Kamis, 24 Oktober 2019

BINASA BILA MENINGGIKAN DIRI

Mengapresiasi keberhasilan, pencapaian dan kebaikan orang lain tentu saja merupakan hal yang baik. Namun, kita harus mewaspadai dampak negatifnya. James B Smith berpendapat bahwa keinginan untuk diakui berasal dari latar belakang masa kecil. Ketika melakukan kebaikan, maka akan dipuji. Sebaliknya, ketika ia melakukan hal buruk, alih-alih pujian, kritik bahkan hukuman akan diterimanya. Kehidupan kita akan seperti ini dalam setiap fase, mulai dari sekolah, olahraga hingga pekerjaan. Lakukan hal yang besar, maka nilai dirimu akan bertambah; jika tidak, nilai dirimu berkurang.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai lapar dengan pengakuan diri dari orang lain. Pengakuan orang lain itu akhirnya menentukan nilai diri kita. Pujian lebih penting dari sikap atau perbuatan baik itu sendiri. Kita semua ingin dikasihi. Kita semua ingin merasa berharga, berguna dan luar biasa. Pada tahap tertentu tidaklah salah. Namun, ketika hal tersebut dijadikan tujuan atau hal utama dalam hidup, seketika itu juga kita menjadi keliru. Sebab, bukan demi pujian dan pengakuan kita melakukan perbuatan baik. 

Sayangnya dalam tataran ini, gereja juga punya kontribusi. Bukankah gereja  suka memuji, kesuksesan dan mengkhususkan orang-orang tertentu hanya lantaran kesalehan mereka? Meski tidak ada salahnya untuk memuji kesuksesan pelayanan, kesalehan, dan sikap dermawan mereka, akan tetapi konsep bahwa kesuksesan dan kesalehan akan menentukan nilai diri muncul tanpa disadari dalam diri kita. Nilai diri yang muncul ke permukaan biasanya melahirkan sikap bangga diri. Kebanggaan terhadap diri sendiri sejengkal lagi menghantar seseorang pada sikap sombong, arogan dan akhirnya meremehkan orang lain.

Rupa-rupanya praktik beribadah yang melahirkan sikap jumawa sangat kental di kalangan Yahudi, khususnya Farisipada zaman Yesus. Oleh sebab itulah Ia menyampaikan perumpamaan kontras antara “Farisi dan Pemungut cukai” dihadapan mereka, “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:…” (Lukas 18:9). Bagi Yesus, tidaklah cukup orang berbangga diri dengan pencapaian-pencapaian hebat dalam hal pemenuhan tuntutan hukum. Ada yang lebih dari itu.

Orang Farisi dan pemungut cukai yang diperkenalkan oleh Yesus dalam perumpamaan-Nya boleh saja dipandang sebagai wakil dari dua kutub sikap religius Yahudi zaman dulu. Tetapi, kita tidak boleh menggeneralisasikan bahwa semua orang Farisi adalah orang-orang jumawa dan bahwa semua pemungut cukai adalah orang-orang yang tulus. Bukan begitu. Tidak semua orang Farisi dan tidak semua pemungut cukai bersikap religius tepat sama seperti dua tokoh perumpamaan ini. Dapat dipastikan bahwa ada banyak orang Farisi yang jauh lebih baik daripada yang digambarkan dalam perumpamaan ini. Dan ada banyak pemungut cukai yang tidak bertobat dan tidak rendah hati.

Karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa Yesus dengan sengaja menuturkan sebuah kisah “karikatur”. Ia sebenarnya tidak mau menggambarkan dua tokoh konkret, melainkan harus dilihat sebagai dua kecenderungan spiritual. Orang Farisi dijadikan karikatur kebenaran: Manusia mudah terperangkap dalam sikap percaya diri.

Orang Farisi yang menganggap diri benar, pada akhirnya tidak dibenarkan Allah. Apakah Allah tidak menghendaki kalau umat-Nya mengucap syukur lantaran ia bukan perampok, bukan orang lalim, bukan seorang penzinah, dan bukan seorang pemungut cukai? Sebaliknya ia berpuasa seminggu dua kali dan sepersepuluh penghasilannya dipersembahkan kepada Tuhan. Tentu saja Allah menginginkan semua orang melakukan kesalehan; mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya! Namun, tampaknya orang Farisi ini begitu bangga dengan pencapaian kesalehan yang telah dilakukannya. Ia sangat optimis bahwa dengan semua kesalehannya itu maka ia berhak dibayar oleh Tuhan. Diganjari dan dilimpahi dengan anugerah dan berkat. Ia telah memiutangi Tuhan dengan segala kesalehannya itu.

Inilah yang membuat orang Farisi itu menjadi sombong dan memandang rendah orang lain, dalam hal ini si pemungut cukai yang sama-sama datang di rumah Tuhan untuk berdoa. Sebaliknya, Si pemungut cukai berdiri jauh-jauh, nyaris di pintu keluar rumah ibadat. Ia menyadari sebagai seorang pendosa yang bekerja sama dengan penjajah Romawi, tidak segan-segan menindas dan menganiaya bangsanya sendiri. Kita dapat bayangkan begitu gentar dan malunya ia ketika berdiri di rumah Tuhan. Ia tidak berani menengadah. Ia memukuli dirinya sebagai tanda penyesalan dan pertobatan.

Satu hal saja yang ia ucapkan dalam doanya, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Lukas 18:13). Pemungut cukai itu memohon kerahiman dan pengampunan dosa, dan sekaligus rahmat agar diperdamaikan oleh Allah dengan semua sesama yang telah dirugikannya. Ia tidak bersyukur kepada Allah sebab tidak punya apa pun yang dapat dipamerkannya kepada Allah. 

Dengan cerita kontras Farisi – Pemungut cukai ini, Yesus mengajarkan kerendahan hati kepada murid-murid-Nya. Keselamatan setiap orang tidak semata-mata bergantung pada tindakan dan kesalehannya, apalagi dilandasi motivasi Tuhan wajib membayar tindakan amal ibadah itu. Bukan itu! Sebab, kalau kalkulasinya berdasarkan perhitungan seperti itu, siapakah yang dapat membayarnya? Bukankah selalu saja setiap saat kita melakukan tindakan dosa? Oleh karena itu, tidak seorang pun bisa membanggakan diri atas pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya. Setiap orang harus tetap rendah hati karena, “barangsiapa meninggikan diri ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri ia akan ditinggikan.” (Lukas 18.14)

Keselamatan bukan atas dasar tindakan amal baik seseorang melainkan hanya oleh belas kasihan Allah semata. Kebaikan dan kesalehan harus ditempatkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kasih Allah yang menyelamatkan itu. 

Perumpamaan tentang dua orang yang berdoa ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang Farisi (Jawaban Yesus tentang bagaimana Kerajaan Allah akan diwujudkan). Orang akan ditinggikan, jika ia rendah hati dan benar-benar mengandalkan kasih Allah semata. Jika manusia bersikap seperti pemungut cukai, Kerajaan Allah datang. Anak Manusia benar-benar hadir di tengah-tengah umat manusia. 

Tentu saja Tuhan membenarkan sikap pemungut cukai bukan dalam arti ketika pemungut cukai itu menindas umat Tuhan dan bekerja sama dengan penjajah. Sikap yang dibenarkan itu adalah bahwa si pemungut cukai benar-benar menyesal, ia datang dengan hati yang hancur, pertobatan dan mempertaruhkan keselamatannya hanya pada kemurahan Allah saja. Sebaliknya, bukan Allah tidak suka manusia itu menuruti hukum-hukum-Nya. Tampaknya Allah tidak menyukai ketika manusia membanggakan diri dan merasa diri pantas untuk dibayar Allah melalui anugerah-Nya. Dalam konteks inilah Allah tidak menyukai, menolak dan tidak membenarkan sikap orang Farisi itu. Sikap tinggi hati orang Farisi itulah yang menyebabkan ia tidak dibenarkan di hadapan Allah. Ia binasa! 

Dua contoh sikap religius ditampilkan dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus. Ada di sisi manakah kehidupan religius kita? Apakah ibadah-ibadah yang kita lakukan adalah cara kita untuk menagih janji Tuhan dan oleh karena itu Tuhan wajib membayarnya dengan sederet anugerah dan berkat-Nya? Apakah kita lebih suka ibadah-ibadah kita dilihat dan dipuji orang, lalu kita merasa berhak punya tempat “layak” dalam komunitas umat Tuhan? Ataukah ibadah-ibadah yang Tuhan sediakan merupakan sarana di mana kasih dan pengampunan-Nya kita rasakan? Apakah kita menggunakan momen-momen ibadah itu sebagai kesempatan memohon belas kasihan-Nya. Di sisi mana kita berdiri, itu akan menentukan apakah kita orang yang menerima rahmat atau orang yang dilaknat!


Jakarta, 24 Oktober 2019

1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus