Bencana hidrometeorologi; banjir dan tanah longsor tidak hanya menyisakan duka nestapa, tetapi juga polemik! Ini bencana nasional atau bukan; siapa yang bertanggung jawab? Dan, tidak kalah seru: polemik ribuan kubik kayu gelondongan yang terbawa arus banjir dahsyat itu! Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho angkat bicara bahwa kayu-kayu itu berasal dari pohon-pohon tua yang sudah lapuk. Pernyataan itu segera ditepis ketika banyak pihak mengkritik dan menayangkan bukti-bukti bahwa kayu-kayu itu terpotong rapi. Dwi mengklarifikasi, “Ada pemotongan (pernyataan) yang mengaburkan substansi!”
Kegaduhan tidak hanya di dunia maya, di gedung wakil rakyat pun segera heboh. Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo menyoroti polemik kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang itu. Komisi IV DPR memanggil Menteri Kehutanan untuk menggali informasi lebih dalam. Lebih lanjut, Firman mengatakan bahwa Komisi IV siap membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) untuk menyingkap ada atau tidaknya penyimpangan illegal loging. Pasti ramai perdebatan ini, kita nantikan saja!
Kayu tidak bisa berbicara. Namun, gemanya menyiratkan ada yang tidak beres! Berbagai cara manusia dapat memanipulasi kebusukan yang selama ini ditutup. Teori, kebijakan, peraturan undang-undang dan izin-izin pengelolaan hutan dipakai untuk mengeruk sumber daya alam. Kini, kayu-kayu gelondongan itu bersuara. Alam tidak butuh banyak teori untuk menyatakan kebenaran, menguak fakta dan membuktikan kebobrokan moral manusia. Suara alam tampaknya lebih bergema ketimbang suara para ulama yang masih suka fulus atau pejabat yang tampaknya agamis namun menyimpan hati serigala!
Suara padang gurun bergema. Gemanya sampai ke seantero Yudea dan seluruh lembah Yordan, menghujam pada jantung spiritual umat Allah; Yerusalem! Bait Allah yang berada di pusaran kehidupan umat Allah bagaikan gedung parlemen tempat orang partai berebut pengaruh. Ia membicarakan kebenaran tetapi tidak memperagakannya; ia membicarakan pengampunan tetapi penghakiman yang tampil dengan gagah; ia membicarakan pertobatan tetapi hanya sebatas pencitraan. Bukankah itu yang disukai oleh partai Farisi dan partai Saduki sebagai penguasanya?
Gemanya lenyap, tajinya lumpuh! Seperti kebanyakan orang yang tidak lagi menaruh percaya apalagi harapan kepada para pejabat yang pagi berbicara lain, sorenya sibuk mengklarifikasi, sampai kayu-kayu gelondongan itu yang harus berbicara! Demikian Yerusalem dan Bait Sucinya tidak lagi otentik menyuarakan kebenaran, pengampunan, dan pertobatan, sampai suara padang gurun itu bergema; bertobatlah!
Orang lebih percaya kayu gelondongan ketimbang pernyataan pejabat. Orang lebih percaya datang menghampiri suara padang gurun ketimbang para penguasa Bait Suci itu. Dari pelbagai pelosok mereka datang ke padang gurun itu. Mereka rela meninggalkan kesibukan, usaha dan bisnis lalu bersimpuh di lembah Yordan dan menyimak sungguh-sungguh ajakan pertobatan dari Sang Nyentrik, Yohanes Pembaptis yang makanannya belalang dan madu hutan itu. Kharismanya muncul bukan dari gemerlap jubah jabatan imam tetapi dari otentisitas integritas; satunya kata dan perbuatan.
Visi jelas yang dilihat Yohanes, jika tidak bertobat, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Matius 3:10). Bayangkan, kayu gelondongan sebagai tanda petaka dahsyat. Apa yang diingatkan Yohanes lebih dari itu. Meminjam nubuat Yesaya, “… ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik.” (Yesaya 11:4b). Yohanes membahasakannya, jika orang tidak mau bertobat, bagaikan pohon yang ditebang dan dibakar habis!
Bagi Yohanes orang tidak cukup menyatakan diri bertobat. Jauh dari itu, menghasilkan buah pertobatan! Seperti apa buah pertobatan itu? Yohanes memberitakan pertobatan agar umat dapat menyambut Kerajaan Surga yang segera akan datang. Nabi Yesaya menyarankan pertobatan itu merupakan perubahan sikap yang mendasar yang menghasilkan damai sejahtera. Gambaran damai sejahtera itu seperti serigala yang tinggal bersama domba; macan tutul berbaring di samping kambing, anak lembu dan singa akan makan rumput bersama, lembu dan beruang sama-sama makan rumput dan anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung. Pendek kata, tidak akan ada orang yang berbuat jahat sebab semuanya mengenal Tuhan dengan baik.
Sampai kapan perdebatan di gedung parlemen atau di podcast-podcast atau di medsos-medsosmenghentikan masifnya kerusakan alam? Sampai kapan dapat mendatangkan masa depan yang lebih baik sehingga alam kembali memberikan hasilnya untuk dinikmati; pulih? Sampai kapan serigala dan domba berbaring berdampingan? Ya, jawabannya mudah. Sampai hati manusia dipenuhi oleh pengenalan akan Tuhan. Sampai hati manusia bersedia meninggalkan ego kerakusan dan keserakahan. Sampai seperti bahasa Paulus; yang kuat tidak mengekspoitasi yang lemah. Melainkan, yang kuat akan memberdayakan yang lemah. Bumi ini lebih dari cukup untuk memberi makan para penghuninya asalkan tidak ada yang serakah dan tamak!
Perdebatan mencari kebenaran tentu tidak salah. Namun, ini belum utuh, jauh lebih penting memperagakannya. Pertobatan tidak cukup untuk dibicarakan. Namun, harus menghasilkan buah! Buah itu dapat dilihat, dinikmati dan menghasilkan daya guna. Tidak perlu pamer bahwa Anda dan saya telah bertobat. Cukup peragakan!
Pertobatan tidak hanya berhenti dari segala perilaku buruk dan jahat. Tetapi berhenti, lalu memperbaiki. Metanoia! Jika Anda menyadari bahwa mencuri itu adalah jahat, bertobat tidak hanya berhenti mencuri. Lebih jauh dari itu, Anda akan bekerja dengan all-out dan menghasilkan pendapatan dari situ Anda akan dapat berbagi. Seorang pencuri mengambil kepunyaan orang lain untuk dirinya, sekarang dirinya berjeri-lelah untuk bisa menolong orang lain. Seseorang yang gemar menyombongkan diri karena merasa kuat dan hebat, ketika ia bertobat tidak cukup berhenti pamer kesombongannya. Namun, kelebihannya akan memberdayakan orang lain, itulah bertobat. Seorang pelaku illegal loging mengatakan bahwa dirinya bertobat. Tidak cukup ia berhenti membabat hutan, tetapi ia akan menanami kembali hutan yang telah dirusaknya, itulah bertobat dan menghasilkan buah pertobatan!
Sebelum kapak itu terayun pada akar pohon, dan kita seumpama pohon itu akan dibakar, masih ada waktu. Ya, masih ada waktu untuk berbenah sebelum Sang Hakim Agung itu datang. Marilah kita berbenah tidak hanya karena rasa takut akan penghukuman yang akan datang. Jauh lebih penting dari itu adalah untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik dan damai sejahtera di bumi yang kita tinggali bersama ini menjadi pulih. Semoga!
Jakarta, 4 Desember 2025 Minggu Adven II Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar