Banyak hal di sekitar kita membenarkan bahwa hanya dengan kelembutan,
kekerasan dapat ditaklukan. Batu cadas yang keras, lama-kelamaan akan terkikis
habis oleh tetesan air yang lembut. Tutur kata lembut dan penuh hikmat dapat
meluluhkan hati yang dikuasai amarah dan kebencian. Perjuangan Mahatma Gandhi
dengan ahimsa-nya (perlawanan tanpa
menggunakan kekerasan) berhasil mengusir penjajah. Nelson Mandela dan Uskup
Desmon Tutu membuktikan bahwa pengampunan dan kelemah-lembutan berhasil
mewujudkan perdamaian di Afrika Selatan! Meski banyak contoh dan logika nalar
membenarkan keunggulan sifat lemah-lembut namun untuk melakukannya adalah
perkara yang berbeda. Sulit! Sulit, seperti memahami Minggu ini: Palmarum
sekaligus Sengsara. Yesus disambut dan dielu-elukan sekaligus juga nantinya dihujat,
dihakimi: salibkan Dia! Salibkan Dia! Itulah paradoks.
Simon, saudara Yudas Makabeus pernah memimpin pemberontakan terhadap
koloni Romawi dan berhasil mengusir serdadu Romawi itu dari Yerusalem. Ketika
memasuki Yerusalem, ia disambut dengan kemeriahan luar biasa: “…Simon memasuki puri itu dengan kidung dan
daun palem, diiringin dengan kecapi dan dandi, sambil menyanyikan madah dan
gita. Sebab musuh besar Israel sudah digempur.” (1 Makabe 13:51). Penduduk
Yerusalem yakin bahwa Simon adalah “mesias” yang akan kembali memulihkan takhta
Daud melawan dengan pedang semua musuh mereka. Buktinya sudah terlihat, para
musuh sudah meninggalkan Yerusalem. Sebentar lagi kemenangan besar itu akan
terjadi! Namun, apa yang terjadi? Pemberontakan Yudas Makabeus dan Simon
berhasil ditumpas. Tidak pernah mereka bisa memenuhi impian Israel. Bahkan
keruntuhan Yerusalem dan kehancuran Bait Allah yang lebih dasyat terjadi
kemudian di tahun 70 M.
Apa yang dilakukan penduduk Yerusalem terhadap Yesus. Yesus yang telah
dikenal luas. Mereka mengenal-Nya sebagai orang yang penuh kuasa, bisa memerintahkan
badai menghardik setan, mengusir sakit penyakit, membangkitkan orang mati, memberi
makan beribu-ribu orang, tentulah bukan orang biasa. Dia itu orang yang linuwih, Dia pantas menjadi “mesias”
itu. Yesus memenuhi kriteria dan harapan sebagai seorang yang dapat
mengembalikan takhta kerajaan Daud itu!
Semangat itulah yang tidak membuat mereka ragu untuk menyambut Yesus
ketika memasuki Yerusalem. Mereka berseru, “Hosana
bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan”
(Mat.21:9).
Seruan ini diambil dari Mazmur 118:26 yang sekaligus menyatakan
identitas Yesus sebagai Anak Daud. Meski Yesus hanya menunggang keledai betina,
namun mereka tetap mau melaimbai-lambaikan daun palem, beberapa di antaranya
melepas baju dan jubah dan kemudian mengelarnya di jalan yang akan dilalui oleh
keledai yang ditunggangi Yesus. Orang-orang Yerusalem pun gempar tatkala Yesus
mulai memasuki gerbang kota itu. Dulu, ketika Yesus lahir, Yerusalem pun
digemparkan dengan berita yang bersumber dari orang-orang Majus bahwa telah
lahir seorang Raja Yahudi dan mereka telah melihat bintangnya dan ingin datang
untuk menyembah-Nya. Kegemparan itu memaksa seorang bertanya kepada yang
lainnya tentang siapakah orang yang mereka sambut itu. Dan orang banyak
menyahut, “Inilah Nabi Yesus dari Nazaret di Galilea!” (Matius 21:11).
Kisah Yesus memasuki Yerusalem dalam Injil Matius ini memang benar
menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias, Anak Daud yang memasuki kota-Nya
dengan penuh kuasa. Namun, kuasa yang bagaimana dan seperti apa; tidak selalu
sama dengan pengharapan orang-orang yang menyambut-Nya di Yerusalem itu. Benar,
Yesus datang penuh dengan kuasa. Namun, bukan kuasa pedang atau kuasa politik!
Pasal-pasal berikutnya dalam Injil Matius menceritakan bagaimana Yesus yang
penuh kuasa itu. Yesus membersihkan Bait Allah dari praktik-praktik yang
menodainya. Dengan kuasa-Nya juga Ia membungkam musuh-musuh yang selalu
mencari-cari kesalahan-Nya. Di Yerusalem juga Ia mengajar penuh dengan kuasa.
Semua kisah ini menunjukkan kuasa Yesus sebagai Mesias.
Kisah Yerusalem adalah kisah kontroversi dan konfrontasi; paradoks!
Yerusalem menyambut dan Yerusalem mengenyahkan. Meski tidak sedikit yang
menyambut dan berharap banyak pada Yesus – harus diingat pula – Yerusalem adalah
kota di mana tinggal penentang-penentang utama Yesus. Tidak mengherankan di
Yerusalemlah konflik antara Yesus dan para penentangnya itu semakin memuncak.
Para penentang mencobai dan berusaha menjerat Yesus. Dengan kelicikan, mereka
berusaha menghasut dan menyebarkan propoganda penodaan agama. Di Yerusalem, meski
berbeda minat dan perjuangan mereka: Farisi, Ahli Taurat, Saduki dan tentunya
kekuasaan politik bergabung menjadi satu suara: enyahkan Yesus!
Tidaklah mengherankan, jika pekik sambut di gerbang Yerusalem : “Hosana! Hosana!” Kini, berubah menjadi “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Ini ironi dan kontradisi! Ini paradoks: Palmarum dan
Sengsara! Bukankah kita juga bisa seperti itu: Menyanjung dan memuji Yesus
setinggi langit, mengumbar komitmen dan janji untuk setia, ketika kita punya
harapan-harapan tertentu kepada-Nya atau ketika harapan dan doa kita terkabut.
Sebaliknya, dengan mudah kita bisa meninggalkan-Nya manakala kecewa, sakit hati
dan segudang harapan tidak terpenuhi!
Yesus tampaknya tidak silau dengan sanjungan dan tak gentar dengan
cacian, hujatan dan aniaya. Ia terus berjalan menelusuri lorong Yerusalem
sampai vonis dan penghakiman berhadapan dengan maut itu tiba. Ia tidak mengelak
atau menyesali jalan hidup-Nya, “Tuhan
Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke
belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan
pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan
mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yesaya 50:5,6).
Yesus mengerti dan sadar betul akan apa yang harus dijalani-Nya:
menunaikan tugas Sang Bapa. Yesus menjalani lakon seorang Mesias: hamba yang
menderita. Ia menggunakan kuasa-Nya bukan kuasa pedang dan penaklukan. Bukan
kekerasan, namun kelemah-lembutan. Sebab pedang kekerasan tidak pernah akan
menembus hati manusia! Hanya kelemah-lembutanlah yang memampukan manusia
melihat kuasa kasih Allah. Yesus menanggalkan segala kuasa-Nya, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaran dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
mengosongkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
(Filipi 2:6-8). Demikian Paulus melihat
ketaatan dan pengosongan diri Yesus.
Palmarum dan kesengsaraan Yesus mengajarkan banyak hal kepada kita:
Jangan silau tatkala kita disanjung dan dipuja. Kembalikanlah setiap sanjungan
dan pujian kepada-Nya! Kita hanya sebagai alat ditangan-Nya untuk menjalankan
tugas panggilan dengan setia. Oleh sebab itu jangan galau dan gelisah manakala
badai datang menerpa. Taat dan setialah kepada-Nya serta tetap lemah-lembut
karena tidak mustahi dengan cara seperti itu kita dapat menjangkau hati
manusia. Bukan dengan pedang dan kekerasan kasih Allah dapat dirasakan oleh
setiap orang. Melainkan dengan lemah-lembut dan kasih sanyang.
Palmarum 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar