“Aku datang bukan untuk bertikai, aku datang untuk mencintai”, kata Yunus Emre (1238-1320), penyair dan sufi Turkiye ternama. Barang kali itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan Yesus dari Nazaret menuju Yerusalem, meski tentu saja Emre tidak bermaksud membuat syairnya untuk Yesus.
Dalam perjalanan yang tinggal beberapa kilo meter lagi sampai di puncak pembuktian cinta-Nya, Yesus berjumpa dengan beberapa tokoh yang mengharuskan-Nya berada dalam pusaran pertikaian. Pertanyaan-pertanyaan disusun apik namun mengandung jebakan tingkat tinggi adalah upaya untuk menghentikan jalan cinta-Nya!
Setelah Yesus berhasil menerobos jebakan: boleh tidaknya membayar pajak dan tentang kebangkitan. Kini, Ia diperhadapkan dengan hukum yang paling utama. Apakah Farisi yang terakhir ini sama seperti Farisi dan Saduki sebelumnya? Ia ingin bertikai dan menjebak Yesus dengan persoalan pelik? Untuk orang yang satu ini, lebih baik kita huznudzon ketimbang suudzon.
Ahli Taurat ini pastilah telah mendengar percakapan Yesus sebelumnya. Tema perdebatan kebangkitan pasti sangat menarik perhatian orang ini. Orang Farisi yang pada umumnya ahli Taurat tidaklah seperti orang Saduki yang tidak percaya pada kebangkitan. Farisi percaya kebangkitan. Orang ini melihat Yesus memiliki keyakinan yang sama dengannya. Ahli Taurat itu mengamati bahwa Yesus memberi jawaban yang tepat kepada orang-orang Saduki. Ia sepakat dan ingin berdiskusi lebih lanjut dengan Yesus. Bisa jadi dalam percakapan berikutnya, Si ahli Taurat ini benar-benar ingin tahu pendapat dan penafsiran Yesus tentang hukum yang terutama itu. Pembicaraan tentang hukum dan penafsirannya adalah hal yang lumrah di kalangan mereka.
Suasana dialog pun berbeda dengan percakapan bersama orang-orang Saduki. Kalau kita cermati, ahli Taurat itu tidak ada usaha untuk menjebak atau menjatuhkan Yesus. Sebaliknya, dari pihak Yesus tidak ada kalimat keras atau perumpamaan sindiran untuk orang ini, alih-alih Yesus melihatnya sebagai orang yang bijaksana (Markus 12:34).
Ahli Taurat itu ingin mengetahui tafsiran Yesus mengenai hukum yang terutama. Perlu kita sadari bahwa para rabi Yahudi telah merinci seluruh perintah dalam Taurat menjadi 613 perintah dan larangan. Positifnya, uraianterhadap Taurat memudahkan orang untuk melakukan apa yang harus dilakukan dan tidak melakukan apa yang dilarang. Keseluruhan dari 613 uraian hukum itu terjalin begitu erat dan satu dengan yang lainnya saling berhubungan sehingga, melanggar satu saja dari ketentuan itu, maka dianggap melanggar keseluruhan hukum itu. Sudah menjadi hal biasa kalau para rabi mendiskusikan prinsip-prinsip dasar yang menjiwai seluruh peraturan itu.
Menanggapi pertanyaan itu, Yesus mengatakan bahwa hanya ada dua perintah yang paling utama. Pertama, Yesus mengutip Ulangan 6:4-5 untuk menjelaskan bahwa manusia harus mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Kedua, Yesus mengutip Imamat 19:18, tentang mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Kedua hukum inilah sebagai hukum yang terutama dan sekaligus inti sari dari sepuluh Hukum Tuhan. Kedua perintah ini tidak dapat dipisahkan: kasih kepada Allah diwujudkan dengan mengasihi sesama manusia. Yesus menegaskan tidak ada perintah yang lebih utama daripada kedua perintah ini. Tidak ada perintah yang lebih besar dari perintah ini. Hukum-hukum yang lain memberikan penjelasan tentang bagaimana mengasihi Allah dan sesama.
Ahli Taurat itu membenarkan jawaban Yesus dan memuji-Nya, “Tepat sekali Guru, benar kata-Mu itu,” dan ia menegaskan bahwa, “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama daripada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” (Markus 12:33).
Tampaknya Ahli Taurat ini berhasil mencerna apa yang disampaikan Yesus. Sebuah penegasan luar biasa yang keluar dari mulut seorang Farisi bahwa mengasihi sesama manusia lebih utama ketimbang semua kurban bakaran dan kurban sembelihan. Pernyataan ini mau menegaskan: Pertama, manusia tidak bisa hanya mengasihi Allah – dalam hal ini diwujudkan dengan pemberian kurban persembahan – lalu tidak peduli dengan sesamanya. Kita bisa menerawang jauh pada zaman Amos, bagaimana manusia mencoba memisahkan ritual ibadah yang di dalamnya dilakukan meriah dengan persembahan hewan tambun. Namun, mereka mengabaikan bahkan menindas sesama manusia. Jelas, Allah menolak! Korban persembahan bukan tidak penting. Namun, ia akan kehilangan makna bila hanya mewakili diri yang egois agar mendapat berkat dari apa yang dilakukannya itu.
Kedua, mencintai Allah dan sesama tidak bisa dibandingkan dengan semua kurban persembahan. Kasih itu tidak dapat digantikan dengan berapa pun banyaknya jumlah hewan kurban. Ya, jalan mengasihi Allah adalah dengan mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri. Yesus melihat orang yang berdiskusi dengan-Nya memahami dan menjawab dengan bijaksana. Atas dasar inilah Yesus mengatakan kepadanya bahwa ia, “tidak jauh dari Kerajaan Allah!”
“Δεν εισαι μακραν απο της βασιλειας του Θεου” (Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!) Kerajaan Allah dibangun dari sini : Kasih kepada Allah dan sesama manusia. Keduanya, harus dilakukan dan dihidupi, bukan sekedar didiskusikan, dijadikan tema khotbah dan pembinaan. Yesus mengatakan orang itu tidak jauh dari Kerajaan Allah. Apa maksudnya? Kebanyakan orang menafsirkan karena orang itu tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Ahli Taurat ini belum mengakui Yesus sebagai “Imam Besar yang menebus dosa dunia”. Itulah sebabnya ia belum masuk dalam Kerajaan Allah!
Boleh-boleh saja orang menafsirkan dengan cara demikian. Namun, baiklah kita renungkan dengan meminjam perkataan Yesus lain yang dicatat dalam Matius 7:21, “Bukan setiap orang yang berseru-seru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga!” Pengakuan adalah penting, namun sebagaimana dikonfirmasi Yesus bahwa mengasihi jauh lebih utama ketimbang kurban persembahan. Maka perbuatan dan tindakan kasih adalah jauh lebih penting.
Jadi, ahli Taurat itu dikatakan “tidak jauh dari Kerajaan Allah”, berarti tinggal selangkah lagi. Langkah itu adalah: berbuat dan melakukan tindakan kasih itu dan tidak hanya mendiskusikannya! Kita pun bisa termasuk kelompok ini “tidak jauh dari Kerajaan Allah” namun belum masuk di dalamnya. Dengan kata lain, kita begitu dekat sekali dengan Kerajaan Allah, dalam hal ini membicarakan kasih itu, sebab esensi Kerajaan Allah adalah kasih. Namun, belum berada di dalamnya! Mengapa? Karena, kita terlalu sibuk untuk membicarakan, mendiskusikan dan memakai wacana ini untuk menilai orang lain.
Kekurangan banyak pengikut Yesus adalah bahwa mereka sudah dekat dengan Kerajaan Allah, namun belum berada di dalamnya. Kita sibuk dengan kurban-kurban persembahan kita, sementara enggan mewujudkan kasih itu dalam tindakan. Coba kita evaluasi diri sendiri, seberapa banyak kita melakukan tindakan kasih kepada sesama dengan kualitas yang setara ketika kita mengasihi diri sendiri. Jika ini jarang atau belum sama sekali terjadi maka kita adalah orang-orang yang tetap di luar Kerajaan Allah, meskipun kita merasa dekat dengan pusaran Kerajaan Allah itu!
Jakarta, 31 Oktober 2024. Minggu Biasa, Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar