Stefanus, satu dari tujuh orang yang dipilih untuk pelayanan sosial (Kisah
Para Rasul 6:1-7). Mereka diutus untuk memberikan bantuan kepada para janda,
yatim dan orang-orang miskin yang terabaikan, karena beriman bukan berarti
hanya sekedar percaya saja lalu mengabaikan kebutuhan perut dan tempat
bernaung. Sudah pasti Stefanus bekerja dengan gigih dan cinta karena ia seorang
yang penuh dengan iman. Iman yang membuatnya tidak tahan melihat
saudara-saudaranya hidup dalam penderitaan. Iman yang menggerakkan seluruh akan
budinya untuk mengasihi sesama dengan setulus-tulusnya. Imannya nyata melalui tindakan
dan dalam pemberitaan Injil.
Namun, sayang kerja keras dan kepeduliaan serta pelbagai mukjizat yang
dilakukan Stefanus harus dibungkam oleh orang-orang yang menganggapnya
menghujat dan menista agama Yahudi. Tampillah orang-orang yang disebut jemaat
Yahudi Libertini (Kis.6:9) yang sengaja berdebat untuk menjatuhkan Stefanus.
Namun sayang, mereka tidak dapat mengungguli hikmat Stefanus. Stefanus selalu
dapat menepis tuduhan mereka. Ketika mereka tak sanggup mengungkapkan lagi
cacat cela apa yang dikerjakan Stefanus, mulailah mereka menebarkan isu,
menghasut dan memprovokasi orang banyak bahwa Stefanus telah menghujat Allah
dan melanggar hukum Musa. Tidak hanya itu, bersama dengan lembaga ulama, para
pemimpin Yahudi mengadakan gerakan untuk menyergap Stefanus dan menyeretnya ke
Mahkamah Agama!
Sudah dapat diduga persidangan macam apa yang mereka gelar. Yup, persidangan
rekayasa! Mereka menghadirkan saksi-saksi palsu yang sepakat mengatakan, “Orang ini terus-menerus mengucapkan perkataan yang menghina tempat
kudus ini dan hukum Taurat.” (Kis. 7:13). Stefanus memandang penghakimannya
ini justeru sebagai peluang emas untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus. Ia
tidak gentar dengan ancaman maut di depan mata. Ia bersuara lantang dan
menyatakan kebenaran meski harus dirajam batu! Stefanus menjadi martir bukan
karena melanggar Taurat dan menghujat Allah, melainkan karena pengakuan imannya
yang jernih pada Yesus Kristus. Pengakuan imannya yang tegas dan jelas itu
mengungkapkan kembali sejarah kehidupan Yesus Kristus. Yesus, yang mati
disalibkan dengan tuduhan yang hampir sama seperti pasal yang dituduhkan
kepadanya, yakni menghujat Allah. Namun, kini Ia dimuliakan Allah.
Menurut tradisi Yahudi, saksi utama dalam peristiwa penodaan agama itu
haruslah melempar batu yang pertama bagi terdakwa. Para saksi melepaskan
pakaian mereka sebagai kesaksian bagi Stefanus. Pakaian itu dijaga oleh seorang
pemuda, namanya Saulus. Pelemparan batu sampai mati terhadap Stefanus ini
rupanya menjadi pengalaman menentukan bagi Saulus. Ia mendapatkan kesan
mendalam dari Stefanus. Setelah dua puluh tahun berselang, kelak Saulus bertemu
dengan tokoh mulia yang saat ini memberikan kekuatan istimewa kepada Stefanus,
yakni Yesus. Peristiwa itu terjadi dalam perjalanan Saulus menuju Damsyik untuk
mengejar orang-orang Kristen. Tokoh itu ternyata mengisi seluruh hidupnya,
sehingga kemudian Saulus yang telah berganti nama menjadi Paulus berani
bersaksi “Bagiku hidup adalah Kristus dan
mati adalah keuntungan”(Fil.1:21).
Menjelang ajalnya, ada suatu yang menarik, yakni :”Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di
sebelah kanan Allah.” (Kis.7:56). Apakah karena begitu berat penderitaan
menghadapi sakaratul maut lalu Stefanus berhalusinasi melihat Yesus? Ataukah
benar-benar ia telah melihat “surga” di ujung kematiaannya? Boleh-boleh saja
orang berpendapat demikian. Namun, satu hal yang pasti detik-detik terakhir
menjelang ajalnya ada dua kalimat yang meluncur dari mulutnya: “Ya, Tuhan Yesus, terimalah rohku, “ dan “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada
mereka!” setelah perkataan itu meninggallah Stefanus. Ia pergi dalam damai bersama
Tuhannya!
Ketika Stefanus melihat Yesus, oh…itu bukan halusinasi! Ia melihat Yesus
sebagai firman yang hidup. Pastilah ia mengingat apa yang dilakukan Yesus
selama hidup-Nya, secara khusus ketika Yesus meregang nyawa di atas kayu salib
di bukit Golgota. Ia mengingat ucapan Yesus yang meminta kepada Bapa-Nya agar
mengampuni dosa mereka yang telah menolak dan menyalibkan-Nya. Dan Yesus juga
menyerahkan nyawa-Nya ke dalam tangan Bapa. Bagi Stefanus, melihat Yesus
berarti menjalani dan melakukan apa yang Yesus jalani dan apa yang Yesus
lakukan!
Stefanus berhasil melihat apa
yang sulit dilihat oleh Filipus dan para murid yang lainnya. Kemudian ia
meminta Yesus menunjukkan Bapa kepadanya (Yoh.14:8). Lalu Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah
melihat Bapa”. Di dalam Taurat dan kitab para nabi, tidak ada orang yang
bisa mengatakan bahwa barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah. Hanya
Yesus yang mengatakan hal ini. Sekarang, Filipus harus melangkah ke pengenalan
yang lebih mendalam akan Yesus. Yesus, bukan saja apa yang tertulis dalam
Taurat dan kitab para nabi, melainkan juga tentang apa yang ia dengar, lihat
dan alami bersama dengan Yesus. Seluruh apa yang Yesus peragakan merupakan
firman Allah. Maka Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah
melihat Bapa.” Setelah itu, Yesus melanjutkan perkataan-Nya bahwa barangsiapa
percaya kepada-Nya, maka ia juga akan melakukan apa yang dikerjakan-Nya.
Stefanus adalah salah seorang yang berhasil “melihat” Yesus. Maka ia
mengerjakan segala apa yang pernah Yesus ajarkan dan lakukan. Keprihatinannya
kepada yang miskin dan terabaikan, bukankah itu juga yang Yesus lakukan?
Keberaniannya dalam menghadapi para pemimpin agama dalam persidangan rekayasa,
bukankah itu juga yang dialaminya? Bahkan sampai akhir kehidupannya, ia melihat
Yesus yang sesungguhnya itu sehingga ia pergi dalam damai walau kematian yang
menjemputnya begitu mengerikan!
Setiap orang mengharapkan “pergi dalam damai”, rest in peace (RIP); mengakhiri kehidupan ini menuju kepada
kedamaian abadi. Namun, seringkali tidak tahu bagaimana menempuh jalan untuk
pergi ke sama. Yesus menyatakan diri-Nya Jalan, Kebenaran, dan Hidup! Ia adalah
jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak menunjukkan jalan tertentu
yang harus dilewati. Ia menunjuk diri-Nya sendiri adalah Jalan itu. Dialah
satu-satunya jalan menuju Bapa. Oleh karena itu Ia menyebut diri-Nya Sang Jalan
(hē hodos; the way). Dalam kapasitas-Nya sebagai Jalan itulah, Ia juga Kebenaran dan
Hidup. Jalan itu menjadi kebenaran karena Ia menghantar kepada tujuan yang
sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat memercayakan diri kepada-Nya. Dia
melakukan apa saja yang dikatakan-Nya. Jalan itu adalah Hidup, karena membawa orang kepada kehidupan. Dialah yang membawa
orang kepada pengenalan akan satu-satunya Allah sebagai sumber kehidupan yang
baka.
Ketika kita menginginkan pergi dalam damai, maka tidak ada jalan lain
kecuali melalui Dia yang tersalib itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar