Tersebutlah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan cacat fisik
parah. Salah satu kakinya begitu lemah sehingga harus dipasang logam penopang.
Sedari kecil anak lelaki itu akrab dengan alat bantu di kakinya. Karena
terbiasa dari kecil, ia tidak merasa terganggu sama sekali oleh cacat fisiknya.
Namun, setelah ia mulai bersekolah, kesedihan mulai mengusiknya. Melihat
tema-temannya bermain; berlari kian-kemari, ia menjadi sedih, ia juga tidak
bisa memanjat pohon, bermain bola. Setiap hari hanya kesedihan demi kesedihan
ia telan.
Merasakan kemuraman sang anak, ayahnya memutuskan untuk membawanya ke
sebuah kuil yang terkenal di sebuah kota yang letaknya jauh dari kediamana
mereka. Konon berbagai mujizat terjadi pada mereka yang bersungguh-sungguh
berdoa memohon di kuil itu. Kabarnya, orang-orang cacat yang pergi mengunjungi
kuil tersebut, membuang penopang kaki dan kruk mereka, dan bisa berjalan dengan
leluasa. Mereka sembuh total!
Maka berangkatlah ayah dan anak ini berziarah ke kuil tersohor itu.
Sesampainya di sana, mereka memanjatkan doa sangt khusyuk memohon kesembuhan
kaki sang anak yang cacat dari semenjak lahir. Seketika, dirasakan oleh anak
itu, perasaan hangat yang begitu indah dalam hatinya. Ia merasakan bahwa
kakinya benar-benar sembuh. Ia membuka mata, menyelesaikan doanya dan bangkit
berdiri. Saat ia melirik kakinya, dilihatnya kakinya tidak ada perubahan sama
sekali. Masih layu seperti sebelumnya.
“Tidak ada gunanya berada di sini!” katanya kepada bapaknya, “Ayo kita
pergi, Ayah. Tuhan tidak mendengarkan doa kita.” Dengan tertatih-tatih anak itu
berdiri. Ketika hampir sampai di pintu gerbang kuil, sebuah perasaan luar biasa
menyergapnya. Ia merasakan seolah-olah ada sebuah tangan besar yang meraih dan
merangkulnya, dan anak itu berteriak, “Ayah, Ayah! Ayah benar! Aku sembuh! Aku
sembuh!”
Ayahnya terkejut luar biasa. Dilihatnya kaki anak lelakinya itu, lalu
tatapan itu menghampiri wajah sang anak, kembali tatapan itu tertuju pada kaki
yang layu itu. Tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Semua seperti semula; logam
penopang kaki itu masih terpasang erat di tempatnya. “Bagaimana mungkin ia
berkata, ‘aku telah sembuh!’ bermimpikah dia?” gumam ayahnya.
“Ayah, bukan logam penopang kaki ini yang telah Tuhan ambil dari diriku,”
jelas sang anak, “Tapi logam yang tertanam dalam hati dan pikiranku! Aku tidak
lagi merasa cacat. Aku tidak lagi merasa rendah diri. Tuhan sayang kepadaku dan
aku bisa meneruskan kehidupan ini tanpa harus sedih dan meratapi diri. Aku
bahagia, Ayah!”
Anak laki-laki ini dipulihkan tuhan bukan fisiknya melainkan hati dan
pikirannya; spiritualitasnya. Sehingga kelemahan tubuhnya bukan lagi menjadi
penghalang untuk merasakan kasih sayang Tuhan. Mata rohaninya dibukakan untuk
melihat kebaikan Tuhan dalam hidupnya meski ia tidak seperti kebanyakan
anak-anak yang lain. Namun sayangnya kisah ini bisa jadi hanya sebagai sebuah
dongeng atau kalau pun ada sangat kecil jumlah orang yang mengalaminya.
Kebanyaknya, justeru terbalik: mata hati rohani yang tidak dapat melihat
kebaikan-kebaikan yang Tuhan berikan setiap saat, seperti tema kita, “Melihat tetapi buta.” Mungkinkah
termasuk kita di dalamnya, tidak buta secara fisik namun tidak bisa melihat besarnya
kasih sayang Tuhan dalam kehidupan kita sehingga sulit sekali untuk mengucap
syukur.
Bacaan Injil dalam Minggu Pra-paskah IV diambil dari Injil Yohanes 9.
Bercerita tentang Yesus yang menyembuhkan seorang yang buta sejak lahir pada
hari Sabat. Berangkat dari kisah pemulihan orang buta secara fisik menuju
kepada masalah yang lebih dalam dan seirus yakni penglihatan rohani dan
kebutaan spiritualitas. Tidak berarti bahwa – melalui penulis Injil Yohanes –
Yesus memandang penyembuhan kelemahan fisik manusia tidak punya arti, melainkan
bahwa melalui peristiwa ini, Yesus memandangnya dalam konteks yang lebih luas,
yakni hubungan manusia dengan Allah. Seperti seorang buta sejak lahir yang
dipulihkan dan kemudian perlahan-lahan sampai kepada perjumpaan dengan Yesus
yang menghasilkan iman yang sejati: Si buta itu disembuhkan baik secara fisik
maupun rohaninya. Ia tidak hanya melihat, tetapi juga berjumpa dengan Sang Anak
Manusia: Mesias itu! Lalu orang yang tadinya buta itu sujud menyembah Yesus.
Bermula dari “iman karena tanda”, orang buta itu disembuhkan oleh
mujizat (tanda) yang dibuat Yesus, kemudian Yesus bertanya kepadanya, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?”
Orang itu menjawab sederhana, “Aku
percaya, Tuhan.” Iman si buta yang telah pulih itu kini beranjak kepada “iman karena sabda” Kita bisa melihat perkembangan
iman si buta ini ketika menelusuri pengakuannya bahwa Yesus adalah: “orang itu” (ay.11), “seorang nabi” (ay.17), “seorang yang datang dari Allah” (ay.33),
“Anak Manusia” (ay.35) dan akhirnya “Tuhan” (ay.38). Sekarang orang ini
dianugerahi penglihatan yang sempurna karena pada akhirnya ia dapat melihat
secara rohani, tidak hanya secara fisik.
Hal ini berbanding terbalik dengan para pemimpin agama, orang-orang
Farisi itu tenggelam dalam keadaan yang menyedihkan. Mereka mengalami kebutaan
secara sempurna. Para pemimpin agama itu, alih-alih bersukacita karena seorang
buta sejak lahir dipulihkan, mereka mencari-cari alasan untuk menggugat
tindakan penyembuhan itu. Apalagi dilakukan pada hari Sabat. Mereka tidak buta
tetapi mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan oleh Allah dalam diri
orang buta itu. Para pemimpin agama itu menyombongkan diri bahwa mereka
mempunyai pengetahuan akan kebenaran sebagai murid-murid Musa, oleh karena itu
mereka merasa “melihat”. Namun, kenyataannya semakin lama semakin dalam jatuh
ke dalam kegelapan karena tidak melihat. Mereka yang mengklaim dirinya dapat
melihat ternyata “buta” dan mereka yang dianggap buta ternyata melihat.
Tentu, orang Farisi yang berhadapan dengan Yesus itu tidak puas dengan
apa yang dikatakan Yesus. Mereka bertanya, “Apakah
itu berarti bahwa kami juga buta?” Yesus menjawab, “Sekiranya kamu tidak buta, kamu tidak berdosa.” Pada awal kisah,
para murid bertanya tentang siapakah yang berdosa. Kini, Yesus menjawab, bahwa
kebutaan fisik bukanlah dosa. Kebutaan fisik karena tidak dapat melihat tidak
menutup jalan untuk mengenali pekerjaan Allah yang dilakukan Yesus. Akan tetapi
dalam kenyataannya, orang-orang Farisi mengatakan, “Kami melihat” maka tetaplah dosa mereka. Penglihatan mereka tidak
rusak sehingga mereka bisa melihat, tetapi mereka buta sehingga tidak mampu
mengenali pekerjaan Allah yang dinyatakan di dalam diri Yesus bagi orang buta
sejak lahir itu.
Bila selama ini kita cenderung memandang atau setidaknya berpraduga
bahwa penderitaan seseorang itu terjadi akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan
oleh orang tersebut. Kemudian menganggap diri jauh lebih baik maka saatnya kita
harus mengoreksi pandangan itu. Yesus mengajak kita bukan untuk menambah berat
beban penderitaan fisik orang tersebut dengan menambah label pendosa, melainkan
menjadikannya sebagai kesempatan di mana pekerjaan Allah harus dinyatakan. Apa
bedanya dengan orang-orang Farisi yang dikecam Yesus ketika kita merasa benar
dan kemudian menghakimi atau mencari-cari kesalahan atas penderitaan orang
lain? Waspadalah ketika kita merasa diri benar dan bersih, kita merasa “melihat”
namun sebenarnya yang sedang terjadi adalah bahwa kita sedang menuju kepada
kegelapan. Sebaliknya, ketika kita mengalami penderitaan, entah itu kemalangan
atau cacat fisik, tidak perlu berkecil hati karena Tuhan pun mengasihi dan
memberi kesempatan yang sama untuk dapat mengenal dan merasakan kasih
karunia-Nya.
Sekarang, marilah sebagai orang-orang yang telah “melihat” dan
dicelikkan untuk mengenal kasih karunia Allah, kita hidup sebagai orang-orang
yang “melihat”. Seperti nasehat Paulus, “Memang
dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam
Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang karena terang hanya
berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,...”(Efesus 5:8,9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar