Kamis, 21 Agustus 2025

GEREJA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Plato menulis dalam karyanya Republik tentang “tirani”. Menurutnya, tirani adalah bentuk pemerintahan terburuk, lahir dari demokrasi yang kebablasan, di mana satu orang terpilih berkuasa mutlak dengan cara manipulatif dan menakut-nakuti rakyat. Sedangkan Aristoteles menolak tirani karena merupakan bentuk penyimpangan dari monarki, yakni penguasa menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan rakyat. Singkatnya, tirani merupakan kekuasaan absolut yang kejam, sewenang-wenang, dan menindas.

 

Hal yang menyedihkan adalah ‘tiran’ ini bukan hanya sebuah bentuk pemerintahan, tetapi dapat muncul juga dalam berbagai bentuk strata sosial masyarakat, komunitas dan organisasi termasuk sistem keagamaan. Jika dalam organisasi profan, aturan hukum dan perangkatnya dapat dipergunakan sebagai alat untuk menyingkirkan dan membunuh karakter lawan politik, maka dalam sistem keagamaan; syareat, kesalehan dan ritual menjadi senjata ampuh untuk menempatkan orang pada derajat mulia dan menunjuk yang lain sebagai pendosa yang layak disingkirkan.

 

Tiran, kata ini berasal dari kata tyrannos, semula berarti “penguasa tunggal” namun kemudian mendapat label negatif. Awalnya (sezaman Nabi Yesaya), penggunaan kata ini dalam budaya Yunani tidaklah negatif. Istilah tiran merujuk pada seorang yang memimpin dan berkuasa dalam sebuah komunitas tanpa mengikuti aturan tradisional, misalnya ia tampil bukan dari kalangan bangsawan atau keturunan raja sebelumnya. Contohnya, di banyak polis (kota – negara), kekuasaan biasanya dipegang oleh bangsawan (aristokrat). Kadang muncul seorang tokoh yang didukung oleh rakyat jelata menggulingkan aristokrasi dan memegang kekuasaan penuh. Kota-kota Yunani seperti Korintus, Athena, dan Samos pernah diperintah oleh tiran. Menariknya, beberapa tiran justru membawa stabilitas, pembangunan ekonomi, dan perlindungan bagi rakyat kecil. 

 

Dalam sejarahnya, baik tiran, demokrasi, monarki, apa pun itu sistem kekuasaan mempunyai pedang bermata dua. Ia bisa dipergunakan untuk memuaskan hasrat kekuasaan atau bisa dipergunakan untukmendistribusikan keadilan dan memanusiakan manusia. Ini terjadi tanpa kecuali bahkan dalam sistem kehidupan religius di mana gereja ada di dalamnya.

 

Dalam masyarakat Yudaisme mengenal purity system (sistem kemurnian/ ketahiran/ kekudusan). Ini bukan perkara kebersihan fisik saja, tetapi sebuah kerangka sosial religius yang mengatur siapa yang dianggap “murni”, suci (tahir) dan siapa yang dikelompokkan “najis”/tidak tahir. Ini akan menentukan status dan derajat kesalehan. Kekudusan diwujudkan dalam pemisahan. Misal, antara suci – najis; Israel – bangsa lain; laki-laki – perempuan; sehat – sakit, selanjutnya makanan, tubuh dan seksualitas, tempat suci dan ibadah, kematian). Purity system membentuk hierarki religius: Imam Besar ® Imam ® Orang Lewi ® Orang Israel ® orang najis ®pendosa ®kafir. Purity system dalam Yudaisme bukan sekedar aturan ritual, tetapi sebuah sistem sosial-religius yang mengatur identitas, batasan, dan relasi antar manusia dengan Allah serta sesamanya. Ia menciptakan lapisan-lapisan sosial: semakin dekat pada pusat (Allah dan Bait Allah) maka semakin kudus, terhormat dan mulia. Sebaliknya, semakin jauh, semakin najis dan berdosa.

 

Sama seperti sistem apa pun yang disusun oleh manusia, semua seperti pedang bermata dua, bisa untuk mencapai tujuan mulia, tetapi juga dapat dipakai untuk mengukuhkan kekuasaan, kebanggaan, dan status sosial. Hal ini berlaku juga dengan purity system Yudaisme. Ia bisa menolong masyarakat hidup untuk hidup kudus di hadapan Allah yang kudus. Namun, bisa juga dipakai untuk menindas orang-orang yang berada di luar sistem itu. Padahal, justru orang-orang seperti inilah yang perlu diraih dan dirangkul agar merasakan dan mengalami kasih Allah; orang-orang yang harus dikembalikan dalam martabat kemanusiaannya yang utuh!

 

Seperti tirannos yang mendobrak monarki dan didukung jelata. Yesus tampil berbeda dari para klerus di zamannya. Seolah tak peduli bahkan berhadapan dengan purity system Yudaisme, Yesus menyentuh mayat dan orang kusta, makan bersama orang berdosa sambil berkata, “yang menajiskan orang bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut, melainkan yang keluar dari hati seseorang!” Tak segan Ia mendemontrasikan pemulihan justru di hari Sabat pada saat setiap orang Yahudi tidak boleh melakukan apa pun selain beribadah. 

 

Tidak mengherankan jika pemimpin rumah ibadah itu tidak hanya gusar, tetapi marah ketika Yesus memulihkan seorang perempuan yang telah delapan belas tahun bungkuk lantaran dirasuk kuasa roh jahat. Ia tidak gembira dengan pemulihan itu. Ia mempertanyakan, perempuan itu tidak dalam kondisi kritis darurat. Buktinya, perempuan itu bisa menjalani hidup dengan kondisi demikian selama delapan belas tahun. Apa salahnya datang di luar hari Sabat! Yesus memandang kondisi delapan belas tahun bukan dengan aturan yang membelenggu. Ia berada pada posisi perempuan yang menderita cukup lama, dan inilah saatnya perempuan itu dipulihkan! Yesus seorang tiran yang mendobrak sistem ketahiran dengan mengutamakan belas kasih di atas ritual!

 

Sejarah tirannos yang berakhir konotasi negatf dan dibenci karena merujuk pada kekuasan yang menindas menjadi sinyal peringatan buat gereja. Gereja dapat terjebak menciptakan purity system baru dengan sederet aturan Tata Gereja dan turunannya untuk memagari dan mengukuh diri sebagai entitas yang berbeda, terhormat dan mulia. Rasanya bukan seperti ini yang Tuhan mau. Saya kira kita sepakat bahwa Yesus tidak membenci dan menentang tatanan hukum. Ia berjalan melampaui dan melandasi hukum. Hukum atau aturan adalah sarana untuk menolong agar harkat martabat manusia dipulihkan, bukan penghambat pemulihan itu terjadi.

 

Sama seperti Yesaya yang hendak mengembalikan ritual kesalehan bukan untuk kemegahan individu, tetapi berdampak bagi kemanusiaan dan kehidupan komunal. Yesus terang-terangan memanggil perempuan itu di tengah-tengah ruang ibadah. Seolah Ia menegaskan bahwa ruang ibadah itu adalah tempat manusia dipulihkan. Pulih dari stigma negatif bahwa ia seorang perempuan berdosa dan karena itu dirasuki roh jahat dan sakit. Sekaligus ia pulih dari penderitaan fisik yang menyengsarakannya selama delapan belas tahun. Bukankah ini patut disyukuri?

 

Hari ini kita merayakan kehadiran gereja kita GKI ke-37 yang berangkat dari penyatuan ketiga sinode yang sekarang disebut Sinode Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi Sinode Gereja Kristen Indonesia. Momentum yang baik untuk kita tafakur, apakah sampai hari ini GKI berada dalam derap yang sama dengan “Sang Tiran” yang memulihkan ataukah sedang sibuk membangun tembok-tembok mercu suar? Apakah ruang-ruang ibadah menjadi tempat demonstrasi pemulihanAtau kita sedang membangun tirani yang membatasi kasih karunia Allah yang memulihkan itu? 

 

Jakarta, 21 Agustus 2025, Minggu Biasa XXI, Tahun C (HUT GKI ke-37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar