Jumat, 27 September 2019

RASA CUKUP DAN HIDUP YANG KEKAL


Suze Orman, seorang ahli keuangan terkemuka, menceritakan pengalaman masa kecil yang membuatnya bisa sampai seperti sekarang. Waktu itu, toko ayahnya terbakar, dan ia ingat dengan jelas ketika ayahnya berlari masuk ke dalam bangunan toko yang terbakar itu. Sang ayah menggendong mesin kasir yang panas dengan tangan kosong, lalu berlari keluar. Ayah terjerembab ke tanah, berteriak kesakitan dengan tangan terbakar dan melepuh!

Pemandangan itu mengubah Orman untuk selamanya. Kala itu, dia masih terlalu kecil untuk mengerti kejadian tersebut. Namun, ada satu konsep yang tertanam dalam pikirannya: uang itu berharga, cukup berharga untuk mengorbankan nyawamu sendiri dengan berlari masuk ke dalam toko yang terbakar, maka dari itu, jangan pernah ceroboh dengan uang. Osman memaknai bahwa momen itu menjadikannya seorang yang “hemat”, seorang manajer yang ulet: “Sejak saat itu, mendapatkan uang, uang yang banyak, telah menjadi prioritas profesional saya, sekaligus prioritas emosional saya.”

Berapa banyak orang yang punya landasan pikir seperti Suze Orman? Tentu saja tidak sedikit, sangat mungkin Anda dan saya juga begitu: Uang cukup berharga maka dari itu mengorbankan nyawa adalah harga yang pantas untuk mendapatkannya! Penghargaan manusia terhadap uang sudah lama sekali, barang kali seumur dengan keberadaan uang itu sendiri. Sejak uang dilahirkan, sejak itulah ia digandrungi, dicari, dan dicintai melebihi apa pun. Mengapa? Ya, jelas bukankah dengan banyaknya uang seseorang dapat membeli apa saja yang ia ingini? Bukankah dengan uang seseorang dihormati dan perkataannya didengar? Dengan uang pula seseorang bisa menundukkan sesamanya! Maka tidaklah sulit untuk mencari jawab, mengapa manusia bisa mengabaikan sesamanya, bahkan menolak dan membunuh. Jawabnnya karena mencintai uang!

Pantaslah Paulus mengingatkan Timotius akan bahaya mencintai uang, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang,…”(1 Timotius 6 : 10). Uang pada dirinya bukanlah sesuatu yang jahat. Uang diciptakan agar memudahkan manusia bertransaksi. Uang juga dapat memudahkan manusia berbagi, memberi bantuan kepada sesamannya. Uang bukan barang yang jahat! Jahat atau tidaknya apa yang berkaitan dengan uang adalah sikap manusia. Sikap manusia terhadap uang bisa berpengaruh pada pikiran dan prilakunya. Menempatkan uang di atas segala-galanya (bahasa Paulus: mencintai uang), maka akan membutakan cinta kasih manusia terhadap Tuhan, sesama bahkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak akan peduli dengan penderitaan orang lain meski ada di depan matanya dan meski ia banyak memiliki uang. Bukankah sikap orang kaya terhadap Lazarus yang diceritakan Yesus dalam Lukas 16:19, dan seterusnya menegaskan hal ini? Bukankah juga hari ini banyak orang bersikap seperti si kaya itu, yang sama sekali tidak peduli dengan penderitaan orang lain bahkan ketika ada di depan matanya, padahal ia punya banyak uang? Bukankah pada hari ini ada banyak orang yang tidak hanya tega membakar hutan, tetapi juga membakar suami dan anak tirinya, hanya karena lebih mencintai uang?

Jangan-jangan kita pun mempunyai kecenderungan seperti itu. Bersikap abai dengan sesama, bahkan kejam hanya demi uang! Kita sibuk mencari pembenaran untuk alasan tidak mau peduli: salah sendiri mereka malas, tidak bekerja keras makanya hidup miskin, atau cari uang itu susah maka harus bekerja keras jangan hanya bisa meminta saja, dan seterusnya. Selalu saja ada pembenaran untuk tidak mau berbagi!

Pada saat kita meresahkan uang kita, berhati-hatilah sebab mungkin itulah awalnya kita mencintai uang. Pengalaman James Smith mungkin menolong kita menyikapi uang. Suatu ketika teman Jim membutuhkan uang dan meminjam $ 300 kepadanya. Orang itu berjanji akan mengembalikannya, tetapi ternyata tidak pernah. Setelah tiga tahun kemudian, Jim bertanya kepada salah seorang temannya, “Haruskah saya menelepon dia dan meminta uang saya kembali?” Sang teman menjawabnya, “Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Jim menjawab, “Tidak!” 

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini mengajarkan James bahwa Allah memberikan uang melalui diri kita untuk menolong orang lain. Ketika uang diberikan dengan bijak dan hikmat, maka pada hakekatnya uang itu tidak hilang. James tidak rindu dengan uang $ 300-nya dan ia juga merasa tidak kehilangan.

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini membuat Jim selama kurun waktu tiga tahun, tepat ketika sang teman meminjam uang darinya. Kala itu, ia membutuhkan uang untuk pengobatan putrinya. “Kami membutuhkan $ 500 untuk membayar tagihan kami. Pada saat yang sama, ia mendapat sebuah surat dari seseorang yang tidak dikenal. Surat itu bertuliskan, “Saya mendoakan kalian semua, dan merasa bahwa uang ini akan menolong kalian.” Dalam surat itu disertakan cek $ 500. Jim berujar, “Bahkan saya belum sempat merasakan kekhawatiran karena tagihan itu!” Ketika Allah menggunakan uang kita (pada dasarnya bukan milik kita, tapi milik-Nya sendiri), maka Allah tahu juga apa yang kita butuhkan!

Namun, berhati-hatilah bahwa prinsip ini bukanlah semacam “alat pancingan”. Bukan seperti seorang yang berkhotbah, “Jika kamu memberi seribu dollar untuk pelayanan misi saya, maka Allah akan membalas sepuluh ribu dollar!” Bukan, bukan seperti itu! Kalau seperti ini justeru bertentangan dengan ajaran Yesus mengenai uang. Mereka yang memberi – agar mendapat uang banyak sebagai balasan – adalah mereka yang dikuasai oleh ketamakan dan cinta akan uang.

Apa yang diajarkan oleh Yesus tentang uang dan kekayaan mengingatkan kita bahwa itu semua bukan tujuan atau sumber kebahagiaan, melainkan alat untuk kita peduli terhadap sesama. Hati adalah kunci di mana kita bisa memandang orang lain lebih berharga ketimbang uang atau kekayaan kita. Hanya orang dengan hati yang bisa menghargai orang lain, apa pun kondisinya, dialah yang akan mewarisi kehidupan kekal itu.   

Paulus mengingatkan hati itu, ini bukanlah soal kepelitan finasial atau ketidak pedulian kita pada uang, melainkan sikap sederhana, merasa cukup oleh karena itu mampu bersyukur dan peduli terhadap sesama. Hanya orang yang merasa cukuplah maka ia akan mampu bersyukur. Paulus tidak mengatakan bahwa uang adalah akar kejahatan. Dia berkata bahwa cintaakan uanglah akar dari kejahatan. Maka Paulus menyarankan, “Memang ibadah kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah!”(1 Timotius 6: ). Paulus menyatakan rasa puas dengan apa yang ada. Lebih dari itu kita akan tergoda untuk melayani mamon dan bukan Allah. 

Sudahkah kita puas dan cukup dengan berkat yang diberikan Tuhan? Sudahkah apa yang ada pada kita dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain yang sedang membutuhkan-Nya? Anak-anak Kerajaan Allah pasti pandai dalam mempergunakan berkat TUHAN!

Jakarta, 27 September 2019

1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus