Kamis, 13 April 2017

PENONTON KEKERASAN

Bagi umat beragama, Tuhan diyakini sebagai pembuat undang-undang, ketetapan, perintah atau yang sejenis dengan itu. Tujuannya tentu agar manusia hidup baik. Jadi hukum-hukum ilahilah sumber segala kebajikan. Berbeda dari kaum rohaniwan, bagi para filsuf Yunani bukan hukum ilahi sebagai sumber kebajikan namun nalar. Akal budi adalah sumber kebajikan praktis. Mereka berpendapat bahwa kehidupan yang bajik tidak bisa dilepaskan dari nalar. Sepanjang sejarah, perjumpaan antara patuh kepada kehendak Tuhan atau penggunaan kebebasan nalar sebagai acuan bertindak etis dan berprilaku bajik mengalami pasang surut. Agustinus, teolog Kristen abad ke-4 misalnya, mengajarkan kebajikan moral ialah penyerahan diri pada kehendak Tuhan. Selanjutnya pada zaman Reinesans, hukum-hukum ilahi itu berpadanan dengan hukum sekuler, yang kemudian disebut hukum moral. Pada masa ini, manusia tidak puas  hanya dengan mengenali sifat-sifat baik saja, melainkan bertanya, “Apakah yang sebaiknya dilakukan agar manusia itu mengerjakan kebajikan?”

Mestinya, antara hukum Ilahi dan nalar atau akal sehat manusia sejalan dalam diskursus kebajikan. Manusia spiritual percaya bahwa dirinya diciptakan oleh Sang Pencipta. Dan Sang Pencipta itu juga merupakan sumber dari segala kebajikan. Ia menciptakan manusia dengan nalar – ini yang membedakannya dari makhluk lain – agar dengan nalar itu manusia melakukan segala kebajikan.

Sekarang manusia bertanya, mungkin juga berdebat, “Apakah kebajikan itu?” Aristoteles menyebutnya, “Suatu ciri pembawaan (character trait) yang termanifestasikan dalam tindakan habitual (kebiasaan). Misalnya, jujur. Kejujuran tidak dimiliki oleh seseorang yang menyatakan kebenaran hanya pada saat-saat tertentu saja atau yang menguntungkan dirinya sendiri. Pribadi jujur adalah senantiasa jujur; tindakan-tindakannya bersumber dari karakter yang teguh dan tidak bisa diubah. Kejujuran hanya merupakan bagian kecil saja dari kebajikan, masih ada murah hati, tidak memihak, adil, bersahabat, tekun, setia, peduli, toleran, dan seterusnya yang rasanya di semua tempat dan sepanjang zaman manusia mengakuinya.

Virtue berasal dari kata Latin virtus yang berarti moral atau kebajikan. Yang disebut kebajikan tidak boleh bertentangan atau meniadakan kebajikan yang lainnya. Misalnya, saya ingin melakukan salah satu tindakan kebajikan, yakni menolong orang yang kekurangan. Namun, karena saya tidak punya sesuatu untuk diberikan kepada orang miskin itu maka saya terpaksa harus merampok. Ini bukan kebajikan! Edward Shills mengatakan, “Tidak ada kebajikan yang berdiri sendiri dan bahwa setiap tindakan kebajikan (virtuous acts) mengorbantan tindakan bajik yang lain, dan bahwa tindakan bajik berkait erat dengan kejahatan…”

Agama diyakini sebagai salah satu sumber moral di mana para penganutnya mempraktikan kebajikan. Namun sangat disayangkan penafsiran tentang virtuous acts  itu tidak selalu ajeg pada cita-cita dan nilai-nilai luhur agama. Sejatinya agama menuntun orang mengerjakan segala bentuk prilaku bajik : kejujuran, belas kasih, cinta damai, toleran, peduli dan seterusnya. Namun, penafsiran syareat agama bisa berbeda dari itu. Virtuous acts diartikan dengan menjaga ketat syareat. Kaidah agama tidak boleh dinodai. Akibatnya, orang yang berbeda pandangan – apalagi yang mengeritik dan mengecam – adalah musuh. Bukan saja musuh kelompok ini, melainkan musuh Tuhan mereka. Tidaklah mengherankan bagi kelompok ini, yang disebut kebajikan adalah memerangi dan melenyapkan orang atau kelompok yang berbeda dengan mereka. Memberangus, mengenyahkan bahkan membunuh bagi kelompok ini merupakan sebuah tindakan kebajikan demi mempertahankan kemurnian syareat! Bagi mereka, menyerang kelompok yang berbeda, mengobrak-abrik tempat ibadah agama lain, membakar pemukiman yang dianggap kafir merupakan sebuah tindakan kebajikan. Mati pun bersedia, mereka percaya upahnya adalah sorga!

“…, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti kepada Allah.” (Yohanes 16:2). Tragis, kekerasan dan pembunuhan justeru dipandang sebagai virtue act. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus. Hari itu Yesus diseret ke pengadilan agama dan dinyatakan bersalah telah menista agama Yahudi. Tidak puas dan supaya dapat legitimasi hukuman mati, Yesus pun dihadapkan kepada Pilatus. Pilatus sebenarnya telah memeriksa dan tidak mendapati kesalahan dalam diri Yesus. Namun, desakan orang banyak membuat Pilatus tidak berdaya! Akhirnya, Pilatus cuci tangan dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan.

Akhirnya mereka menerima Yesus, “mereka paradidomi Yesus”. Mereka menerima Dia bukan untuk percaya, melainkan menerima Dia untuk ditolak dan dibinasakan. Mereka menerima Yesus untuk dijadikan obyek kekerasan dan pembantaian. “Virtue act” (mereka merasa sedang berbakti kepada Allah dengan membantai “musuh Allah”) dipertontonkan melalui via dolorosa. Yesus membawa salib-Nya sendiri ke luar kota Yerusalem yang bernama Golgota!

Hari itu, atas nama agama, seorang Anak Manusia bertubi-tubi dicambuk, diludahi, dikutuk, didera, dimahkotai duri, jatuh bangun memikul salib-Nya tanpa ada yang tergerak untuk menolong apalagi menghentikannya sampai paku-paku itu menancap di tangan dan kaki dan akhirnya salib itu ditegakkan. Dan Yesus berkata, “Sudah selesai.” (Yoh.19:30).

Vulgar, mengerikan dan orang banyak yang dulu menyanjung hanya berdiri sebagai penonton. Saya dapat membayangkan, kalau itu terjadi pada masa kini: mungkin orang banyak di sepanjang via dolorosa  itu segera mengeluarkan gadget mereka lalu memotret, memvideokan detil demi detil kejadian itu lalu membagikannya di jejaring Face Book, Twitter, Instagram, Path, Line, Whatapp, dan yang lainnya. Semakin mengerikan detil yang direkam, maka semakin bangga bagi pengirimnya, semakin banyak yang memberikan jempol (suka) semakin senang si pengunggahnya! Bukankah itu yang terjadi pada masa kini, media sosial kita dipenuhi dengan gambar, video dan berita kekerasan. Tanpa sadar kita, bukan saja menjadi penonton kekerasan itu, melainkan juga pengedarnya!

Bila hari ini ada pergeseran masiv menerjemahkan kebajikan dari mengerjakan segala apa yang disebut kebajikan (kejujuran, keramahtamahan, ketulusan, kepedulian, cinta kasih, toleran, kemurahan dan seterusnya) kepada pemurnian syareat dan penyingkiran serta pemberangusan yang berbeda, mestinya kita bukan berdiri sebagai penonton. Jika kita tidak peduli itu sama dengan kita menyetujui segala bentuk kekerasan tersebut. Tindakan itu bukanlah kebajikan, sebab – meminjam kalimat Edward Shills -  tidak mungkin sebuah tindakan kebajikan itu akan menciderai kebajikan yang lain. Tidak mungkin mereka sedang berbakti kepada Allah, namun membinasakan ciptaan-Nya sendiri. Jelas ini ada yang keliru!

 Diam, sebagai penonton berarti kita menyetujuinya. Ingatlah ketika Stefanus diibunuh, Saulus ada di sana, dia diam: dia setuju kalau Stefanus dibunuh atas nama agama! Hari ini, wajah agama sering menampakan kegarangannya. Tidak mudah bersahabat dengan orang atau kelompok yang berbeda, perjuangannya bukan mengerjakan kebajikan melainkan menyingkirkan pihak lain.  Haruskah kita menjadi penonton dan membiarkannya? Ataukah kita bertindak sama seperti mereka bertindak?

Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku.” (Yoh.16:3) Demikian kata Yesus. Saatnya kita menghadirkan dan mengenalkan wajah Yesus, bukan hanya dengan kata tapi segenap perbuatan. Hadirkanlah cinta di mana ada kebencian, damai di mana ada pertikaian!

Jumat Agung, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar