Selasa, 18 Desember 2018

SALING MENGUATKAN DALAM KARYA ALLAH

Memahami konteks Maria
Menurut tradisi, Maria ibu Yesus adalah anak sulung dari seorang pasangan berusia lanjut bernama Yoakhim dan Hana. Ketika Maria dilahirkan sekitar tahun 18 SM, bangsa Romawi menduduki wilayah utara Palestina yang dikenal dengan nama Galilea. Herodes menjadi penguasa atas negeri itu. Ia adalah teman dekat dari Antonius dan Kleopatra. Oktavianus, sang jenderal Romawi yang kemudian menjadi kaisar dengan nama Kaisar Agustus, meneguhkan posisi Herodes sebagai “Raja orang Yahudi”. Namun, menjadi masalah karena ia tidak mempunyai garis keturunan Daud, sesuatu yang vital untuk membuatnya berhak memperoleh takhta tersebut.
Ibu Herodes berdarah Yahudi, namun ayahnya berdarah Idumea. Ia sangat sensitif dengan fakta bahwa dia berdarah campuran setengah Yahudi, sesuatu yang membuat seseorang tidak mungkin menduduki takhta secara sah di mata orang Yahudi. Karena iri dan ketakutan, Herodes memerintahkan agar catatan-catatan publik silsilah-silsilah keluarga-keluarga utama bangsa Israel dihancurkan.
Pada tahun 4 SM, ketika Maria berumur sekitar 14 tahun, Herodes Agung mati. Tidak lama setelah kematiannya Yudas mengadakan pemberontakan. Pemberontakan itu dapat dipadamkan, kemudian pemerintah Romawi membagi Palestina menjadi dua distrik; masing-masing diperintah oleh salah satu anak dari Herodes Agung. Arkelaus menerima Yudea dan Filipus menerima wewenang atas wilayah sebelah timur Sungai Yordan dan di sekitar Danau Galilea. Herodes Antipas menerima wilayah Galilea yang berada di sebelah utara, juga Perea di timur Sungai Yordan. Herodes inilah yang kemudian memenggal kepala Yohanes Pembaptis.
Pada masa pemberontakan dan pembasmian para pemberontak secara brutal, Maria yang berusia sekitar empat belas atau lima belas tahun, sudah dianggap perempuan dewasa dan ditunangkan dengan seorang tukang kayu, Yusuf.
Kini, Maria berhadapan dengan masalah besar: Ia hamil dan Yusuf bukanlah ayah anak yang dikandungnya. Kita dapat membayangkan kehebohan yang ditimbulkan oleh kehamilan Maria di tengah desa sekecil Nazaret. Yang terjadi bukan hanya sekedar tukar-menukar gosip. Kedua keluarga besar sangat dikenal oleh orang banyak (bnd.Lukas 4:16). Rumah-rumah penduduk saling berdekatan, sementara anak-anak yang sudah menikah biasanya tinggal di ruang-ruang tambahan dari rumah orang tua dan berbagi pekarangan dengan mereka. Kehidupan pedesaan di sana benar-benar saling bergantung satu sama lainnya, baik secara ekonomi maupun sosial.
Yusuf menghadapi masalas serius yang sama sekali tidak diidam-idamkan oleh setiap orang yang bertunangan. Ia telah ditetapkan sebagai tunangan Maria, kedua keluarga mereka telah menyepakati pernikahan mereka, namun calon mempelai wanitanya ternyata telah “mengandung” sebelum pernikahan mereka berlangsung. Menurut Injil Matius, Yusuf adalah pihak pertama yang menyadari kehamilan itu dan ia mengambil keputusan untuk membatalkan rencana pernikahan mereka sambil menjaga agar semuanya berlangsung secara diam-diam sehingga Maria tidak dipermalukan. Mungkin saja Yusuf berencana untuk menolong Maria meninggalkan desa itu dan melahirkan anaknya secara diam-diam.
Ketika diberitahu - apa pun rencananya itu - dengan ataupun tanpa pertolongan Yusuf, Maria pergi ke desa kecil di pegunungan Yudea yang bernama Ein Kerem, kira-kira enam kilometer di sebelah barat Yerusalem. Di sana, Maria tinggal selama tiga bulan di rumah seorang keluarga dekatnya, sepasang pasutri yang sudah lanjut usia: Elisabet dan Zakharia (Lukas 1:39). Elisabet sendiri sedang mengandung memasuki usia kandungan enam bulan pada masa tuanya, yang nantinya ia akan melahirkan seorang anak laki-laki, dikenal dengan nama Yohanes Pembaptis.
Lukas mengisahkan bahwa kunjungan Maria kepada sanaknya, Elisabet dalam bingkai sukacita. Sama sekali tidak tergambar suasana pergumulan berat. Ketika Elisabet menyambut Maria di dalam rumahnya, ia mengucapkan madah (Lukas 1:42-45) yang menggambarkan Maria sebagai teladan orang beriman. Maria membalasnya dengan sebuah madah juga yang isinya menonjolkan kasih Allah yang begitu besar yang memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Puji-mujian Maria itu dikenal dengan madah Magnificat, sebab begitulah bunyi kata pertamanya dalam terjemahan Latin. Maria memandang dirinya tidak berarti karena status sosial rendah, namun sungguh diistimewakan Allah. Keagungan Allah nyata sekali dalam usaha-Nya untuk “menjadi kecil”, sehingga dapat dijangkau oleh manusia tanpa rasa takut.
Magnificat Maria
Magnificat! “Jiwaku memuliakan Tuhan…”, pujian Maria kepada Allah. Untuk tiba pada pengakuan yang keluar dari jiwa, dalam segala ketulusan, tentu tidak sederhana. Tidak mudah! Bayangkan Anda hidup dalam pergolakan politik kekaisaran Romawi dan raja-raja boneka dinasti Herodes yang sedang membutuhkan pengakuan dan haus kekuasaan. Maria dijanjikan akan melahirkan seorang “Raja Yahudi”, penerus takhta Daud, bapa leluhur-Nya. Bukankah ini, mengerikan! Pastilah Herodes akan menumpas bayi yang akan dilahirkannya. Terbayang kengerian yang ada di depan mata Maria!
Magnificat! “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku…”, pujian Maria kepada Allah. Untuk tiba pada pengakuan yang keluar dari jiwa dan hati yang tulus, tentu tidak mudah. Maria harus berhadapan dengan tradisi moral yang menjunjung tinggi kesakralan dalam pernikahan. Bukankah ia sedang berhadapan dengan hukum rajam dengan tuduhan perzinahan?
Sebelum semuanya bermuara pada Magnificat, kita dapat melihat ada orang yang bersama-sama bergumul dengan Maria, dialah Elisabet. Perjumpaan Maria dengan Elisabet telah meneguhkan Maria. Meskipun dalam perjumpaan dengan Malaikat Gabriel, Maria memutuskan untuk taat kepada kehendak Allah (Lukas 1:38), tetapi menghadapi kehamilan dengan status belum menikah - apalagi dalam usia relatif muda - bukanlah perkara enteng. Bagaimanapu perjumpaannya dengan Elisabet telah meneguhkannya untuk terus melanjutkan ketaatannya pada kehendak Allah dengan sukacita. Elisabet dipakai Allah untuk meneguhkan kembali langkah Maria dalam bingkai karya Allah yang menyelamatkan dunia. Kita juga menyaksikan, dalam keikutsertaan melaksanakan karya Allah, Elisabet dan Maria saling menguatkan sehingga beban berat yang menghadang berubah menjadi kidung sukacita.
Konteks kita
Sampai saat ini Tuhan terus berkarya. Dia selalu mengikutsertakan semua orang percaya untuk terlibat dalam karya kasih-Nya. Tentu saja bukan perkara mudah. Ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Belajar dari Elisabet dan Maria, mestinya kita harus saling menguhkan satu dengan yang lain. Bukan saling menghakimi dan merasa benar sendiri. 
Jakarta, Adven ke-4, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar