Kamis, 20 Maret 2025

YESUS PEMBERI KESEMPATAN

Raut wajah tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Hampir sepuluh tahun ia mendekam di Lapas Batu, Nusakambangan. Pembunuhan brutal satu keluarga yang memaksanya mendekam di sana. Tidak banyak lagi waktu tersisa, eksekusi hukuman mati akan segera menjemputnya. “Andai waktu dapat diulang!” Gumamnya dalam gelisah.

 

Kesempatan! Ia terasa begitu sempit dan singkat ketika kematian hanya tinggal sesaat lagi. Ironis, ia juga sering diabaikan mana kala hidup terasa baik-baik saja. Berapa sering kita terjebak dalam posisi itu. Merasa sesal dan ingin waktu dapat diulang. Namun, ketika kesempatan itu terbuka, nyatanya tidak ada hal yang berubah. Berapa kali kita punya tekad, resolusi di awal tahun? Berapa kali jidat kita dioles abu tanda salib saban memasuki masa Raya Paskah sebagai tanda komitmen pertobatan, nyatanya? 

 

Ya, nyatanya tidak banyak berubah. Tutur kata yang seenaknya sendiri, tidak mau mengerti dan memahami posisi orang lain, pikiran dan ambisi yang melulu memperjuangkan ego diri, perilaku yang semena-mena tetap saja mewarnai keseharian. Resolusi hanya di catatan memori dan abu salib hanya goresan di jidat supaya orang tahu bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang menjalani pertobatan!

 

Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan sia-sia!” Barang kali kata itu relevan dan tepat. Analogi yang menggambarkan kejengkelan Sang Pencipta yang telah menyediakan pelbagai fasilitas agar umat-Nya hidup dalam kehendak-Nya dan menghasilkan buah, artinya berguna bagi ciptaan yang lain dan memuliakan nama-Nya. Benar, Allah itu Maha baik dan Maha Sabar. Namun, bukan berarti manusia yang diciptakan segambar dengan-Nya mempergunakan kesempatan kesabaran dan kebaikan Allah itu dengan semaunya.

 

Bertindak semaunya karena berpikir bahwa Tuhan itu sabar dan baik, lalu merasa sebagai umat pilihan-Nya adalah juga cara berpikir umat Israel di masa lampau. Berulang kali Allah melalui nabi-nabi-Nya mengingatkan mereka. Bahkan secara khusus Paulus mengingatkan kepada Jemaat Korintus untuk menjadikan Israel sebagai sebuah peringatan untuk mawas diri (1 Korintus 10:1-13). Lihat, Tuhan tidak pernah kompromi dengan dosa! 

 

Hari ini kembali kita mendengar peringatan yang disampaikan Nabi Yesaya, “Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya. Baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Ia akan menyayanginya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.”(Yesaya 55:7). Pengampunan dengan limpah! Jelas ditujukan bagi orang-orang yang serius bertobat dan mencari TUHAN. Serius dengan dirinya bukan membanding-bandingkan dengan orang lain lalu mencari pembenaran dan merasa lebih baik ketimbang orang lain.

 

Hari ini, ketika kita masih dapat menghirup nafas, berarti masih diberi kesempatan. Kesempatan itu bukan karena kebaikan kita, tetapi ada yang memberi! “Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:8,9). Yesus bagaikan tukang kebun itu. Ia bersedia menjamin dengan mengurbankan diri-Nya menjadi pelayan yang merawat “pohon ara” itu.  

 

Pohon ara itu adalah kita! Yesus pasang badan buat kita agar tidak dibinasakan. Tidak hanya sampai di situ. Pelbagai cara Ia lakukan. Mencangkul dan memberikan pupuk adalah gambaran bahwa Ia sungguh-sungguh merawat, memberikan nutrisi yang dibutuhkan dan bahkan melindungi kita. Pelbagai cara Ia menghadirkan kita dalam komunitas orang percaya agar dapat tumbuh dan berbuah. Dengan cara-Nya yang unik Ia juga menghadirkan orang-orang yang mengingatkan, membina, menuntun kita. Perjumpaan-perjumpaan unik melalui sesama memberikan kesempatan kepada kita agar iman dan pertobatan itu sungguh-sungguh nyata, bukan sekedar teori dan dogmatik belaka.

 

Lantas, jika Yesus telah memberi kesempatan dan menyediakan yang terbaik, apa yang seharusnya kita lakukan? Seperti pohon yang mendapatkan perlakuan dan perawatan terbaik, maka berbuah itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada lagi alasan untuk tidak menghasilkan buah. Pertobatan sebatas wacana dan argumentasi hanyalah pertobatan semu yang pada akhirnya akan menghianati makna dari pertobatan itu sendiri.

 

Yesus sangat serius dengan kita. Inilah yang mestinya mendorong kita untuk serius dengan pertobatan diri sendiri, bukan sibuk menghakimi orang lain. Keseriusan Yesus tampak ketika Ia menanggapi dua peristiwa tragis yang menimpa orang-orang Galilea dan para pekerja yang mengerjakan proyek saluran air. Kedua peristiwa itu erat kaitannya dengan Pilatus, penguasa Galilea di bawah imperium Romawi. Kelompok Zelot – Galilea terkenal dengan gerakan radikalnya yang menentang kolonial Romawi. Mereka tidak segan-segan menghunus badi, menusukannya pada pihak lawan dan melakukan pemberontakan terhadap penguasa kafir itu. Pilatus tentu terpanggil untuk menertibkan kelompok pemberontak ini. Salah satunya dengan cara menumpas saat mereka sedang melakukan ritual kurban persembahan di Bait Allah. Ini berakibat darah mereka tercampur dengan darah hewan kurban. Mengerikan! 

 

Peristiwa kedua, ada delapan belas orang yang tertimpa Menara di dekat Siloam. Mereka mati ketika sedang mengerjakan proyek pembangunan saluran air. Pilatus punya proyek mulia, membenahi suplai air untuk penduduk kota. Sayangnya, pendanaan untuk proyek itu diambil dari uang persembahan untuk Bait Allah. Delapan belas orang ini binasa saat berkerja pada proyek yang mencederai kekudusan Bait Allah. Tragis!

 

Kematian mengerikan dan tragis itulah yang dengan mudah orang menghubungkannya dengan dosa yang sudah diperbuat. Kematian itu dipandang setimpal dengan dosa-dosa mereka. Bukankah kita juga punya kecenderungan cara pikir yang sama? Sangat mudah menghubungkan penderitaan yang dialami seseorang dengan dosa yang dilakukannya: penderitaan itu adalah hukuman! Bagaimana reaksi dan tanggapan Yesus? Yesus menolak! Yesus mengingatkan bahwa orang-orang yang mati dengan cara mengerikan itu tidak berarti bahwa mereka lebih berdosa ketimbang orang-orang lain. Sebaliknya, bukan berarti bahwa orang yang baik-baik saja dan mati secara wajar bebas dari dosa. Alih-alih menghakimi peristiwa tragis orang lain sebagai hukuman, Yesus mengajak para murid-Nya untuk serius dengan pertobatan mereka sendiri, dan bagaimana mereka dapat menghasilkan buah pertobatan itu.

 

Keseriusan dengan pertobatan diri sendiri akan mengubah cara pandang kita terhadap kesempatan yang Tuhan masih sediakan. Tidak banyak waktu untuk kita membicarakan aib dan keburukan orang lain. Ada target yang harus kita capai, yakni: berbuah! Tahun depan jika tidak berbuah, kita ditebang-Nya, kita menjadi orang-orang yang tidak berguna! Tahun depan adalah gambaran kesempatan yang Tuhan berikan buat kita. Tahun depan bisa berarti sungguh-sungguh satu tahun ke depan. Namun, bisa juga bulan depan, minggu depan atau besok segera berakhir. 

 

Betapa serius dan singkatnya waktu yang ada di depan kita untuk berbenah diri, maka pakailah kesempatan itu dengan baik. Jangan pernah menyia-nyiakan waktu yang Tuhan berikan kepada kita. Tidak seorang pun yang berkuasa untuk memutar kembali waktu yang telah berjalan.

 

Bertobat dan berubahlah bukan karena takut ancaman, tetapi lakukanlah dengan ucapan syukur karena Tuhan masih memberi kesempatan. Berterima kasihlah karena Dia telah mengurbankan diri-Nya untuk merawat, menjaga dan melindungi kita. Berbuahlah dengan gembira dan sukacita!

 

 

Jakarta, 20 Maret 2025, Minggu Pra-Paskah III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar