Otak tidak berfungsi tanpa ekspektasi, demikian ujar Rolf Dobelli ketika ia mengupas Bab tentang “Mengelola Harapan”. Pada dasarnya, otak adalah pemberi harapan yang andal. Ketika memutar gagang pintu, kita berharap pintu terbuka. Ketika memutar keran, kita berharap air keluar. Ketika memasuki pesawat, hukum aerodinamika membuat kita tetap terbang. Kita berharap matahari terbit pada pagi hari dan terbenam sore hari. Semua harapan ini meluncur begitu saja, tanpa kita sadari. Kebiasaan hidup sangat terpatri di otak, sehingga kita tidak perlu memikirkan secara aktif.
Dengan pola yang sama kita bisa meneruskan daftar ini. Ketika berbuat baik, kita berharap kebaikan itu diperhatikan Tuhan dan kembali kepada kita. Ketika pergi ke gereja, melakukan pelayanan ini dan itu, doa dan permintaan terkabul. Ketika mengikut Tuhan, segalanya akan baik dan berhasil. Barang kali itu juga yang ada dalam benak para murid ketika mereka mengikut Yesus. Ada segudang harapan atau tepatnya keinginan yang diletakkan pada pundak Yesus. Setidaknya, Yesus adalah sosok mesias yang akan mengangkat harkat dan derajat mereka.
Di sinilah kita dapat memahami, mengapa Maria dari Magdalena dan para murid Yesus yang lainnya tidak langsung mengenali-Nya ketika Ia bangkit dari kematian. Maria baru mengenali-Nya ketika Yesus memanggil dengan namanya. Para murid yang lain baru mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Mengapa mereka tidak langsung mengenali orang yang begitu dekat dengan mereka? Ya, kita dapat menduganya karena mereka menjadi buta oleh keinginan-keinginan mereka yang tidak terpenuhi, alih-alih Guru mereka mati! Akibatnya, perasaan mereka menjadi dingin, kehilangan, tidak berdaya dan putus asa. Ruangan yang terkunci mewakili dengan tepat gambaran hati mereka!
Percis, dengan pola yang sama kita pun dapat menjadi buta. Buta oleh keinginan yang tidak terpenuhi, lalu kita menjadi takut dan lebih parah dari itu menjadi orang yang paling malang di dunia ini. Kondisi seperti ini lebih parah dari kematian itu sendiri!
Dalam kondisi tidak berdaya, dicekam oleh ketakutan dan putus asa, kabar baik dari Maria tentang perjumpaannya dengan Yesus tidak ditanggapi. Mereka asyik dengan duka nestapa. Di tengah ruangan yang semua pintunya terkunci itu, Yesus berdiri di tengah-tengah mereka, “Damai sejahtera bagi kamu!” Banyak orang tergoda untuk menelisik bagaimana caranya Yesus bisa menembus ruangan yang semua pintunya terkunci itu? Dengan tubuh supra natural seperti apakah Yesus mampu menerobosnya? Padahal itu tidak penting! Bukan cara dan tubuh yang seperti apa Ia ada di situ. Yang penting untuk disimak ialah bahwa Yesus datang kepada mereka di tengah-tengah kondisi manusiawi mereka. Ya, kondisi titik nadir bahwa sekarang mereka bukan siapa-siapa, hati mereka hancur, kecewa dan dikuasai oleh ketakutan!
Dalam kondisi itu Yesus memberikan tepat apa yang dibutuhkan oleh mereka: Damai sejahtera! Meskipun salam itu (eirene / syalom) adalah hal lazim diucapkan dalam kalangan Yahudi, namun damai sejahtera yang diberikan Yesus bukanlah seperti yang diberikan oleh dunia. Damai sejahtera yang diberikan Yesus berbeda dari harapan atau keinginan yang semula ada dalam benak para murid. Damai sejahtera yang disertai dengan kehadiran-Nya itu mengalir. Damai sejahtera itu bukan omong kosong, ia menjadi nyata dengan mengampuni setiap pribadi yang rapuh itu.
Sama seperti pada perjamuan malam terakhir itu. Sambil berlutut, Ia membasuh satu demi satu para murid-Nya. Ia tahu di antara mereka akan ada yang menyangkal dan berkhianat. Namun, Ia tetap membasuh! Kini, dengan kehadiran-Nya di tengah-tengah hati yang membeku dan terkunci, Ia menatap mereka satu per satu, bukan dengan tatapan mencela dan menghakimi oleh karena ketidakpercayaan dan ketidaksetiaan mereka. Bukan tatapan sinis! Tetapi, sejalan dengan ucapan-Nya, tatapan penuh kedamaian, sorot mata yang penuh belas kasihan!
Ya, walaupun nantinya secara khusus Yesus akan memulihkan Petrus. Namun, pada malam itu Yesus tidak mempermalukannya, Ia tidak menyampaikan celaan apa pun atas penyangkalan Petrus. Damai sejahtra itu nyata: kehadiran-Nya tidak membuat seorang pun merasa bersalah, alih-alih Yesus menegaskan dan meneguhkan kembali bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang Ia cintai. Dan, Ia di situ bukan untuk pamer bahwa diri-Nya telah mengalahkan kuasa maut. Ia tidak mengatakan, “Nih, lihat… bukankah Aku sudah mengatakan-Nya bahwa Aku akan bangkit lagi?” Yesus berada di tengah-tengah ruang terkunci itu adalah sepenuhnya untuk memulihkan mereka. Untuk membuka tidak hanya pintu ruangan yang terkunci, melainkan hati yang terkunci!
Percis sama dengan kita! Bukankah bila kita kecewa, keinginan tidak terpenuhi, kita pun bersembunyi? Kita menutup diri dan asyik meratapi nasib sebagai orang yang paling malang! Sebagaimana cara Yesus hadir di tengah-tengah para murid pada malam itu, bukan caranya yang penting. Tetapi diri-Nya ada bersama-sama mereka. Demikian juga, bukan caranya saat ini yang penting, tetapi Ia hadir untuk kita pada saat kondisi kemanusiaan kita berada pada titik nadir. Ia sangat tahu dan mengerti kegagalan dan kekecewaan kita. Di tempat yang lebih dalam ketimbang tempat di mana luka-luka dan ketakutan itu kita sembunyikan, Yesus menyatakan bahwa Ia mencintai kita dan mengampuni segala kesalahan kita. Bagi Dia, kita adalah sosok yang berharga dan istimewa. Kita adalah anak-anak Allah yang terkasih. Ia ingin kita membuka hati untuk menerima damai sejahtera itu. Ia ingin kita pulih dan menyampaikan kabar serupa bagi mereka yang belum pulih!
Meskipun singkat, namun penuh makna. Yesus mengubah persekutuan orang-orang yang ketakutan menjadi komunitas yang dipulihkan. Ya, mereka pulih! Mereka bangkit seperti Yesus yang bangkit. Seperti alam maut tidak lagi menguasai Yesus, demikian juga ketakutan dan kebingungan tidak lagi menguasai mereka. Perlahan tapi pasti, komunitas yang telah dipulihkan ini membawa dampak bagi kehidupan manusia yang baru. Sama seperti Yesus, komunitas ini menjadikan cinta kasih sebagai dasar hidup bersama. Mereka dipulihkan untuk menjadi sama seperti Yesus dan bersama-sama melanjutkan tugas panggilan yang dulu diberikan Bapa kepada Yesus. Mereka bersekutu, sehati sepikir untuk menyatakan wajah Bapa yang penuh cinta dan belas kasih.
Yesus yang telah memberikan damai sejahtera itu menunjukkan tanggung jawab kepada mereka. Mereka harus diubah oleh kuasa Roh Kudus dan diutus ke dalam dunia untuk mencintai orang seperti Yesus mencintai mereka. Dan untuk memberikan hidup mereka bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga, istimewa dan indah di hadapan Allah. Para murid dipanggil menjadi seperti Yesus dan tinggal dalam Dia, mereka akan membebaskan orang dari kekerasan bukan dengan kekerasan, mereka akan membebaskan orang dari kebencian bukan dengan kebencian, tetapi dengan cinta kasih. Sebagaimana Yesus tidak melekatkan diri pada kekayaan, kuasa dan popularitas duniawi, mereka akan merelakan apa yang ada pada diri mereka: harta kekayaan, tenaga, waktu, dan pikiran mereka untuk kebaikan bersama.
Pada akhirnya kita akan melihat, mereka yang dipulihkan menjadi sebuah komunitas tubuh Kristus yang nyata. Ya, tubuh fisik Kristus tidak lagi ada di dunia ini. Namun, komunitas yang telah dipulihkan itu sanggup menghadirkan Yesus, mereka berbagi kasih satu dengan yang lain. Mereka menanggalkan keegoisan diri dan mengubah potensi itu untuk merangkul, memberdayakan dan menguatkan satu dengan yang lain. Dampaknya? Hidup mereka penuh dengan sukacita dan menjadi berkat! Bagaimana dengan persekutuan kita, dengan gereja kita? Apakah sudah dipulihkan? Atau, masih sibuk dengan harapan, keinginan dan ambisi diri? Jangan heran kalau ini yang terjadi, gereja bukan tempat yang nyaman untuk hidup persekutuan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar