Jumat, 12 Mei 2017

PERGI DALAM DAMAI

Stefanus, satu dari tujuh orang yang dipilih untuk pelayanan sosial (Kisah Para Rasul 6:1-7). Mereka diutus untuk memberikan bantuan kepada para janda, yatim dan orang-orang miskin yang terabaikan, karena beriman bukan berarti hanya sekedar percaya saja lalu mengabaikan kebutuhan perut dan tempat bernaung. Sudah pasti Stefanus bekerja dengan gigih dan cinta karena ia seorang yang penuh dengan iman. Iman yang membuatnya tidak tahan melihat saudara-saudaranya hidup dalam penderitaan. Iman yang menggerakkan seluruh akan budinya untuk mengasihi sesama dengan setulus-tulusnya. Imannya nyata melalui tindakan dan dalam pemberitaan Injil.

Namun, sayang kerja keras dan kepeduliaan serta pelbagai mukjizat yang dilakukan Stefanus harus dibungkam oleh orang-orang yang menganggapnya menghujat dan menista agama Yahudi. Tampillah orang-orang yang disebut jemaat Yahudi Libertini (Kis.6:9) yang sengaja berdebat untuk menjatuhkan Stefanus. Namun sayang, mereka tidak dapat mengungguli hikmat Stefanus. Stefanus selalu dapat menepis tuduhan mereka. Ketika mereka tak sanggup mengungkapkan lagi cacat cela apa yang dikerjakan Stefanus, mulailah mereka menebarkan isu, menghasut dan memprovokasi orang banyak bahwa Stefanus telah menghujat Allah dan melanggar hukum Musa. Tidak hanya itu, bersama dengan lembaga ulama, para pemimpin Yahudi mengadakan gerakan untuk menyergap Stefanus dan menyeretnya ke Mahkamah Agama!

Sudah dapat diduga persidangan macam apa yang mereka gelar. Yup, persidangan rekayasa! Mereka menghadirkan saksi-saksi palsu yang sepakat mengatakan, “Orang ini terus-menerus  mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus ini dan hukum Taurat.” (Kis. 7:13). Stefanus memandang penghakimannya ini justeru sebagai peluang emas untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus. Ia tidak gentar dengan ancaman maut di depan mata. Ia bersuara lantang dan menyatakan kebenaran meski harus dirajam batu! Stefanus menjadi martir bukan karena melanggar Taurat dan menghujat Allah, melainkan karena pengakuan imannya yang jernih pada Yesus Kristus. Pengakuan imannya yang tegas dan jelas itu mengungkapkan kembali sejarah kehidupan Yesus Kristus. Yesus, yang mati disalibkan dengan tuduhan yang hampir sama seperti pasal yang dituduhkan kepadanya, yakni menghujat Allah. Namun, kini Ia dimuliakan Allah.

Menurut tradisi Yahudi, saksi utama dalam peristiwa penodaan agama itu haruslah melempar batu yang pertama bagi terdakwa. Para saksi melepaskan pakaian mereka sebagai kesaksian bagi Stefanus. Pakaian itu dijaga oleh seorang pemuda, namanya Saulus. Pelemparan batu sampai mati terhadap Stefanus ini rupanya menjadi pengalaman menentukan bagi Saulus. Ia mendapatkan kesan mendalam dari Stefanus. Setelah dua puluh tahun berselang, kelak Saulus bertemu dengan tokoh mulia yang saat ini memberikan kekuatan istimewa kepada Stefanus, yakni Yesus. Peristiwa itu terjadi dalam perjalanan Saulus menuju Damsyik untuk mengejar orang-orang Kristen. Tokoh itu ternyata mengisi seluruh hidupnya, sehingga kemudian Saulus yang telah berganti nama menjadi Paulus berani bersaksi “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”(Fil.1:21).

Menjelang ajalnya, ada suatu yang menarik, yakni :”Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kis.7:56). Apakah karena begitu berat penderitaan menghadapi sakaratul maut lalu Stefanus berhalusinasi melihat Yesus? Ataukah benar-benar ia telah melihat “surga” di ujung kematiaannya? Boleh-boleh saja orang berpendapat demikian. Namun, satu hal yang pasti detik-detik terakhir menjelang ajalnya ada dua kalimat yang meluncur dari mulutnya: “Ya, Tuhan Yesus, terimalah rohku, “ dan “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” setelah perkataan itu meninggallah Stefanus. Ia pergi dalam damai bersama Tuhannya!

Ketika Stefanus melihat Yesus, oh…itu bukan halusinasi! Ia melihat Yesus sebagai firman yang hidup. Pastilah ia mengingat apa yang dilakukan Yesus selama hidup-Nya, secara khusus ketika Yesus meregang nyawa di atas kayu salib di bukit Golgota. Ia mengingat ucapan Yesus yang meminta kepada Bapa-Nya agar mengampuni dosa mereka yang telah menolak dan menyalibkan-Nya. Dan Yesus juga menyerahkan nyawa-Nya ke dalam tangan Bapa. Bagi Stefanus, melihat Yesus berarti menjalani dan melakukan apa yang Yesus jalani dan apa yang Yesus lakukan!

Stefanus berhasil melihat  apa yang sulit dilihat oleh Filipus dan para murid yang lainnya. Kemudian ia meminta Yesus menunjukkan Bapa kepadanya (Yoh.14:8). Lalu Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa”. Di dalam Taurat dan kitab para nabi, tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah. Hanya Yesus yang mengatakan hal ini. Sekarang, Filipus harus melangkah ke pengenalan yang lebih mendalam akan Yesus. Yesus, bukan saja apa yang tertulis dalam Taurat dan kitab para nabi, melainkan juga tentang apa yang ia dengar, lihat dan alami bersama dengan Yesus. Seluruh apa yang Yesus peragakan merupakan firman Allah. Maka Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa.” Setelah itu, Yesus melanjutkan perkataan-Nya bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, maka ia juga akan melakukan apa yang dikerjakan-Nya.

Stefanus adalah salah seorang yang berhasil “melihat” Yesus. Maka ia mengerjakan segala apa yang pernah Yesus ajarkan dan lakukan. Keprihatinannya kepada yang miskin dan terabaikan, bukankah itu juga yang Yesus lakukan? Keberaniannya dalam menghadapi para pemimpin agama dalam persidangan rekayasa, bukankah itu juga yang dialaminya? Bahkan sampai akhir kehidupannya, ia melihat Yesus yang sesungguhnya itu sehingga ia pergi dalam damai walau kematian yang menjemputnya begitu mengerikan!

Setiap orang mengharapkan “pergi dalam damai”, rest in peace (RIP); mengakhiri kehidupan ini menuju kepada kedamaian abadi. Namun, seringkali tidak tahu bagaimana menempuh jalan untuk pergi ke sama. Yesus menyatakan diri-Nya Jalan, Kebenaran, dan Hidup! Ia adalah jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak menunjukkan jalan tertentu yang harus dilewati. Ia menunjuk diri-Nya sendiri adalah Jalan itu. Dialah satu-satunya jalan menuju Bapa. Oleh karena itu Ia menyebut diri-Nya Sang Jalan (hē hodos; the way). Dalam kapasitas-Nya sebagai Jalan itulah, Ia juga Kebenaran dan Hidup. Jalan itu menjadi kebenaran karena Ia menghantar kepada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat memercayakan diri kepada-Nya. Dia melakukan apa saja yang dikatakan-Nya. Jalan itu adalah Hidup, karena membawa orang kepada kehidupan. Dialah yang membawa orang kepada pengenalan akan satu-satunya Allah sebagai sumber kehidupan yang baka.

Ketika kita menginginkan pergi dalam damai, maka tidak ada jalan lain kecuali melalui Dia yang tersalib itu!

Paskah V 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar