Yesus dan orang-orang Israel pada zaman-Nya tentu tidak asing dengan metafor gembala. Mereka tidak hanya mengerti tetapi amat sadar akan pentingnya peran gembala dalam hidup mereka. Gembala identik dengan pemimpin. Dalam kaitannya dengan umat Allah, gembala adalah mereka yang dipercayai untuk memimpin umat Israel. Intinya, umat Israel percaya bahwa hanya Tuhan sendirilah Sang Gembala sesungguhnya.
Tuhan adalah Gembala yang telah membawa umat Israel bebas dari perbudakan di Mesir. Sang Gembala menuntun mereka melalui Laut Merah, memberi makan di padang gurun, memimpin mereka dalam gurun itu menuju tanah perjanjian. Ia menunjukkan kepada mereka jalan hidup melalui sepuluh perintah-Nya. Tuhan memberikan kepada mereka gembala-gembala di sepanjang sejarah mereka, untuk menuntun mereka di jalan yang benar. Musa, Yosua, Daud, Salomo, Yesaya, Yehezkiel dan masih banyak lagi yang lain. Di antara mereka ada yang sungguh-sungguh mencerminkan mandat Tuhan, tetapi tidak kurang juga tampil bagaikan perampok dan gembala upahan.
Εγω ειμαι ο ποιμην ο καλος. “Akulah gembala yang baik!” Kata “baik” terjemahan dari καλος. “Kalos” punya dimensi sangat luas, tidak sekedar “baik”. Kata ini dapat diterjemahkan “mulia”, “indah”, ”ideal”, “sempurna”, “menakjubkan”. Ketika Yesus menyatakan diri-Nya gembala yang baik dengan dimensi yang sangat luas itu, berarti ada kriteria pembandingnya. Apa itu? Ya, jelas kebalikan dari kalos, yakni: gembala yang tidak mulia, tidak indah, tidak sempurna, dan tidak menakjubkan! Kriteria ini menunjuk kepada “pencuri yang masuk tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat dari tempat lain dan perampok” (Yohanes 10:1) dan “seorang upahan” (Yohanes 10:12).
Seorang pencuri atau perampok, jelas sedari awal punya niat menjadikan kawanan domba itu sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Namanya juga perampok dan pencuri, mereka akan menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan domba-domba itu. Tidak segan untuk melukai dan membunuh para penjaga domba-domba itu dan akhirnya juga membantai domba-domba itu untuk kebutuhan mereka. Para pencuri dan perampok adalah gambaran dari para penguasa Israel yang mengeksploitasi umat Allah itu untuk kepentingan diri mereka. Mereka tidak segan memeras, menindas bahkan membunuh rakyat jelata yang tidak berdaya. Nyatanya, metafor perampok dan pencuri domba ini ada di sepanjang zaman bahkan sampai hari ini. Hari ini kita bisa menyaksikan masih banyak pemimpin yang mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan kekuasaan diri mereka. Manipulasi pajak, penguasaan lahan, mafia tanah, diskriminasi dan tebang pilih kasus-kasus pidana, arogansi di ruang publik yang cenderung menganggap rendah rakyat biasa adalah bentuk-bentuk modern dari perampok dan pencuri!
Seorang “upahan”, rasanya tidak ada yang salah dan tidak adil juga kalau kita menyamakan seorang upahan dengan seorang perampok atau pencuri. Seorang gembala upahan adalah orang yang butuh bekerja. Dari pekerjaannya mereka mendapatkan nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya. Jelas, ada tanggung jawab di bahunya, yakni: dapur ngebul, dan kehidupan yang layak. Seorang upahan sepertinya tidak ada niat untuk merampok dan menikmati daging dari domba-domba itu. Hanya saja fokus dan kepedulian utamanya bukan pada kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka, melainkan pada nyawa dan penghidupan mereka sendiri. Maka mereka bukanlah gembala ideal atau sempurna!
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya!” (Yohanes 10:11). Yesus adalah gembala yang baik karena kualitasnya yang berbeda dari para pemimpin Israel yang mengeksploitasi umat Allah. Ia berbeda dari mereka yang hanya mencari upah untuk kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan domba-domba-Nya. Ia mengutamakan keselamatan umat-Nya ketimbang nyawa-Nya sendiri!
“Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Kualitas inilah yang tidak terdapat pada gembala-gembala lain dalam tradisi Israel. Gembala yang memberikan nyawa-Nya merupakan tema unik sekaligus kualifikasi yang hanya melekat pada Yesus. Kelak Yesus membuktikan-Nya melalui kisah sengsara dan kematian-Nya di kayu salib.
Selain menyerahkan nyawa-Nya, kualifikasi Gembala baik itu tercermin dari relasi yang dibangun dengan domba-domba-Nya. Hubungan Yesus, Sang Gembala dengan domba-domba-Nya bukanlah transaksi, melainkan relasi. Ya, Yesus membangun relasi dengan para pengikut-Nya tepat seperti relasi diri-Nya dengan Sang Bapa. Relasi Yesus dengan para pengikut-Nya saling mengenal: Sang Gembala mengenal nama satu per satu dari kawanan domba-Nya. Dengan gada dan tongkat-Nya, Ia membimbing, mengarahkan, memimpin. Ia memelihara dan memberkati dengan rumput di padang yang hijau dan air yang tenang. Ia melindungi dan menuntun di lembah kekelaman. Pada pihak lain, kawanan domba itu mendengarkan suara dari Sang Gembala!
Ya, ini bukan transaksi tetapi relasi antara Sang Gembala dan kawanan domba gembalaan-Nya. Relasi yang terus mengenal lebih dalam. Dalam tradisi Kitab Suci, mengenal seseorang menurut namanya berarti berkembang dalam pemahaman terhadap pribadi orang tersebut. Mengenal kekuatan, keistimewaan dan juga kelemahan-kelemahannya, kebutuhan-kebutuhan yang mesti dilengkapi. Ketika Sang Gembala mengatakan bahwa Ia mengenal domba-domba-Nya, itu artinya Ia mengenal dengan baik siapa kita sesungguhnya. Ia bersedia melengkapi setiap kekurangan kita dan Ia tahu bagaimana seharusnya kita berkembang!
Yesus adalah Gembala yang baik, bahkan paling baik. Ia menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan. Namun, apakah kita juga pernah mempertanyakan terhadap diri kita sendiri, bahwa kalau aku mempunyai seorang Gembala yang paling baik, gembala ideal, gembala yang sempurna dan menakjubkan, maka aku harus berusaha menjadi domba yang paling baik, domba ideal, domba yang sempurna dan menakjubkan. Bukankah menjadi tidak ideal kalau Gembalanya super baik dan sempurna tetapi domba-dombanya nakal tidak karuan!
Mendengar adalah kunci relasi yang baik. Yesus mengatakan bahwa domba-domba-Ku mengenal suara-Ku! Sudahkah kita menjadi domba-domba yang mendengar dan fokus hanya pada suara Sang Gembala itu? Atau, justru kita enggan mendengar suara-Nya dan sibuk mengikuti suara-suara lain. Sama seperti umat Allah di padang gurun yang enggan mendengar suara Tuhan. Mereka menutup rapat telinga dan hati mereka terhadap suara dan tuntunan Tuhan, dan membuka lebar-lebar untuk mendengar suara keegoisan sendiri!
Sama seperti Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian. Kita semua sedang menuju “negeri perjanjian” itu. Kita sedang mengembara di gurun dunia. Suara siapa yang kita dengar? Suara siapa yang kita andalkan untuk dapat memandu kita sampai di negeri kekal itu? Sebagai domba-domba yang baik, mestinya yang kita dengarkan itu adalah suara Sang Gembala!
Bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk domba-domba yang baik karena digembalakan oleh Gembala Agung yang sempurna itu? Lalu, apa kualitas domba yang baik itu? Sama seperti kualitas Gembala baik akan tampak dalam kata, ajaran dan tindakan, demikian juga kawanan domba-Nya akan terlihat dalam kata dan perbuatan. Kasih yang diajarkan dan diperagakan oleh figur Sang Gembala akan tercermin jelas dalam diri kawanan domba-Nya. Kasih yang membuang jauh keegoisan dan kemunafikan. Bahkan, seperti Sang Gembala itu sendiri yang rela menyerahkan nyawa-Nya, para domba-Nya tidak mustahil akan melakukan hal serupa!
Nyawa adalah prioritas paling utama dalam diri setiap makhluk hidup termasuk manusia. Prioritas utama itu telah diserahkan oleh Sang Gembala demi domba-domba-Nya. Maka, setiap kawanan domba yang mendengar suara Sang Gembala tidak akan segan menanggalkan prioritas utama itu dalam hidup demi kasihnya kepada sesamanya. Kasih itu akan menjadi tanda kualitas domba-domba yang digembalakan oleh Sang Gembala Agung. Kasih yang bukan pura-pura, hanya ada di mulut, tetapi kasih yang nyata dalam perbuatan!
Jakarta, 17 April 2024 Minggu Paskah ke-4 Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar