“Koq bisa, ada orang yang
mempertaruhkan hidupnya dengan memberikan semua yang dia punya untuk Tuhan!”
Demikian kira-kira celoteh salah satu peserta Pemahaman Alkitab ketika membahas
perikop Markus 12:41-44. Ia sangat terpesona setelah menelaah bahwa harta satu-satunya
yang dimiliki janda ini hanya dua peser,
yaitu satu duit. “Peser” dalam bahasa Yunani lepton nilainya setengah duit. Dua lepton berarti satu duit, ini menunjukkan ukuran mata uang terkecil
pada masa itu. Berapa nilai dari satu lepton?
Satu lepton 1/128 dinar. Upah buruh pada saat itu adalah satu dinar per hari. Berapa
kira-kira nilainya sekarang? Kalau pada saat ini upah buruh satu hari Rp.
100.000,- maka kira-kira besarannya Rp.781,25. Jadi janda itu memberikan
persembahan kira-kira Rp. 1.562,5. Sebuah jumlah yang sangat kecil dibanding
dengan orang-orang lain yang memasukkan persembahan dalam jumlah uang yang
sangat besar. Namun, apa yang paling kecil itu justeru itulah harta milik
satu-satunya dari si janda ini.
Jumlah yang kecil di hadapan Tuhan ternyata memiliki
nilai sangat besar di hadapan Tuhan melebihi jumlah persembahan yang diberikan
oleh orang-orang kaya. Mengapa? Oleh karena dengan memberikan uangnya itu, si
janda ini sudah tidak punya apa-apa lagi bahkan untuk makan hari itu. Kalau
diprosentasikan, janda ini memberi 100% dari total kekayaannya. Di sinilah
terletak rahasianya, ia memercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Berbeda
dengan orang lain, orang kaya. Mereka memberi banyak tetapi dalam saku, di
rumah, atau di tempat penyimpanan lainnya masih banyak uang atau hartanya. Bisa jadi jumlah uangnya besar tetapi nilai
prosentasinya sangat kecil.
Persembahan merupakan ekspresi kemurahan hati, ungkapan
syukur dan iman seseorang. Yesus atau Alkitab tidak menjelaskan motivasi si
janda memberikan seluruh uangnya itu untuk korban persembahan. Namun, dari
pujian Yesus terhadap si janda ini menyiratkan kepada kita bahwa si janda ini
memberi dengan rela dan memercayakan kehidupannya kepada Allah.
Ada banyak motiv ketika seseorang memberi persembahan.
Ada yang seperti si janda miskin, ada pula yang berharap bahwa dengan pemberian
itu Tuhan akan membalasnya berpuluh bahkan beribu kali lipat. Tidak sedikit
pula yang mengharapkan pujian dari orang yang melihatnya. Bagaimana dengan kita
ketika memberikan persembahan? Pastilah Tuhan menghendaki kita dapat memberikan
persembahan itu dengan niat yang tulus untuk mengucap syukur.
Dasar dan motivasi kita dalam memberikan persembahan
kepada Allah, baik itu persembahan diri, pikiran, tenaga, waktu dan uang
mestinya berpijak pada apa yang dilakukan dan diajarkan Yesus. Apa yang bisa
kita renungkan dari kehidupan, pelayanan dan ajaran Yesus. Hari ini kita
merenungkan bagian dari surat Ibrani 9:24-28. Segenap kehidupan dan seluruh
karya-Nya Ia persembahkan kepada Bapa-Nya. Yesus tidak menjadikan hewan atau
harta benda sebagai korban persembahan kepada Allah melainkan korban yang
sejati, yakni diri-Nya sendiri. Korban yang dipergakannya bukan sekedar
formalitas lahiriah melaikan menembus makna pendamaian dan pengudusan yang
sesungguhnya. Penulis surat Ibrani mengatakan, bahwa tata korban menurut
peraturan Imamat Lewi dimaksudkan untuk membersihkan benda-benda yang dipakai
dalam ibadat dan manusia secara lahiriah. “Sebab,
jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan
mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah,...” (Ibrani
9:13). Itulah sebabnya karya pengorbanan Kristus melebih
pengorbanan-pengorbanan yang lain.
Hanya Yesuslah yang dapat masuk ke dalam tempat kudus
yang bukan buatan tangan manusia. “Sebab
Kristus bukan masuk ke dalam tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya
merupakan gambaran saja dari yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri
untuk menghadap hadirat Allah guna kepentingan kita.” (Ibrani 9:24). Dalam
bayangan penulis Ibrani, tempat kudus, yang di dalamnya berlangsung ritual
keagamaan adalah peragaan formal lahiriah. Semua itu belum menyentuh apa yang
esensial, yang hakiki. Ibadah-ibadah seperti ini merupakan syareat, belum menyentuh
hakikat apalagi ma’ rifat. Apakah syareat tidak penting? Jelas penting! Melalui
syareat, panca indera kita jadi mengenal apa itu ibadah. Kita tidak akan
mengerti karya Yesus tanpa melihat dan mempelajari syareat yang diuraikan
panjang lebar melalui Perjanjian Lama, khususnya kitab Imamat.
Namun, mestinya kita tidak berhenti di situ. Kita harus
menggalinya lebih dalam lagi. Ada apa di balik syareat “ruang kudus” dan “maha
kudus” kemudian ritual dan pengorbanan ibadah yang terjadi dalam keyakinan
Yudaisme. Jelaslah esensi atau hakikiatnya agar manusia diperdamaikan kembali
dengan Allah.
Kristus masuk
sampai kehadirat Allah, bukan hanya untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi
juga untuk kita. Dia membuka jalan itu untuk kita dan untuk membela kita, yakni
memperdamaikan manusia berdosa dengan Allah yang Kudus. Pengorabanan, tubuh dan
darah-Nya adalah penggenapan dari gambaran yang samar tentang darah anak domba
dalam pengorabanan Perjanjian Lama. Apa yang dilakukan-Nya cukup sekali dan
tidak perlu diulang lagi. Melalui pengorabanan Kristus jalan menuju Allah
dibuka untuk selamanya.
Nah, sekarang apa yang terjadi pada diri seseorang
ketika ia telah diperdamaikan dengan Allah melalui karya Kristus? Logikanya,
berterimakasih dan mengucap syukur! Jelaslah persembahan, pengorbanan, ibadah
dan apa pun namanya, tujuannya bukan lagi untuk pemuasan diri, mencari berkat
berlimpah dan seterusnya melainkan ungkapan syukur semata.
Dwigth Moody suatu hari akan memberitakan Injil di
sebuah penjara di Canon City, Colorado pada perayaan Thanksgiving, 1899. Sehubungan dengan itu, Gubernur Colorado
menulis surat kepadanya dengan melampirkan surat remisi bagi seorang wanita
yang telah menjalani tiga dari sepuluh tahun masa hukumannya. Moddy menyambut
baik dan dengan gembira ia akan menjadi pembawa kabar baik itu.
Setelah menyelesaikan khotbahnya di penjara, Moody
mengeluarkan dokumen dan mengumumkan, “Aku memegang surat pengampunan untuk
salah satu tahanan di hadapan saya!” Semua narapidana tertegun, mungkin mereka
berharap namanya disebut. Kemudian Moody menyebut dan memanggil nama narapidana
yang dimaksudkan dalam surat remisi, “Maukah Anda maju dan menerima hadiah Thanksgiving dari gubernur?” Setelah
beberapa saat tertegun, terkejut dan seolah tidak percaya, narapidana yang
diampuni muncul, lalu menjerit dan jatuh, menangis dan tertawa, melompati para
narapidana lainnya. Ia berdiri terhuyung-huyung dalam jarak pendek, dan jatuh
di kaki sipir penjara, menyurukkan kepalanya di pangkuan sipir itu. Kegembiraan
itu begitu hebat sehingga Moody hanya bisa memberikan komentar singkat dengan
ilustrasi Allah yang mengampuni dosa manusia.
Sekarang, bayangkan Anda yang
mendapat remisi dari penjara itu. Anda bebas karena adayang membebaskan, bukan
karena kebaikan Anda sendiri? Apa yang akan Anda lakukan? Saya membayangkan
Anda akan tertegun, mungkin sesaat tidak percaya, menangis dan tertawa,
antusias, harus dan seterusnya. Nah, ketika Yesus telah membebaskan Anda, kini
Anda menjadi orang merdeka dari dosa dan penghukuman kekal, adakah kegembiraan
itu? Adakah ucapan syukur, menangis, tertawa dan antusias? Ataukah biasa-biasa
saja dan malah Anda menuntut lebih dari Tuhan. Anda dan saya pasti akan rela
melakukan apa saja, jangankan uang, harta, waktu, tenaga,dan pikiran kita
bahkan nyawa pun kita rela persembahkan ketika kita mengerti, merasakan dan
mengalami karya Yesus, Sang Imam Besar sesungguhnya yang rela mengorbankan
diri-Nya untuk kita semua!