Telah lama kita dengar, setiap umat beragama meyakini bahwa tempat
ibadah mereka adalah “rumah Tuhan” atau “rumah Allah”. Mengapa? setidaknya,
mereka meyakini bahwa di rumah-rumah ibadah itu Yang Mahakuasa dapat dijumpai.
Yang satu mengatakan, “Di rumah Itu ada keheningan dan kedamaian.” Yang lain
mengatakan, “Dalam rumah Itu sabda-Nya yang agung berkumandang.” Dan sebagian
lagi mengatakan, “Di sana merupakan kediaman Tuhan.” Tentu penghayatan itu
tidak keliru. Namun, ada pertanyaan yang terus menggelitik dalam diri orang
yang telah mengenal begitu dekat dengan Allah. Pertanyaan itu – seperti yang
diucapkan dalam doa Salomo – “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi?”
Atau dalam kontek tema kita, pertanyaan itu menjadi, “Benarkah Allah
membutuhkan dan mau tinggal diam dalam rumah?” Padahal, Allah itu sesungguhnya
Mahakuasa, tidak terbatas. Dan Salomo menyebutnya dengan kalimat, “Sesungguhnya
langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat
Engkau, terlebih rumah yang kudirikan ini.” (1 Raja-raja 8:20). Lantas, kalau
begitu mengapa manusia membuatkan rumah untuk Sang Mahakuasa dan Penguasa itu?
Dalam konteks pembangunan Rumah Tuhan (Bait Allah) di Yerusalem, tidak
lepas dari ungkapan syukur Daud kepada Allah yang telah menyertai, memberkati
dan menolongnya. Maka ia bermaksud mendirikan rumah untuk kediaman TUHAN. “Ketika raja telah menetap di rumahnya dan
TUHAN telah mengaruniakan keamanan kepadanya terhadap semua musuhnya di
sekeliling, berkatalah raja kepada Nabi Natan: ‘Lihatlah, aku ini diam dalam
rumah dari kayu aras, padahal tabut Allah diam di bawah tenda. (2 Samuel
7:1-2). Namun ternyata niat baik ini tidak sepenuhnya diaminkan TUHAN. Melalui
Natan, TUHAN menjawab, “…Masakan engkau
yang mendirikan rumah bagi-Ku untuk Kudiami?” (2 Sam.7:5). Meskipun
demikian Allah mengapresiasi niat baik Daud. Namun, bukan Daud yang akan
mendirikan rumah bagi-Nya melainkan, “…Aku
akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan
mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku…”
(2 Sam.12b-13a).
Jadi, singkatnya bukan TUHAN yang mendesak manusia agar membangun atau
mendirikan rumah bagi-Nya, melainkan niat manusialah yang mengundang TUHAN agar
Ia berkenan hadir di tengah-tengah umat-Nya. Salomo memohon dengan amat sangat
ketika telah menyelesaikan pembangunan Rumah TUHAN agar TUHAN berkenan hadir
dan “mendiami” Rumah Itu. “Maka
berpalinglah kepada doa dan permohonan hamba-Mu ini, ya TUHAN Allahku” kata
Salomo dalam seruan doanya, “Kiranya
mata-Mu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam, terhadap tempat yang
Kaukatakan: nama-Ku akan tinggal di sana;…” (1 Raja-raja 8:29).
Salomo menyadari kemahakuasaan TUHAN. Ia sangat ingin menerima janji-Nya
kepada Daud, maka dengan segala kerendahan dan permohonan ia meminta TUHAN mau
tinggal dalam rumah yang dibangunnya. Ini berarti Salomo sendiri sadar bahwa
Allah yang tidak terbatas itu kini diundang masuk ke dalam rumah itu dan
menjadi terbatas. Pada pihak lain, Salomo dalam kesadarannya juga tidak
membatasi kuasa Allah hanya untuk kebaikan diri dan bangsanya saja. Atas
kesadaran itu, Salomo melanjutkan doanya, “Juga
apabila seorang asing, yang tidak termasuk umat-Mu Israel, datang dari negeri
jauh oleh karena nama-Mu yang besar dan tentang tangan-Mu yang kuat dan
lengan-Mu yang teracung – dan ia datang berdoa di rumah ini, maka Engkau pun
kiranya mendengarkannya dari sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau
kiranya bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang
asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu,…” (1 Raja-raja
8:41-43).
Sekarang menjadi jelas buat kita bahwa ketika Salomo mendirikan rumah
TUHAN bukanlah dengan maksud memenjarakan TUHAN dalam sebuah rumah dan kemudian
TUHAN hanya boleh berkarya dan mengasihi dirinya serta bangsanya. Bukan begitu!
Pendirian rumah TUHAN adalah semata-mata karena ungkapan syukur atas karya
TUHAN di masa lampau. Kini, Allah yang tidak terbatas dan bersemayam dalam
sorga diundang untuk dekat dalam kehidupan umat. Allah berkenan diam di
tengah-tengah umat-Nya hal itu berarti umat siap untuk bergaul karib dengan-Nya
sambil tetap membiarkan Allah terus berkarya melampaui batasan rumah itu bahkan
membiarkan Allah terus bebas berkarya termasuk di dalamnya agar orang asing pun
dapat menikmati berkat-Nya. Sehingga rumah TUHAN itu menjadi tempat yang menyenangkan,
“Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya
TUHAN semesta alam!...Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu,…”
(Mazmur 84)
Kini, ketika kita menyadari bahwa rumah ibadah adalah rumah TUHAN;
gereja adalah rumah TUHAN, pertanyaannya apakah rumah itu merupakan tempat yang
menyenangkan dan orang yang masuk di dalam merasakan kebahagiaan? Ataukah
justeru sebaliknya, bahwa kini rumah itu telah menjadi rumah perdebatan, tempat
gosip bertebaran, tempat di mana ada kepedihan dan air mata? Bisa jadi begitu
ketika orang-orang yang ada dalam rumah itu tidak lagi merasakan kehadiran
TUHAN!
Pemazmur mengatakan “Betapa
disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN…” Manusia yang diam bersama dengan
TUHAN pasti akan merasakan kebahagiaan. Bagi pemazmur, kediaman-Mu atau diam bersama
TUHAN bermakna sangat dalam. Tidak hanya merasakan kehadiran-Nya tetapi
juga mengerti dan memahami dan turut terlibat dalam apa yang TUHAN rancangkan. Dalam
pemahaman Perjanjian Baru, mungkin sejajar dengan istilah yang sering dipakai
Injil Yohanes dengan kata tinggal dalam
Yesus.
Kata tinggal di dalam Yesus
(menurut Joas Adiprasetya) dalam Injil Yohanes mau mengatakan bahwa Yesus
adalah Sang Rumah, yang ke dalam rumah itu kita mengambil bagian atau
berpartisipasi ke dalam persekutuan Allah Tritunggal. Dalam Yohanes 6:56 konsep
ini muncul. Orang-orang percaya akan tinggal di dalam Kristus, dan Kristus di
dalamnya, ketika orang tersebut “memakan daging” dan “meminum darah” Yesus.
Menariknya, Yesus memakai metafora daging dan darah untuk memberi makna baru
kepada Paskah di mana pada peristiwa tersebut orang Israel mengurbankan anak
domba Paskah. Dengan memakai kata “meminum darah-Ku”, Yesus mengingatkan para
pendengar-Nya – yang adalah orang Yahudi – pada larangan minum darah (Kej.9:4;
Im.3:17). Itulah sebabnya para pendengar-Nya itu tidak tahan dan mungkin saja
menilai Yesus sesat. Namun, tentu bagi Yesus kalimat itu tidak diartikan secara
harafiah. Metafora itu dipakai untuk arti tinggal di dalam-Nya, yaitu hidup
berpartisipasi dalam persekutuan bersama diri-Nya. Apa itu berpartisipasi di
dalam karya Kristus. Singkatnya, sikap, prilaku, ajaran dan segala yang
dilakukan Yesus itu “mendarah-daging” dalam hidup dan kehidupan orang percaya.
Nah, sekarang apakah gereja
TUHAN dalam hal itu bukanlah gedungnya, menaranya atau lembaganya saja
melainkan orang-orangnya telah mendarah-daging melakukan seperti yang Yesus
lakukan. Kalau ini terjadi maka benarlah apa yang dikatakan pemazmur bahwa diam
di rumah TUHAN itu menyenangkan. “Diam” di gereja itu menyenangkan dan
membahagiakan! Bagaimana sekarang dengan Gereja Kristen Indonesia? Apakah
merupakan komunitas yang menyenangkan di mana di dalamnya dirasakan kehadiran
Allah yang mengayomi semua dan menjadi berkat bagi semua orang. Kini kita,
sebagai lembaga gereja telah memasuki usia 27 tahun (26 Agustus 1988), apakah
kita telah benar-benar “memakan daging” dan “meminum darah” Yesus sehingga
kehadiran kita merupakan tanda-tanda yang hidup dan nyata dari Kerajaan Sorga
yang menyenangkan? Ataukah kita masih berkutat dengan ego masing-masing
sehingga sulit untuk menyatakan syallom Kerajaan Allah! Selamat ulang tahun
GKI, Kiranya TUHAN mau diam di “rumah” kita dan kita mau tinggal di dalam-Nya!