Selasa, 10 Januari 2017

MELANGKAH DALAM INTEGRITAS

Bergulirnya sang waktu dapat membuktikan kebenaran dari tutur kata kita. Minggu ketiga dari hitungan tahun yang baru segera bergulir. Banyak orang – mungkin di antaranya kita – melakukan refleksi pada malam tahun baru. Hasil refleksi itu membuahkan resolusi, tekad, niat atau komitmen untuk melangkah lebih baik lagi di tahun yang baru ini. Kita bertekad untuk meninggalkan kekurarang, kegagalah, kesalahan, dosa bahkan segala kepahitan, gantinya adalah prilaku hidup yang lebih baik dengan kerja keras dalam ketaatan dan integritas yang lebih baik agar berkenan kepada-Nya. Pertanyaanya sekarang, setelah menjalani beberapa minggu di tahun yang baru, adakah resolusi, komitmen, tekad, atau niatan itu masih bergetar di hati kita? Ataukah sudah mulai memudar? Benar, tidak selalu mudah menjaga “nyala api” dalam jiwa. Kita membutuhkan penyemangat dan pandu yang dapat menolong agar fokus pada niatan yang baik itu.

Mari kita belajar dari Yohanes Pembaptis. Tampaknya ia benar-benar menghayati tugas panggilannya sebagai pandu bagi orang-orang di zamannya untuk berjumpa dengan Sang Mesias. Setidaknya, dua hari setelah peristiwa pembaptisan Yesus, ia masih berada di sekitar sungai Yordan. Injil Yohanes 1:29 mencatat, “Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus..”. Saya membyangkan kegembiraan luar biasa tidak bisa disembunyikan dari raut muka Yohanes. Kini, berdasarkan apa yang ia saksikan sendiri dari peristiwa pembaptisan, yakni bahwa Roh Allah turun ke atas Yesus dalam bentuk merpati dan tinggal di atas-Nya, tak pelak lagi: inilah dia, “Sang Ank domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”

Besoknya lagi terjadi hal yang sama. Yohanes masih berdiri di tempat yang sama, ia melihat Yesus lewat dan ia berkata, “Lihatlah Anak domba Allah!” (Yoh.1:35-36). Kini, ucapannya didengar oleh kedua muridnya. Lalu kedua murid Yohanes itu meninggalkan dirinya dan pergi mengikuti Yesus.

Coba bayangkan, bagaimana kalau kita berada pada posisi Yohanes? Bukankah sebuah kebanggaan ketika ada banyak orang menjadi pengikut, mau belajar dan berguru. Bukankah selama ini berbagai cara dilakukan orang untuk dapat menarik simpati dan menjaring orang menjadi pengikutnya? Apa yang terjadi ketika pengikut beralih ke lain hati dan meninggalkan sang guru begitu saja? Pada umumnya orang menjadi kecewa atau marah! Namun, itu tidak terjadi pada Yohanes. Mengapa? Karena ia tahu benar apa yang menjadi tugas panggilannya: mempersiapakan jalan bagi Tuhan, menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias.

Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dalam pernyataan Yohanes tentang Yesus? Atau konsep manakah yang melatarbelakangi pernyataan tentang Anak domba Allah? Ada beberapa pandangan tentang Anak domba Allah. Bisa saja Anak domba Allah menjadi figur eskatologi yang akan datang pada akhir zaman seperti yang ditulis dalam Kitab Wahyu. Atau dalam Kitab Deutero Yesaya yang digambarkan sebagai Anak domba yang menanggung dosa manusia. Kita tahu bahwa domba dalam Perjanjian Lama kerap dipergunakan sebagai korban bagi penebusan dosa. Namun, Yohanes dengan jelas mengatakan bahwa Yesus bukanlah korban. Yohanes tidak menyebutkan bahwa, “Anak domba Allah itu yang menanggung dosa dunia.” Melainkan, “Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia!” Oleh karena itu gelar Anak domba Allah ini menunjukkan pada kuasa yang dimiliki Yesus untuk menghapus dosa dunia! Dalam pemahaman inilah, Yohanes mewartakan bahwa Yesus itulah yang akan membawa dunia dalam rekonsiliasi dengan Allah.

Yohanes menyadari bahwa Yesus datang dengan kuasa menghapus dosa dunia, sedangkan dia datang tidak dengan kuasa itu. Pelayanannya tidak lebih dari membersihkan dengan air terhadap mereka yang datang kepadanya untuk bertobat, tetapi ia tidak berkuasa untuk menghapus dosa mereka. Yohanes yang membaptis dengan air sekarang mewartakan Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus karena Roh itu telah turun ke atas-Nya. Yohanes memberi kesaksian tentang siapa Yesus: Dia adalah Anak Allah.

Tak pelak lagi, Yohanes Pembaptis adalah seorang altruis. Altruisme dikemukakan oleh pendiri sosiologi dan filsuf pengetahuan asal Perancis pada abad 18-19 Auguste Comte. Pada hakekatnya, menurut Comte, ada dua motivasi seseorang dalam prilaku menolong: pertama, prilaku menolong untuk mendapatkan manfaat bagi penolong, atau mengambil manfaat dari orang yang ditolong. Dalam kalimat sederhana: menolong dengan pamrih. Misalnya, seorang pengusaha menolong anak seorang pejabat dalam urusan sekolah, dengan harapan si pejabat dapat memuluskan perizinan bagi urusan bisnisnya. Yang kedua, perilaku menolong altruis yaitu menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong. Misalnya, seorang pemuda menolong menyeberangkan seorang nenek tua, semata-mata agar si nenek sampai di seberang jalan.

Walstren dan Piliavin (Deaux, 1976), menyatakan perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena tekanan atau kewajiban. Melainkan sebuah tindakan sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu. Tindakan tersebut sejatinya merugikan penolong, dari soal waktu, tenaga dan materi tanpa ada suatu imbal balik apa pun. Altuisme adalah lawan dari egoisme.

Altruis berasal dari kata “alter” yang berarti “orang lain”. Penekanan pada kepentingan “orang lain”, itulah esensi dari altruisme. Yohanes Pembaptis melakukan itu! Ia tidak mengambil keuntungan sama sekali untuk dirinya ketika ia menolong orang lain berjumpa dengan Sang Mesias. Tidak ada perasaan “terganggu” ketika para muridnya meninggalkan dirinya untuk tinggal bersama-sama dengan Yesus. Bisa jadi, ia melepas para muridnya itu dengan senyuman, karena mereka kini dapat berjumpa dengan Sang penghapus dosa itu!

Mumpung belum pudar resolusi, niat, tekad atau apa pun namanya di tahun yang baru ini: apakah langkah kehidupan kita masih dapat disebut punya integritas, satunya kata dan perbuatan? Pemimpin spiritual Dalai Lama pernah memberi nasehat, “Tujuan hidup yang utama dalam kehidupan kita adalah menolong sesama. Dan bila Anda tidak dapat melakukannya, sekurang-kurangnya, jangan sakiti orang lain.” Les Brown, seorang motivator tahun 50-an pernah mengatakan, “Tolonglah orang lain untuk meraih mimpi mereka; dan Anda akan meraih mimpi Anda.” Sedangkan motivator Ruth Smeltzer memberi saran, “Anda belum menjalani hari sempurna, walaupun telah mendapatkan uang, kecuali Anda telah melakukan sesuatu untuk orang lain yang takkan pernah dapat membalasnya.”

Hal mendasar dalam kehidupan iman kristiani adalah tentang komitmen melakukan tindakan kasih. Dan belajar dari Yohanes Pembaptis, mestinya kita tidak hanya sibuk membahas dan membicarakannya, melainkan melakukannya dengan tulus untuk kebaikan orang lain dan sama sekali tidak mencanangkan sedikit pun keuntungan bagi diri sendiri. Berbekal wacana, resolusi, tekad dan niat, marilah kita melangkah dengan penuh integritas: Mengasihi Allah melalui sesama tanpa pamrih!

Jakarta, 10 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar