Kamis, 12 Maret 2020

MEMBUKA ISOLASI MENJALIN RELASI

Isolasi, barang kali adalah salah satu kata yang sedang populer di samping kata karantina, virus, corona dan Covid-19. Isolasi adalah kata yang menjelaskan bahwa seseorang yang dicurigai terjangkit penyakit menular tertentu harus dipisahkan dari orang-orang yang ada di sekitarnya, bahkan orang-orang yang berkompeten untuk merawatnya, seperti perawat, dokter, dan tim medis harus menggunakan baju, masker, sarung tangan, sepatu, dan perangkat pelindung khusus lainnya agar tidak ikut tertular. 

Maksud isolasi dalam konteks penanganan wabah penyakit menular tentu saja baik agar penyakit itu dapat dilokalisir. Pasiennya dapat ditangani dengan tujuan untuk pemulihannya. Namun, pernahkah Anda mencoba berpikir dari sudut pandang si pasien yang dikarantina itu? Cobalah kita membayangkan menjadi seorang yang sudah divonis terjangkit Covid-19. Anda dipisahkan, diisolasi. Tidak boleh ada orang yang dapat kontak langsung dengan Anda. Dokter, perawat, para medis lainnya bagaikan robot bertopeng, semua mau melayani dan merawat Anda, tetapi mereka menjaga jarak. Sementara kondisi Anda makin hari makin tidak menentu. Napas mulai sesak, badan Anda menggigil demam, sendi-sendi ngilu. Anda ingin berkomunikasi namun alih-alih ada orang yang bisa mendengar keluh kesah Anda, orang-orang di sekitar Anda memberi stigma negative. Anda dicap sebagai orang pembawa virus berbahaya! Saya kira, siapa pun dalam kondisi seperti ini akan mengalami stress bahkan depresi.

Siapa pun yang diisolasi tentu tidak pernah akan suka. Siapa pun pasti tidak nyaman menjadi bagian dari kelompok minoritas yang kepadanya dilabeli hal-hal negatif. Perasaan tertekan dan tidak berguna dapat menciptakan rasa putus asa. Dalam kisah pelayanan-Nya, Yesus bertemu dengan seorang perempuan yang terisolasi. Sumur yang seharusnya menjadi tempat berelasi antar sesamanya, ternyata tidak bagi seorang perempuan Samaria ini. Ia tidak hanya termasuk dalam minoritas yang selalu diremehkan, yakni sebagai orang Samaria, tetapi ia juga ditolak oleh kaumnya sendiri. Ia adalah perempuan dengan gambar diri yang hancur yang secara mendalam merasa bersalah, tidak berguna! 

Apakah karena ia merasa ditolak dan dihina oleh kaumnya sendiri, sehingga ia datang menimba air sendirian pada siang hari bolong di sumur itu? Bisa jadi! Sebab, kebanyakan para perempuan datang pada pagi hari, mereka menimba air dan mencuci sambil bersenda gurau. Namun, perempuan ini merasa terisolasi dan malu. Ia berusaha menghindari perjumpaan dengan perempuan-perempuan lain di desa Samaria itu. Ia tidak mau menjadi bahan gosip dan tertawaan sesama perempuan. Itulah sebabnya ia pergi menimba air ketika sudah tidak ada lagi orang lain di sumur itu!

Yohanes dalam Injilnya menceritakan (Yohanes 4:5-42) Yesus merasa letih dan duduk di pinggir sumur. Inilah satu-satunya kisah dalam Injil yang menceritakan bahwa Yesus letih. Ia merasa letih sesudah perjalanan panjang di bawah terik matahari Yudea. Yesus merasa haus dan meminta kepada perempuan itu, “Berilah Aku minum!” Perempuan itu terhenyak, sebab ia sangat tahu bahwa orang Yahudi tidak bergaul dengan orang-orang seperti dirinya. Dan ia juga tahu dari gaya bahasa dan pakaian yang dipakai-Nya, jelaslah bahwa Yesus adalah seorang Yahudi dari Galilea. Di samping itu, seorang pria Yahudi tidak mungkin juga berbicara dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya!

Tak pelak lagi, Yesus mulai menembus isolasi itu. Ia mengenal betapa dalamnya gambaran negatif perempuan ini tentang dirinya. Kehidupan kelam bersama lima suami dan kini tinggal bersama lelaki yang bukan suaminya sudah cukup menjelaskan bahwa perempuan ini bukan perempuan baik-baik! Yesus sama sekali tidak bicara tentang stigma negatif. Ia tidak meninggikan diri atau memberi nasihat-nasihat bijak kepada perempuan itu. Namun, Yesus datang sebagai seorang pengemis yang meminta air karena haus dan letih. Ia meminta tolong pada perempuan itu! 

Perempuan yang sebelumnya merasa tidak berguna dan terisolasi, dengan cara Yesus membuka diri kini merasa berguna: ada orang Yahudi yang mau berkomunikasi dan meminta tolong kepadanya. Sejurus kemudian dialog itu terjadi. Relasi dibangun! Dengan mempercayai perempuan itu, Yesus mengangkat dia dan mengembalikan kepercayaan dan harga dirinya. Perhatikan, Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana membangun relasi dengan perempuan yang terluka dan hancur hatinya. Terisolasi! Yesus tidak datang sebagai orang yang merasa diri lebih tinggi datang dari “atas”, tetapi dengan rendah hati, dari “bawah”, sebagai seorang “pengemis”.

Yesus menjumpai perempuan itu di sumur dalam kesepiannya. Dengan kata lain, Yesus sengaja “melawat” dan membuka diri tepat di mana perempuan itu merasa terasing dan diasingkan. Kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria adalah kisah kita. Kita semua adalah seperti perempuan Samaria itu. Dalam kadar tertentu, kita adalah juga orang-orang rapuh, yang terluka dalam kasih dan mempunyai relasi yang retak. 

Banyak orang, termasuk kita yang gemar menyembunyikan kelemahan dan kesulitan-kesulitan dalam relasi di balik kehebatan dan kekuasaan. Kita tampil seperti orang yang ingin dikagumi dan tidak mengakui kelemahan kita. Sadar atau tidak, hal itu sebenarnya justru kita sedang memperkokoh benteng isolasi diri sendiri. Yesus telah menembus isolasi itu. Kini, giliran kita untuk datang kepada-Nya menerima dan minum air yang Dia berikan. Kalau diri kita sudah dipenuhi dengan “air kotor”, kekuasaan dan keyakinan-keyakinan semu, kita berpikir dapat mengatasinya sendiri, maka kita tidak mengenali kebutuhan kita akan hidup baru. Barulah ketika kita membawa bejana yang kosong kepada-Nya, maka air yang hidup dan menghidupkan itu akan mengaliri hidup kita. Ia akan memancar dari dalam perilaku kita menjadi buah-buah nyata agar orang lain juga dapat menikmati air hidup itu. Lihat, perempuan itu setelah menerima air hidup, ia memberitakan kepada penduduk kota itu untuk berjumpa dengan Yesus dan menerima air hidup itu.

Di sekeliling kita tidak sulit mendapatkan orang-orang yang terisolasi baik secara harfiah maupun spiritualitas dan mentalnya. Mereka yang sedang bergulat dengan sakit penyakit dan stigma yang negatif itu. Tentu saja, Yesus tidak mengajarkan kepada kita untuk bertindak sembrono dan menyepelekan bahaya dari suatu penyakit.  Namun, kisah perjumpaan Yesus dengan seorang perempuan Samaria, mengajarkan bahwa Yesus membuat perempuan itu menjadi seorang yang berguna. Yesus mengangkat harga diri perempuan itu sebagai sesama anak manusia. Betapa pun ganas dan menularnya sakit yang dialami oleh seseorang, kita tidak boleh menutup diri untuk membangun relasi dengan orang itu. Justru di situlah kita harus menembus isolasi dan membuat harga dirinya kembali pulih, lalu membuatnya berguna, tidak terus terpuruk dalam keputusasaan karena sakit dan stigma yang diberikan kepadanya.

Isolasi mental dan spiritualitas mungkin saja tidak terlihat di permukaan. Namun, kita bisa mendeteksinya melalui perilaku dan ujaran-ujaran negatif yang dilontarkannya. Mereka mengisolasi dirinya melalui pelbagai cara: kisah sukses, menonjolkan dan membanggakan diri serta sering meremehkan dan merendahkan orang lain, menjadi tanda bahwa mereka sedang tidak nyaman dengan dirinya dan orang lain. Mereka berusaha membentengi diri dengan cara seperti itu. Sejauh mana kita telah menerima air hidup itu akan teruji ketika kita bersentuhan dengan mereka. Apakah untuk mereka kita dapat menjadi sahabat? Ya, sahabat yang tidak selalu membenarkan apa pun yang dikatakan dan dilakukan orang itu. Melainkan, sahabat yang menginspirasi, mengalirkan air kehidupan itu. 

Tidak tertutup kemungkinan ada “perempuan-perempuan Samaria” pada masa kini. Kehidupan kelam masa lalu, mereka dipinggirkan oleh karena kesalahan masa lalu itu, kepada mereka juga disematkan label “sampah masyarakat”, orang yang tidak berguna. Di sinilah peran sebagai murid Tuhan diuji. Kalau air hidup yang Yesus berikan itu mengalir dalam diri kita, menjadi sahabat dan membebaskan stigma negatif bagi mereka merupakan keniscayaan!

Jakarta, Minggu Pra-Paskah ke-3, 2020

1 komentar:

  1. Do you realize there's a 12 word sentence you can communicate to your man... that will trigger intense feelings of love and instinctual attraction for you buried within his chest?

    That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, adore and care for you with all his heart...

    ====> 12 Words Who Fuel A Man's Desire Impulse

    This instinct is so built-in to a man's genetics that it will make him try harder than before to love and admire you.

    In fact, fueling this powerful instinct is so mandatory to having the best ever relationship with your man that the instance you send your man one of the "Secret Signals"...

    ...You will instantly notice him open his mind and soul for you in such a way he haven't experienced before and he'll recognize you as the only woman in the universe who has ever truly tempted him.

    BalasHapus