Jumat, 02 Februari 2024

SENTUHAN KASIH ALLAH

Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya, Apa ini?...” (Markus 1:27a). 

 

Setelah pengusiran roh jahat itu, Yesus keluar dari sinagoga. Ini bukan karena pintunya mau ditutup, melainkan karena para pendengar belum memahami-Nya. Mereka bertanya-tanya, “Apa gerangan yang telah terjadi?” Mereka tidak menemukan jawabannya. Maka ketika Yesus keluar, dapat diartikan secara simbolis: Selama manusia tinggal di “sinagoga”, dalam dinding-dinding ruang ibadah, ia tidak dapat memahami Yesus secara utuh. Untuk menemukannya, ia harus “meninggalkan sinagoga” dan mulai semacam Keluaran baru.

 

Setelah meninggalkan sinagoga itu, tempat berkuasanya para guru Yahudi dan tokoh setempat lainnya, Yesus mengunjungi rumah Simon dan Andreas. Lihat, meski pada awal pemanggilan para murid pertama, mereka meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan, ayah dan keluarganya lalu mengikut Yesus, itu tidak berarti memutus kekerabatan atau melupakan segala-galanya. Tidak! Buktinya, kini Yesus berada di tengah-tengah keluarga Simon dan Andreas. Nama istri dan ibu mertua Simon tidak dicatat. Namun, mereka tentu saja sangat mendukung pelayanan yang dilakukan oleh Yesus bersama murid-murid-Nya. Bahkan, dalam catatan Paulus, Simon di kemudian hari membawa serta istrinya dalam pelayanan (1 Korintus 9:5).

 

Di luar sinagoga, di luar tempat sakral ibadah itulah Yesus menerjemahkan ajaran-Nya menjadi hidup. Dia tidak hanya pandai bicara dan mengusir setan di rumah ibadah itu. Lebih jauh bahasa kasih yang kemudian hari dirumuskan oleh Garry Chapman terjadi di rumah Simon. Di rumah itu ada kata-kata cinta, ada quality time, ada tindakan pelayanan dan tentunya ada sentuhan kasih!

 

Bisa jadi Simonlah yang mengajak Yesus untuk singgah di rumahnya. Simon telah menyaksikan bagaimana dahsyatnya kuasa Yesus mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit. Pastilah  Yesus juga dapat memulihkan ibu mertuanya yang sedang demam. Demam dalam ilmu kedokteran bukanlah penyakit melainkan meningkatnya suhu tubuh. Demam umumnya terjadi sebagai reaksi dari sistem imun dalam melawan infeksi kuman penyebab penyakit. Demam bisa juga terjadi akibat paparan cuaca dan suhu panas yang berlebihan. Sayangnya, pengetahuan medis pada saat itu tidak sebaik sekarang. Bagaimana pun juga demam menurut pemikiran orang Yahudi pada zaman itu terjadi karena gangguan roh jahat atau karena hukuman Allah. Menurut Ulangan 28:22, demam termasuk kutukan yang ditimpakan Allah atas orang Israel yang tidak setia dalam perjanjian. Maka peristiwa Yesus menyembuhkan penyakit demam ibu mertua Simon dapat dipahami sebagai pengukuhan bahwa Yesus mengangkat segala macam kutuk!

 

Yang menarik dari kisah penyembuhan mertua Simon terjadi pada hari Sabat, yang oleh kebanyakan orang Yahudi ditentang. Yesus masuk ke dalam kamar ibu mertua Simon. Ia memegang tangan perempuan itu dan membangunkannya. Yesus  membangunkan dan memulihkan perempuan itu dengan cara menyentuhnya. Perhatikan, meskipun Yesus memiliki kuasa untuk mengusir setan, perkataan-Nya penuh dengan tuah, namun kali ini Ia datang, menyentuh tangan perempuan itu. Sentuhan itu menyembuhkan, sentuhan itu egeirw  (to lift up) membangunkan atau membangkitkan, sebuah kata yang sama untuk merujuk pada kebangkitan Yesus. 

