Amy le Feuvre pernah bercerita tentang Raja bijaksana yang memimpin
negeri yang sangat indah. Negeri di mana matahari selalu bersinar dan rakyatnya
senantiasa bahagia. Negeri itu dikelilingi oleh sungai. Di sisi lain, ada
negeri yang keadaannya berbanding terbalik dari negeri itu. Negeri itu sangat
jarang mengalami hangatnya sinar mentari. Hanya ada musim hujan dan angin
dingin yang menusuk tulang. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja yang lalim
yang selalu menyengsarakan rakyatnya.
Raja bijak sangat prihatin dan ingin menolong. Maka dibangunnyalah
sebuah jembatan panjang di atas sungai untuk kemudian mengajak orang-orang yang
kesusahan di negeri seberang untuk hidup di negerinya yang damai. Namun, ada
keganjilan terjadi. Tidak ada satu pun rakyat yang mau datang menyeberang ke
negerinya itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak menemukan jembatan yang
dimaksud. Mereka juga beralasan sangat merepotkan untuk menyeberang dan
beberapa di antara mereka mengeluh bertempat tinggal jauh dari jembatan itu.
Setelah mengetahui kendala itu, Raja bijak mengirim tiga orang hambanya
ke negeri seberang sebagai penunjuk jalan menuju jembatan itu dan bercerita
tentang negeri di seberang jembatan itu. Dua dari tiga hambanya itu sangat
berbakat, sedang yang satu lagi merasa dirinya paling bodoh, tapi bagaimanapun
ia mencintai rajanya dan berjanji akan berbuat yang terbaik.
Hamba yang pertama mulai pergi ke negeri itu dengan bernyanyi, gadis itu
mempunyai suara yang sangat indah. Ke mana pun ia pergi, orang banyak berkumpul
untuk menikmati nyanyiannya. Ia bernyanyi tentang si Raja Bijak dan negeri
bahagia di seberang. Nyanyiannya membuat pendengarnya ingin pergi ke negeri
seberang. Tetapi anehnya, ketika ia berhenti bernyanyi orang-orang juga
berhenti berkeinginan untuk pergi ke seberang. Beberapa hanya peduli dan
menikmati nyanyiannya dan bukan pesannya.
Hamba kedua, mampu menjangkau lebih bannyak orang. Ia berbakat menulis.
Ia menulis pesannya sehingga orang-orang yang jauh dapat membaca pesannya.
Mereka menyukainya karena tulisan gadis itu memberikan kekuatan yang mampu
menyentuh hati dalam setiap kata yang terangkai menjadi kalimat. Kedua
hamba ini terus bernyanyi dan menulis.
Bagaimana dengan si hamba ketiga yang merasa kecil dan bodoh? Dia tidak
bisa bernyanyi, begitu pula ia tidak bisa menulis. Ia tidak bisa menjangkau dan memukau orang banyak. Tetapi
hatinya penuh cinta untuk rajanya. Ia bercerita tentang Raja Bijaksana kepada
orang-orang yang mau mendengarkannya. Benar bahwa gadis itu tidak pintar,
tetapi ia terus bercerita ke sana ke mari sambil terus menunjukkan arah ke
jembatan itu. Sehingga anak-anak kecil pun dapat menemukan arah menuju ke
jembatan itu. Gadis itu pun menawarkan tangannya dan menggandeng mereka menuju
pada jembatan itu. Orang-orang tua dan perempuan-perempuan akan bersandar ke
tangannya dan berjalan tertatih menuju jembatan itu. Ia akan berbisik secara
lembut kepada yang sedang menangis. Ia menghibur, memberi kekuatan dan
pengharapan. Ia akan menjelaskan dengan sabar kepada yang belum mengerti. Ya, bahkan
berulang-ulang kepada mereka yang bebal. Kata mereka, gadis itu menjelaskannya
dengan sangat baik. Ia memahami bahasa kami, ia tahu kekuatiran dan kegelisahan
kami. Ia sama sekali tidak membingungkan! Gadis itu hanya tahu satu jembatan
dan hanya pada jembatan itu ia menunjuk dan ia selalu berbicara tentang Raja
yang bijaksana itu.
Pada akhirnya, di negeri seberang nan damai itu si gadis yang merasa
dirinya tidak pandai, dikelilingi banyak orang! Suara lembutnya telah mampu
membawa banyak orang berjumpa dengan Raja bijaksana! Raja tersenyum dan
menyambut mereka dengan sukacita!
“Bahasa” sering kali menjadi hambatan komunikasi antara sesama manusia.
Apalagi komunikasi manusia dengan Yang Ilahi. Maksud TUHAN yang begitu mulia dengan
cinta-Nya yang begitu besar terhadap manusia tidak mudah dapat ditangkap oleh
manusia. Maka tidaklah mengherankan kalau Allah memakai pelbagai cara
komunikasi agar manusia memahami-Nya. Ibrani 1:1 mencatat, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang
kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan
perantaraan nabi-nabi,..” Namun, apa yang terjadi? Sekalipun Allah sudah
memakai komunikasi dengan bahasa manusia, tetap saja manusia tidak mau menuju
ke “arah jembatan” itu. Allah tidak menyerah, Ibrani meneruskannya, “…maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara
kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya,…” Melalui Anak-Nya, Yesus Kristus,
Allah telah menyatakan diri sepenuhnya, agar manusia mengenal-Nya. Dialah
firman yang hidup itu.
Tidak sampai di situ. Setelah tugas-Nya usai, Sang Anak yang telah
menerjemahkan wacana menjadi krida harus kembali ke pada Bapa, Ia mengutus Roh
Kudus agar manusia mampu mengerti karya kasih Allah itu. Benar, Roh Kudus
berkarya bukan hanya pada masa Perjanjian Baru dan sesudahnya saja, peran Roh
Allah dalam Perjanjian Lama juga tidak bisa kita abaikan begitu saja. Roh Kudus
menolong para nabi dan pemimpin umat agar mampu dan lurus dalam menjalankan
tugas panggilan mereka. Namun, peran Roh
Kudus begitu nyata dan intens dalam kesaksian, pelayanan dan kehidupan orang
percaya setelah peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berkarya agar para murid
mengerti apa yang telah tertulis dalam Kitab Suci mengenai Yesus Kristus. Roh
Kudus memberi keberanian kepada para murid untuk berkata-kata tentang hidup dan
pelayanan Yesus dan Roh Kudus jugalah yang melengkapi para murid dengan
pelbagai karunia untuk meneruskan karya Yesus Kristus di dunia ini.
Pentakosta, merupakan momentum di mana Roh Kudus itu nyata membakar
semangat para murid dalam tugas kesaksian. Pentakosta sudah lama dikenal dan
dirayakan masyarakat Yahudi. Perayaan itu sendiri pada mulanya mempunyai dua
makna utama. Pertama, peringatan
historis pemberian Taurat Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai dan Kedua, peringatan pengucapan syukur atas
hasil panen. Pada waktu Paskah, homer
pertama (360 liter) dari panen gandum dipersembahkan kepada Allah. Kemudian,
pada hari Pentakosta (lima puluh hari sesudah Paskah), dua ketul roti
dipersembahkan sebagai ucapan syukur atas selesainya penuaian dan pengumpulan
hasil tuaian. Nama Pentakosta sendiri berarti “yang kelima puluh”. Dikatakan
demian, sebab perayaan itu jatuh pada hari yang kelima puluh, satu minggu dari
minggu-minggu setelah Paskah. Sebagaimana perayaan Paskah, Petakosta dirayakan
dengan meriah dan mewajibkan setiap laki-laki Yahudi yang tinggal dalam radius
20 mil sekitar Yerusalem harus datang untuk menghadiri hari raya itu. Maka
tidaklah mengherankan kalau dalam Kisah Para Rasul 2:5 mencatat, “Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang
Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit.” Mereka datang
dari pelbagai penjuru untuk mengucap syukur atas Taurat dan pemeliharaan Tuhan
berupa hasil panen.
Saat itulah Roh Kudus yaitu Roh Penghibur yang dijanjikan Yesus dalam
Yohanes 16:4-15 tercurah, ditandai dengan bunyi gemuruh dari langit seperti
tiupan angin keras dan lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran hinggap di
atas mereka yang sedang berkumpul. Kisah Rasul mencatat bahwa mereka dipenuhi
oleh Roh Kudus. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa-bahasa lain menyampaikan
kesaksian. Bagaimana respon pendengarnya? Mereka tercengan. Sebab mereka tahu
bahwa para murid berasal dari Galilea tetapi sekarang mereka dapat berbicara
dalam bahasa-bahasa ibu mereka. Sehingga
orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, Kapadokia,
Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia, Kirene,
pendatang dari Roma, orang Kreta dan orang Arab mengerti apa yang diucapkan
para murid. Injil, jembatan manusia dengan Allah dimengerti oleh pelbagai
bangsa.
Roh Kudus mengaruniakan kepada para murid bahasa untuk dimengerti oleh
pendengarnya. Roh Kudus menyapa para pendatang yang berziarah ke Yerusalem itu
dalam bahasa ibunya masing-masing. Dari sini kita dapat mengerti bahwa Allah
tidak menuntut manusia untuk dapat mengerti bahasa-Nya. Melainkan, sebaliknya
Dia mau hadir dan dikenal dalam konteks budaya masing-masing. Roh Kudus
berkarya bagi dunia agar dunia (baca: pelbagai budaya; ras, bahasa, tradisi,
dll) mengenal Kabar Baik, kasih Allah di dalam Kristus Yesus.
Meminjam cerita le Feuvre, kita
diperkaya dan dipermudah untuk mengenal-Nya. Ada nyanyian-nyanyian gerejawi
yang berisi tentang “Raja Bijaksana” itu. Yang menjadi masalah, apakah kita
menikmatinya hanya “lagu” nya saja, itu pun pada waktu menyanyikannya saja?
Apakah syair-syairnya menolong kita menghantar pada “Jembatan” yang
menghubungkan kita dengan-Nya lalu merasakan kedamaian itu? Demikian juga pada
kita ada tulisan-tulisan tentang “Raja Bijaksana” itu, yakni Kitab Suci kita.
Apa yang kita lakukan dengannya? Apakah sekedar “bacaan wajib”, ataukah melalui
itu, kita dihantar juga pada “Jembatan” itu. Kemudian, Roh Kudus, bagaikan
gadis yang dengan sabar terus bercerita menunjukkan “Jembantan” itu, yang
tangannya selalu terbuka menatang yang penat dan menguatkan yang lemah. Ia ada
di hati kita, sudahkah kita merasakan kehadiran-Nya?