Kamis, 12 September 2019

CARI ATAU BIARKAN

Semua orang pasti punya pengalaman kehilangan. Kehilangan berdampak psikis-emosional bagi orang yang mengalaminya. Seberapa dekat seseorang merasa memiliki dan mencintai orang atau barang, sejauh itu pula rasa sakit yang menimpanya ketika yang dimilikinya tersebut hilang. Seseorang akan mengalami sakit dan depresi luar biasa ketika ia kehilangan suami yang dicintainya. Kasus lain, boleh jadi Anda tidak akan bisa tidur tenang bila telepon seluler Anda raib dari genggaman, padahal di dalamnya ada begitu banyakdata penting yang Anda simpan. Sebaliknya, mungkin saja Anda tidak merasa terganggu ketika kehilangan beberapa lembar uang puluhan ribu.

Mencari atau mengabaikan? Tergantung! Seberapa penting dan berharganya seseorang atau barang, sejauh itu kita akan mempertahankannya bahkan mencarinya sampai dapat ketika ia hilang dalam jangkauan kita. “Mencari yang hilang” itulah perumpamaan yang dipakai Yesus dalam Lukas 15 untuk menggambarkan kepedulian Allah dan begitu berharganya setiap orang di hadapan-Nya. Melalui dua perumpamaan (Lukas 15:1-10), Yesus mengajarkan bahwa Allah bukanlah Tuhan pasif yang diam dalam singgasana-Nya untuk menerima hormat dan pujian. Ia tidak hanya menaruh belas kasihan terhadap manusia, apabila manusia itu mencari dan mendekat kepada-Nya. Lebih jauh dari itu, Allah adalah Tuhan yang terus mencari manusia untuk dikasihi dan diselamatkan-Nya.

Seperti situasi kondisi manusia pada saat kehilangan sesuatu yang berharga, demikian juga Allah akan teramat sedih. Ia menangis! Ia menyesali sama seperti peristiwa Musa menerima dua loh batu berisi Taurat TUHAN sementara umat Israel menyembah patung anak lembu emas. Hati-Nya hancur! Hati yang hancur itu ternyata tidak berhenti dalam murka. Ia mencari dan mengasihi. Selanjutnya, Allah yang teramat sedih melakukan apa pun juga untuk mencari dan meraih kembali yang terhilang. Ia mengutus Anak-Nya sendiri untuk mencari yang hilang dan tersesat itu.

Bayangkanlah Anda mempunyai 100 ekor domba, lalu hilang seekor. Apa yang akan Anda lakukan? Mencari atau membiarkannya? Bisa jadi yang paling masuk akal adalah membiarkannya. Mengapa? Bukankah sebuah risiko lebih besar untuk meninggalkan yang 99 ekor demi 1 ekor yang hilang? Bagaimana nanti yang 99 ekor ketika ditinggal, akan amankah mereka? Bukankah dengan mudah pencuri atau binatang buas akan mengambil kawanan domba yang tanpa gembala itu. Lagi pula, membiarkan yang seekor hilang, toh nanti dari yang 99 ekor itu pasti ada yang beranak lagi!

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Hatinya melekat pada setiap domba gembalaannya. Apabila sore hari ia menghitung domba gembalaannya dan ada yang kurang, maka hatinya akan terus memikirkan domba yang hilang itu. Ia akan mengerahkan segala dayanya untuk mencari dan membawa pulang domba yang hilang itu. Sebab biasanya domba itu tidak tahu jalan pulang, sehingga pada akhirnya mati kelaparan, kehausan atau diterkam binatang buas. Usaha mencari domba yang hilang bagi seorang gembala yang baik sudah menjadi karakter dalam hati mereka. Sebab itu si gembala akan meninggalkan domba-domba yang lain – setelah menitipkannya kepada sesamagembala, atau kawanan domba itu dikumpulkan terlebih dahulu di dalam gua. Gembala itu tidak akan berhenti sebelum ia menemukan domba yang hilang itu. Sekali pun setelah berjam-jam lamanya mungkin saja ia penat dan nyaris putus asa.

Betapa gembiranya ketika sang gembala itu dapat menemukan domba yang hilang dari kawanannya. Kegembiraan akan meledak. Ia memeluknya, meletakkan di bahunya dan segera membawanya pulang. Sesudah kembali kepada teman-temannya, tentu saja ia menceritakan pengalaman yang menegangkan itu. Itulah petualangan yang menegangkan dari seorang gembala. Moral cerita yang hendak disampaikan bukanlah tentang pertaruhan atau pengabaian 99 ekor domba yang ditinggalkan demi mencari satu yang hilang. Melainkan, kegembiraan luar biasa ketika domba yang hilang itu berhasil ditemukan. Hal yang sama juga terjadi ketika ada seorang manusia berdosa – hilang – kemudian dapat diraih kembali, bertobat dan mendapatkan hidup yang kekal. Demikian juga perumpamaan tentang dirham yang hilang mempunyai moral cerita yang sama.

Allah yang gembira dan bersukacita karena yang hilang telah ditemukan: yang berdosa telah bertobat. Itulah Allah yang diperkenalkan Yesus. Namun, ternyata tidak mudah diterima begitu saja, khususnya bagi kalangan yang menganggap diri lebih tahu, lebih dekat dan lebih saleh; ahli Taurat dan orang Farisi. Kultus ibadah yang dibangun mereka mustahil kalau Allah itu mencari, menyapa dan bergaul dengan para pendosa. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah akan mengganjar seseorang dengan kehidupan yang penuh berkat ketika ia menjalani kehidupan saleh sesuai syareat Taurat dan turunannya. Sebaliknya, Allah akan melaknat orang-orang berdosa. Maka tidaklah mengherankan keyakinan seperti ini melahirkan pandangan negatifterhadap kaum pendosa. Mereka memandang rendah orang-orang yang tidak mengenal Taurat Allah dan menghindari bergaul dengan mereka. Maka tidaklah mengherankan, mereka yang menganggap diri lebih saleh mencela tindakan Yesus yang bergaul dengan orang-orang berdosa.

Yesus menyambut mereka, bahkan Ia makan bersama-sama dengan mereka. Ini menandakan bukan hanya Yesus mau bergaul dengan mereka, tetapi lebih jauh dari itu; menerima keberadaan mereka. Yesus mau bergaul dan menerima mereka bukan berarti Yesus menyetujui perilaku mereka. Bukan pula karena Yesus lebih suka orang-orang jahat ketimbang orang-orang baik. Bukan begitu! Namun, Yesus merangkul mereka supaya mereka bertobat dan memperoleh hidup. Sebab Ia bersukacita atashidup manusia dan tidak berkenan kepada kebinasaan. Alih-alih turut bersukacita, para ahli Taurat dan orang Farisi justru menolak mendengarkan panggilan Yesus atas penyelamatan orang-orang berdosa.

Sangat mungkin, hari ini kita seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang mencibir orang-orang berdosa dan memandang diri sebagai orang saleh. Kita menutup pintu rapat-rapat untuk bergaul dengan mereka. Bahkan tidak jarang kita pun menghakimi mereka. Sayangnya, kita lupa bahwa kita pun tidak luput dari cacat cela. Kita juga lupa bahwa Tuhan mengasihi bereka seperti Tuhan mengasihi kita. Mereka yang kita anggap buruk, ternyata di mata Tuhan sama berharganya, sehingga Tuhan juga mencari dan berusaha menemukan merekan. Bukankah alangkah baiknya, jika kita juga turut bersukacita kalau Tuhan menjamah hidup mereka? 

Allah yang mencari, memeluk, merangkul dan mengasihi orang berdosa. Paulus adalah sosok yang mengalami perumpamaan “yang hilang” itu. Ia berkisah kepada Timotius, “…aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihi-Nya…”(1 Timotius 1:13). Paulus seorang ahli Taurat dan orang Farisi di bawah didikan rabi Gamaliel. Ia merasa paling saleh dan punya kewajiban menumpas orang-orang murtad dan berdosa. Kini, setelah Sang Gembala Agung itu menangkapnya, akhirnya Paulus menjadi alat di tangan-Nya untuk mencari mereka yang hilang. Sama seperti Paulus, kita pun dipanggil-Nya untuk menyatakan kasih Allah bagi semua orang. 

Mencari atau membiarkan, jika ada di antara kita yang “hilang”. Jauh lebih mudah membiarkan orang lain menjauh dari Tuhan ketimbang berusaha meraihnya kembali. Jauh lebih mudah menghakimi orang berdosa ketimbang mengajaknya kembali pada jalan Tuhan. Namun, jauh lebih mulia apabila kita bersedia dipakai-Nya untuk menjadi sahabat orang berdosa yang menghantar pada pertobatan!

Karang Sembung, 12 September 2019

1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus