas dan bersemayam dalam sorga diundang untuk dekat dalam kehidupan umat. Allah berkenan diam di tengah-tengah umat-Nya hal itu berarti umat siap untuk bergaul karib dengan-Nya sambil tetap membiarkan Allah terus berkarya melampaui batasan rumah itu bahkan membiarkan Allah terus bebas berkarya termasuk di dalamnya agar orang asing pun dapat menikmati berkat-Nya. Sehingga rumah TUHAN itu menjadi tempat yang menyenangkan, “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!...Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu,…” (Mazmur 84)

Kini, ketika kita menyadari bahwa rumah ibadah adalah rumah TUHAN; gereja adalah rumah TUHAN, pertanyaannya apakah rumah itu merupakan tempat yang menyenangkan dan orang yang masuk di dalam merasakan kebahagiaan? Ataukah justeru sebaliknya, bahwa kini rumah itu telah menjadi rumah perdebatan, tempat gosip bertebaran, tempat di mana ada kepedihan dan air mata? Bisa jadi begitu ketika orang-orang yang ada dalam rumah itu tidak lagi merasakan kehadiran TUHAN!

Pemazmur mengatakan “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN…” Manusia yang diam bersama dengan TUHAN pasti akan merasakan kebahagiaan. Bagi pemazmur, kediaman-Mu atau diam bersama TUHAN bermakna sangat dalam. Tidak hanya merasakan kehadiran-Nya tetapi juga mengerti dan memahami dan turut terlibat dalam apa yang TUHAN rancangkan. Dalam pemahaman Perjanjian Baru, mungkin sejajar dengan istilah yang sering dipakai Injil Yohanes dengan kata tinggal dalam Yesus.

Kata tinggal di dalam Yesus (menurut Joas Adiprasetya) dalam Injil Yohanes mau mengatakan bahwa Yesus adalah Sang Rumah, yang ke dalam rumah itu kita mengambil bagian atau berpartisipasi ke dalam persekutuan Allah Tritunggal. Dalam Yohanes 6:56 konsep ini muncul. Orang-orang percaya akan tinggal di dalam Kristus, dan Kristus di dalamnya, ketika orang tersebut “memakan daging” dan “meminum darah” Yesus. Menariknya, Yesus memakai metafora daging dan darah untuk memberi makna baru kepada Paskah di mana pada peristiwa tersebut orang Israel mengurbankan anak domba Paskah. Dengan memakai kata “meminum darah-Ku”, Yesus mengingatkan para pendengar-Nya – yang adalah orang Yahudi – pada larangan minum darah (Kej.9:4; Im.3:17). Itulah sebabnya para pendengar-Nya itu tidak tahan dan mungkin saja menilai Yesus sesat. Namun, tentu bagi Yesus kalimat itu tidak diartikan secara harafiah. Metafora itu dipakai untuk arti tinggal di dalam-Nya, yaitu hidup berpartisipasi dalam persekutuan bersama diri-Nya. Apa itu berpartisipasi di dalam karya Kristus. Singkatnya, sikap, prilaku, ajaran dan segala yang dilakukan Yesus itu “mendarah-daging” dalam hidup dan kehidupan orang percaya.

Nah, sekarang apakah gereja TUHAN dalam hal itu bukanlah gedungnya, menaranya atau lembaganya saja melainkan orang-orangnya telah mendarah-daging melakukan seperti yang Yesus lakukan. Kalau ini terjadi maka benarlah apa yang dikatakan pemazmur bahwa diam di rumah TUHAN itu menyenangkan. “Diam” di gereja itu menyenangkan dan membahagiakan! Bagaimana sekarang dengan Gereja Kristen Indonesia? Apakah merupakan komunitas yang menyenangkan di mana di dalamnya dirasakan kehadiran Allah yang mengayomi semua dan menjadi berkat bagi semua orang. Kini kita, sebagai lembaga gereja telah memasuki usia 27 tahun (26 Agustus 1988), apakah kita telah benar-benar “memakan daging” dan “meminum darah” Yesus sehingga kehadiran kita merupakan tanda-tanda yang hidup dan nyata dari Kerajaan Sorga yang menyenangkan? Ataukah kita masih berkutat dengan ego masing-masing sehingga sulit untuk menyatakan syallom Kerajaan Allah! Selamat ulang tahun GKI, Kiranya TUHAN mau diam di “rumah” kita dan kita mau tinggal di dalam-Nya!

Jumat, 14 Agustus 2015

HIDUPLAH SEBGAI ORANG ARIF


Dalam mitologi pewayangan ada tokoh penguasa waktu, namanya Batara Kala. “Kala” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu. Batara Kala menurut postur tubuh sebenarnya tidak cocok disebut Batara atau Dewa. Mengapa? Ia lebih cocok disebut buto atau monster berwajah menyeramkan. Dalam jagat pewayangan, Kala adalah sosok sang penguasa waktu. Tidak ada seorang pun yang sanggup melawan Batara Kala. Apabila seseorang sudah waktunya meninggalkan jagat raya yang fana ini, pada saat itulah Kala akan menjemput. Tak ada kuasa yang dapat menolaknya. Jika ada yang menolak dan tidak tunduk maka, Kala akan memaksanya, maka dari itu Kala digambarkan dengan wajah yang sangat menakutkan, ia bersifat memaksa semua orang tunduk pada batas usianya!

Sosok dan prilaku Kala tidak lepas dari riwayat kelahirannya. Banyak versi tentang kelahiran Batara Kala ini. Dalam kitab Kala Tattwa, versi Hindu Bali, konon dikisahkan bahwa Kala lahir oleh karena nafsu seksual Dewa Siwa yang tak terkendali ketika melihat betis Dewi Uma, hal itu menyebabkan sperma Siwa menetes ke laut dan ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi mantra, maka lahirlah sosok raksasa yang tumbuh menjadi besar dan kemudian menggeram-geram menanyakan siapa orang tuanya. Atas petunjuk Brahma dan Wisnu, raksasa itu akhirnya mengetahui bahwa Siwa dan Uma adalah orang tuanya.

Singkat kata, Kala akhirnya mengetahui siapa orang tuanya. Sang ayah, Siwa, memberi kuasa kepada Kala untuk memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang. Apa dinyana, sang adik, Kumara lahir pada waktu tumpek wayang. Tentu saja Siwa tidak merelakan anak dimangsa oleh Kala, kakaknya sendiri. Siwa memohon agar Kala memberi kesempatan hidup kepada Kumara. Boleh dimakan kalau adiknya itu sudah dewasa. Pada saat inilah Siwa mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia memberi anugerah kepada Kumara agar selamanya tetap menjadi kanak-kanak, tidak akan menjadi dewasa atau tua. Apa yang terjadi kemudian? Kala mengetahui akal-akalan Siwa. Maka kemudian ia mengejar Kumara. Dalam pengejarannya itu, Kala bertemu Siwa dan Uma. Melihat mereka, Kala pun ingin memangsanya. Namun, sebelum Kala memangsa mereka, Siwa memberi sebuah syarat. Boleh Kala memangsa mereka asalkan dapat menjawab sebuah teka-teki dengan batas waktu sampai matahari terbenam. Ternyata, Kala tidak dapat menjawab teka-teki itu, akhirnya ia melanjutkan pengejaran mencari Kumara untuk dimangsanya. Kehidupan manusia selalu dikejar oleh sang kala. Suatu ketika pasti ditelannya, tidak lagi bisa hidup selamanya!

Batara Kala, digambarkan sebagai sosok monster raksasa seram nan mengerikan. Prilakunya cenderung antagonis. Jahat! Bukankah gambaran waktu juga demikian? Ia jahat, tidak kenal kompromi! Kita jengkel dengan sang waktu, ketika kita diliputi sukacita, kehidupan yang manis waktu terasa begitu singkat. Kita tidak bisa memohon untuk mengulurnya. Syair "Kemesraan ini janganlah cepat berlalu", menggambarkan manusia ingin mencoba menahan sang kala saat kebahagiaan sedang dialami. Sebaliknya, ketika derita, kelu kesah dan diam dalam lebah air mata, sang kala begitu lama terasa. 

Waktu terus berjalan; tidak peduli saat kita senang atau susah. Waktu, kesempatan hidup jelas ada batasnya. Siapa pun kita pasti akan berjumpa dengan Malaikat maut, dengan Batara Kala, dengan kematian! Karena begitu kejamnya sang waktu maka sudah semestinya kita dapat mengelolanya dengan sebaik-baiknya.

“Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:15-16). Berkaitan dengan waktu, ada dua istilah: kronos dan kairos. Kronos, mengacu pada “kronologi” atau urutan waktu. Kronologi manusia, misalnya dari dalam kandungan, lahir, menjadi bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan mati. Sedangkan kairos, harafiah: “saat yang tepat atau benar”, sering diterjemahkan dengan kesempat. Banyak orang sering mengaitkan kronos adalah waktu yang berkaitan dengan kuantitas (durasi) sedangkan kairos lebih ke arah kualitas.

Ketika Paulus membicarakan pergunakanlah waktu yang ada,…, pastilah berkaitan erat dengan kronos dan kairos. Hidup ini pasti ada batasnya. Nah, dalam rentang waktu terbatas inilah kita terpanggil untuk memergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya, yakni dengan hidup yang berkualitas. Kualitas hidup yang dimaksud adalah jangan seperti orang bebal. Bebal adalah ungkapan untuk orang yang tidak mau belajar untuk memerbaiki kualitas hidupnya. Alkitab sering merujuk bahwa orang bebal adalah orang yang sebenarnya tahu apa itu yang baik dan benar tetapi tetap ngotot melakukan kesalah. Israel pernah disebut bangsa yang bebal, oleh karena sebenarnya mereka tahu apa itu kebenaran tetapi justeru memilih untuk tidak melakukannya. Pada zaman Yesus, kebebalan orang Yahudi tampaknya masih berlanjut. Mereka umumnya memelihara hukum-hukum Tuhan secara verbal dan formalitas. Suatu ketika, Yesus memberi pengajaran berbeda.

Contoh TUHAN memberi makan roti manna dalam peristiwa eksodus mengingatkan bahwa kini semestinya mereka belajar untuk menggunakan prinsif-prinsif yang membawa manusia kepada kehidupan sejati. Bukan semata-mata mengejar nafsu duniawi sehingga mengabaikan kehidupan yang berkualitas. Yesus mengajarkan prinsif hidup itu. Yesus menyebut diri-Nya roti hidup. “Roti yang kuberikan itu ialah daging-Ku. Jika kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak akan mempunyai hidup.”(Yohanes 6:53). Tentu, ketika Yesus berbicara tentang roti hidup ini bukanlah dalam arti harafiah. Yang dimaksud makan dan minum darah-Nya adalah hidup dalam persekutuan dengan dan di dalam Yesus, artinya melakukan dan memilih jalan kehidupan seperti yang Yesus lakukan.

Paulus telah memaparkan hidup yang berkualitas itu dengan tema “manusia baru” (Efesus 4:17-32). Nah sekarang, supaya tidak disebut bebal, Paulus melanjutkan: lakukanlah dengan seksama hidup yang berkualitas itu! Dengan begitu, orang-orang yang melakukannya disebut seperti orang arif. Seseorang disebut arif bukan saja karena ia pandai dan kaya dengan pengetahuan. Melainkan, ia dapat mengaplikasikan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari.

Salomo sering dipakai sebagai rujukan untuk orang yang disebut arif bijaksana. Benar, setidaknya pada masa kejayaannya. Namun, tidak pada penghujung hidupnya. Hikmat itu diperolehnya ketika ia hidup benar di hadapan Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya. Ia berdoa memohon Tuhan memberikan hikmat itu.Tuhan mengabulkannya. Ia menjadi arif dan bijaksana ketika hikmatnya itu diaplikasikan dalam kehidupan. Cerita tentang keputusannya memilih memberikan bayi kepada ibu yang sebenarnya menunjukkan sikap yang arif itu (1 Raja-raja 16-28). Tentu, kita bukan Salomo dan tidak harus memutuskan perkara serumit Salomo. Namun, bukankah setiap hari kita juga harus membuat keputusan dari yang sederhana hingga yang kompleks? Jelas, kini dan di sini pun kita memerlukan hikmat. Pemazmur mengatakan bahwa permulaan hikmat itu adalah takut akan TUHAN. “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya (Mazmur 111:10) 

Nah, apakah pengenalan akan kehendak Tuhan melalui firman-Nya telah menolong kita untuk membuat keputusan-keputusan, baik yang sederhan maupun yang rumit, dengan dengan baik? Sehingga apa yang kita lakukan nantinya adalah langkah-langkah cermat, tidak sembrono apa lagi bertentangan dengan kehendak Tuhan. Apakah kita telah memanfaatkan waktu yang Tuhan anugerahkan itu dengan baik sehingga kita mengisinya dengan momen-momen indah bersama-Nya?  Bagi orang yang arif, waktu yang disediakan Tuhan adalah momentum indah. Namun, bagi yang hidup dengan mengumbar kesenangan nafsunya, waktu bagaikan sang Batara Kala yang siap melumat habis mangsanya. Mana yang kita pilih?