 

Demam perempuan itu reda. Sentuhan Yesus itu memberikan kelegaan dan pemulihan. Lalu, perempuan itu bangkit dan melayani mereka! Benar, bisa saja ibu mertua Simon ketika ia sehat akan tetap melayani dengan memberikan tempat dan hidangan kepada mereka yang datang ke rumahnya karena memang demikian tradisi Yahudi. Tamu akan disambut dan diperlakukan dengan terhormat. Namun, pasti ada yang berbeda dari perempuan yang sudah dipulihkan ini. Ia merasakan jamahan kasih Allah itu. Kasih itu mengalir dalam dirinya dan membuatnya tidak bisa diam. Ia melakukannya dengan sukacita dan bukan semata-mata tradisi yang mewajibkan orang melayani tamu. Hanya orang yang merasakan sentuhan kasih Allah itulah yang akan sungguh-sungguh melayani dengan tulus, bukan karena terpaksa atau mencari popularitas.

 

Perempuan itu merasakan langsung sentuhan Yesus yang memegang tangannya. Haruskah kita juga mengalami pengalaman serupa? Tentu saja tidak! Ada banyak cara Tuhan menyentuh kita. Sentuhan yang tidak harus diartikan harfiah. Ia bisa menyentuh kita dengan memakai orang lain. Tuhan bisa menyentuh kita dengan kehadiran pasangan kita, anak, saudara, teman, karyawan, bahkan siapa saja termasuk orang-orang yang tidak kita kenal. Allah juga dapat menyentuh kita lewat pelbagai peristiwa-peristiwa yang kita alami. Lalu, bagaimana kita menanggapinya? Apakah kita merasakan sentuhan-Nya, kemudian melalui sentuhan, kita juga membagikan kasih-Nya terhadap orang lain? Ataukah kita enggan meneruskan kasih itu lewat sentuhan kita lantaran ada risiko yang harus kita bayar? 

 

Pada 1854 di London terjangkit wabah kolera. Gereja di mana Charles Spurgeon melayani, dijadikan semacam posko perawatan. Banyak orang dari pelbagai kalangan datang untuk mendapat perawatan. Anggota jemaat sendiri menderita epidemi itu. Dahsyat! Setiap hari Spurgeon berdoa di sisi tempat tidur orang sakit, dan hampir setiap hari ia dipanggil untuk melayani di samping kuburan. Memakamkan orang karena wabah kolera! Saya jadi teringat beberapa tahun yang telah kita lewati: pandemi Covid-19! Tentu saja Spurgeon harus berhati-hati dengan wabah ini. Berhati-hati dengan sentuhan, alih-alih bisa membawa maut bagi dirinya!

 

Sebagai mana kekuatan fisiknya yang berada di bawah tekanan, ia sangat berkecil hati dan takut kalau-kalau penyakit itu menularinya. Jujur, ia takut pada kondisi buruk dan kematian itu sendiri! Suatu hari setelah kelelahannya begitu memuncak dan nyaris putus asa, tidak sengaja ia melihat pamflet yang ditempel di jendela sebuah toko sepatu. Penasaran, ia berhenti untuk memeriksanya. Alih-alih sebuah iklan, ternyata Mazmur 91:9-10: “Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kaubuat tempat perteduhanmu, malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepadamu.”

 

Dalam catatan hariannya Fullerton (hlm. 65-66), Charles Spurgeon mengatakan, “Efeknya langsung ke hati saya!” Hatinya tersentuh dengan Mazmur itu. Lebih lanjut Spurgeon mengatakan, “Iman dinyatakan dari ayat itu. Saya merasa aman, segar, dan diingatkan akan keabadian. Lalu, saya melanjutkan kunjungan saya pada mereka yang sekarat dengan semangat tenang dan damai, saya merasa tidak takut akan kejahatan dan saya tidak menderita apa-apa!”

 

Benar, selalu ada risiko, khawatir dan takut. Namun, bukankah Dia telah lebih dahulu menyentuh kita dengan kasih sayang-Nya? Lagi pula, bukankah seperti yang dinyatakan dalam Yesaya 40:26, bahwa Dia adalah yang berkuasa dan dahsyat, “Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satu pun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat.”

 

Di dalam kekuatan dan kedahsyatannya Ia menyentuh kita. Seperti Spurgeon yang tersentuh dengan Mazmur 91, bukankah firman-Nya setiap hari, setiap saat mengetuk pintu hati kita? Melalui sentuhan-Nya, Dia ingin kita meneruskan kasih-Nya itu terhadap sebanyak mungkin orang yang kita jumpai. Ingatlah sebagaimana kita merindukan sentuhan kasih sayang, di luar sana masih banyak orang yang mendambakannya.

 

Jakarta, 2 Februari 2024. Minggu V Sesudah Epifani, tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar